Belajar dari Liverpool dan Borussia Dortmund untuk Menjaga Loyalitas Fans pada Klub

Sepak bola bukanlah lagi perihal permainan yang indah. Di dalamnya, kita berbicara tentang brand. Adalah brand yang kemudian membuat saya kemudian menyukai Liverpool pada tahun 2005: gelar, sejarah, fans yang luar biasa, motto “You’ll Never Walk Alone”, dan pemain sekaliber Steven Gerrard, adalah sebab saya menyukai klub ini. Dan mungkin pula, alasan yang sama ada pula pada diri Anda.

Dan berbicara soal brand, kita berbicara soal brand loyalty. Brand loyalty, dalam prakteknya di dunia sepak bola, kemudian membuat kita menghambakan diri pada sebuah klub dan memilih klub lain adalah kekafiran.

Hal ini tak lebih menggambarkan apa yang disebutkan Schane Scutte dalam salah satu artikelnya di RealBusiness, sepak bola adalah suatu olahraga yang membuat penikmatnya bisa merasakan suatu keterikatan dengan sebuah tim.

Atas rasa keterikatan inilah kita kemudian menjadi rela untuk membeli apa pun yang berbau klub idola. Brand adalah suatu janji bahwa kita akan mendapatkan sesuatu, dan layaknya seorang pelanggan (terima saja, di era sepak bola modern, kita adalah pelanggan), kita harus membayar untuk mendapatkan sesuatu yang disebut kepuasan saat menyaksikan sepak bola.

Kita, secara sukarela, membeli kostum original, berlangganan official club member, pula berlangganan siaran tv berbayar dari klub, hingga yang seringkali dianggap suatu ibadah: datang ke stadion dan menonton langsung.

Semua harganya tak murah, namun tak ada keluhan. Tentu selama masih dalam batas kewajaran antara performa klub, prestise, dan kelas yang dituju oleh klub itu sendiri. Semua demi brand, dan atas brand pula, muncul brand loyalty serta menjadi sebab kita tak mengeluh mengeluarkan uang sebesar itu.

Namun, ada sebuah tantangan di dunia modern pula yang harus dihadapi sebuah brand. Kita sebagai sebuah customer, di zaman ini, bisa sangat mudah berpindah-pindah brand sesuai dengan apa yang dikatakan dalam sebuah artikel di Forbes.

Fenomena ini dalam sepak bola disebut fans karbitan, namun apakah salah sebuah fans karbitan? Tentu tidak.

Sebuah brand –dalam artikel yang sama– bisa saja ditinggalkan oleh pelanggannya saat sebuah brand dianggap oleh publiknya mengalami degradasi secara kualitas dan kuantitas, atau bahkan lagi dalam kondisi tak stabil. Dan dalam kehidupan sehari-hari pula, kita tentu saja seringkali melakukan hal yang tak jauh beda.

Alih-alih mempertanyakan karbitan, saya punya sebuah pertanyaan yang lebih unik lagi. Bagaimana bisa seorang penggemar, mampu tetap loyal dengan sebuah klub, dalam kondisi klub sedang tak stabil secara prestasi?

Tentu ada beberapa cara untuk menyanjung dan menjaga para penggemar. Corporate Social Responsibility (CSR), mendengar suara fans, publisitas, adalah beberapa hal yang bisa dicoba oleh sebuah klub untuk membangun jembatan loyalitas antara sebuah klub dan sebuah penggemar.

BACA JUGA:  Fenomena Klub Milik Aparat dalam Sepakbola

 

CSR

Klub yang baik adalah klub yang mestinya memiliki manfaat bagi klub sekitarnya. Untuk lingkungan sekitar, Liverpool (dan pula Everton) memiliki agenda yang sama untuk mengunjungi rumah sakit anak di Alder hey saat natal sebagai upaya mereka membentuk keterikatan.

Selain itu, ada pula program prestasi yang dilancarkan oleh Fenway Sports Group (FSG) khusus warga Merseyside yang muaranya adalah agar banyak pemain bertalenta mau masuk ke sebuah klub. Hal ini adalah bukti bahwa sebagai klub dengan lokalitas yang kuat, Liverpool sadar untuk menghidupi motto-nya dalam setiap kegiatannya.

Selain menjaga lokalitas, ada pula program Seeing is Believing, dan Globe Goals, yang bekerja sama dengan Standard Chartered juga pernah dilakukan yang tujuannya adalah untuk menebarkan manfaat dan membangun kesan yang unik dengan penggemar yang berinteraksi langsung dengan kegiatan ini.

 

Mendengarkan suara fans

Fans adalah makhluk yang rewel. Mereka butuh didengarkan, dan klub perlu pula membuat mereka merasa diperhatikan.

Suatu klub, di media sosial, kerapkali kita perhatikan melakukan interaksi dengan pemainnya dalam sesi Q&A dengan salah satu pemain idolanya, menanyakan kesan tentang pertandingannya lalu me-retweet, kompetisi menang kostum bertanda tangan pemain yang sudah banyak diterapkan oleh berbagai akun media sosial klub. Atau pun menyediakan konten di luar lapangan, yang bersifat hiburan, pula gratis, sebagaimana yang dilakukan oleh Manchester City.

Namun, hal-hal macam ini tentu adalah suatu hal yang bak pedang bermata dua. Terutama saat berada di kondisi yang buruk. Maka dari itu, suatu pendekatan yang out-of-the box, perlu dilakukan demi menggaet penggemar sebanyak mungkin.

Musim lalu, tim asuhan Jurgen Klopp pada saat itu, Borussia Dortmund, sedang berada di situasi sangat sulit. Fans kerapkali datang, dan pulang dari Westfalenstadion dengan perasaan kecewa yang berulang-ulang.

Jelas ada sebuah pilihan untuk tetap diam, sembari menunggu Dortmund kemudian bangkit dan menunjukkan sebuah tren positif. Namun, jalan itu tak dipilh oleh Dortmund.

Alih-alih berlaku demikian, Dortmund melakukan upaya permintaan maaf dengan memberikan bir gratis kepada penggemar mereka secara langsung. Hal ini jelas sangat sesuai dengan kultur Jerman yang doyan nge-bir. Mats Hummels dkk kemudian disulap menjadi bartender pada jeda musim dingin, dengan fans Dortmund sebagai pelanggannya.

Hasilnya? Ya tentu, fans kemudian menjadi mafhum dengan situasi sulit ini. Di mata penggemar, dan mata fans lainnya, tentu mereka mendapatkan apresiasi karena tindak tanggap mereka untuk tetap menyanjung fans dengan cara yang unik ini.

 

Memperkuat publisitas

Iklan  adalah saat kita mengatakan kita orang baik, dan publisitas adalah saat orang lain berkata bahwa kita orang baik. Bedanya apa? Tentu saja hal ini perihal kepercayaan. Bagi sebuah klub, publisitas tentu saja akan sangat penting untuk membuat penggemar tetap tahu tentang apa yang sedang terjadi dengan klubnya.

BACA JUGA:  Apa yang Terjadi dengan Stadion-Stadion Penyelenggara Piala Dunia 2014 Kini? 

Publisitas, yang dilakukan oleh media, tentu adalah suatu hal yang penting. Tanpa ekspos berita yang sangat luar biasa dari berbagai media, Premier League takkan menjadi liga terkaya di dunia beserta klub yang ada di dalamnya – dan maka program CSR Liverpool pula tak ada gunanya karena tak dikenal oleh dunia.

Tanpa itu pula, frasa You’ll Never Walk Alone takkan saya tahu bahwa benar-benar diimplementasikan di dunia nyata. Tanpa hal ini, Dortmund takkan mendapatkan tepuk tangan atas tindakannya yang luar biasa itu. Tanpa hal ini pula, Anzar, dalam sebuah artikelnya di Fandom, takkan menyebutkan Manchester United sebagai klub terbesar di dunia.

Dengan publisitas yang baik (atau setidaknya respon cepat dengan publisitas yang buruk), pada akhirnya bermuara dengan penggemar yang merasa didengar, karena opini mereka diterapkan. Kagum dengan klub yang tetap bertahan dengan tradisi. Atau pun fans yang bangga, karena suatu klub meraih prestasi dan diberitakan hingga berhari-hari.

 

Penutup

Forbes, dalam artikel perihal menjaga loyalitas pelanggan, kemudian menjadi acuan saya membangun tiga hal yang saya sebutkan tadi. Ada tujuh poin inti dalam apa yang disebutkannya, keep quality high, engage your customer, solicit feedback from customers, give them reason to come back, stay relevant, provide value, show your appreciation.

Dari tujuh hal ini, ada satu benang merah yang saya tarik: fans inginkan suatu pengalaman yang tak terlupakan dari sebuah klub yang membuatnya terus teringat dan terikat seumur hidupnya. Dan hal ini kemudian yang membuat saya menyusun tiga hal yang seharusnya menjadi solusi bagi klub untuk menjaga penggemarnya agar tetap setia.

Tentu pengalaman tak terlupakan takkan didapatkan dengan menggunakan akun resmi klub hanya untuk akun berjualan, ataupun feed berita berjalan yang membuat mereka terasa seperti robot.

Dan perihal pertanyaan tiga hal tadi, hal tersebut tentu adalah sebuah cara, yang pada akhirnya merujuk kepada memanusiakan klub demi penggemarnya. Ia perlu merasakan dan mendengar derita dan bahagia penggemar yang telah setia dengan mereka, menebar manfaat dan kebanggaan, selain tentu saja, berjuang untuk kembali ke performa terbaik mereka dan menjadi juara.

Dan saat klub berhasil melakukannya, kita akan mampu selalu menganggap sebuah klub akan menjadi jalan hidup kita sebagai seorang penggemar sepak bola. Dan mencium badge di dada kita, dengan rasa penuh kebanggaan, layaknya apa yang dilakukan pemain idola kita di televisi.

 

Komentar