Saat mentas pertama kali dengan baju Barcelona, ada banyak prediksi yang diapungkan publik mengenai masa depan Lionel Messi. Berbekal kemampuan prima, mayoritas sepakat bahwa lelaki Argentina tersebut bakal menjadi simbol dari klub kebanggaan masyarakat Catalan itu.
Penilaian terhadapnya tidak salah karena Messi berhasil mematri posisi utama di tubuh Barcelona sedari belia. Ia senantiasa dijadikan andalan para pelatih, entah itu Frank Rijkaard, Pep Guardiola, Luis Enrique, Tito Vilanova, Ernesto Valverde, sampai Quique Setien.
Tak ada salahnya Barcelona menjadikan Messi sebagai gacoannya. Toh, klub-klub lain juga melakukannya. Persis seperti perlakuan Persija kepada Bambang Pamungkas atau Persipura terhadap Boaz Solossa. Maka tak sulit untuk mengidentifikasi bahwa Messi adalah Barcelona dan Barcelona adalah Messi.
Selama lima belas tahun, Barcelona sukses memanen trofi dengan Messi di tubuhnya. Secara keseluruhan, ada 33 gelar yang berhasil dicomot. Antara lain berupa sepuluh gelar La Liga Spanyol, enam Copa del Rey, tujuh Piala Super Spanyol, empat titel Liga Champions, dan masing-masing tiga Piala Super Eropa serta Piala Dunia Antarklub.
Namun disadari atau tidak, bersamaan dengan itu semua, ego Messi juga melonjak tak kira-kira. Berawal dari anak ajaib yang berkembang di bawah ketiak Deco dan Ronaldinho, lalu jadi tumpuan utama dalam mencipta berbagai fenomena.
Publik tentu masih ingat bagaimana Messi mencetak trigol pertamanya sebagai penggawa Barcelona. Tak main-main, ia melesakannya ke gawang rival bebuyutan di tanah Spanyol, Real Madrid.
Messi pun mencapai tahap eksponensial kariernya bersama Guardiola. Sang pelatih mampu mengubahnya jadi seorang monster. Pada usia 22 tahun, Messi mampu membawa timnya meraih seluruh gelar dalam satu tahun kalender.
Capaian yang paling bernas tentu saja koleksi 91 gol pada tahun 2012, melangkahi rekor 85 gol Gerd Muller yang awet selama empat dekade.
Akan tetapi, terus-terusan menyandarkan nasib kepada sosok kelahiran Rosario itu berpotensi merusak keutuhan tim. Pasalnya, itu akan memunculkan sifat ketergantungan akut dan ego sang pemain yang melambung tinggi.
Seolah-olah, tanpa keberadaan sosok ekstraterestrial macam Messi, Blaugrana tak mampu berbuat apa-apa. Orang-orang menyebutnya sebagai Messidependencia.
Berulangkali, Barcelona dibuat tak berkutik ketika Messi sanggup dimatikan kubu lawan. Kekalahan dari Internazionale Milano dan Chelsea di semifinal Liga Champions 2009/2010 serta 2011/2012 adalah bukti yang sulit dibantah.
Ketika Guardiola mundur, penyakit ini masih ada di tubuh tim. Ketika Blaugrana merekrut Neymar dan Luis Suarez, harapannya sederhana, ketergantungan kepada Messi bisa dikurangi. Namun Enrique di balik kemudi tak kuasa untuk tidak memaksimalkan kemampuan Messi bersama Neymar dan Suarez.
Alhasil, lahirlah trio MSN penghuni Stadion Camp Nou yang melegenda itu. Ini sama artinya dengan Enrique memindahkan penyakit ketergantungan terhadap Messi kepada trisula maut tersebut.
Tatkala Neymar angkat kaki menuju Paris Saint-Germain (PSG), MSN tak lagi sama. Imbasnya, taktik tim turut ambyar. Jadilah penyakit ini kian kronis dan telanjang. Sepeninggal Andres Iniesta di tahun 2018, manuver lini kedua tidak lagi berprospek. Bukannya mencari suksesor yang jempolan, Valverde sebagai entrenador malah menyerahkan peran playmaker kepada Messi sehingga mengharuskannya jadi mesin gol dan dirigen permainan sekaligus.
Bertambahnya usia membuat Messi tidak seagresif dahulu secara permainan. Anehnya, bukan Messi yang disesuaikan dengan strategi tim, malah sebaliknya. Tim yang menyesuaikan Messi. Permainan Barca yang lesu bak kurang darah dalam 2-3 tahun belakangan adalah contoh nyatanya.
Egonya semakin membumbung kala ban kapten yang lowong sepeninggal Iniesta meluncur ke lengannya. Bila sebelumnya ia hanya sosok bintang penentu pertandingan, sekarang ia pun menjelma sebagai pusat kepemimpinan.
Dengan sifat pilih-pilih temannya, ia membangun imperium di ruang ganti. Anggotanya? Skuad lama yang dekat dengannya seperti Jordi Alba, Gerard Pique, dan Suarez.
Mereka ini yang punya pengaruh besar dalam menentukan dinamika tim alih-alih pelatih. Menyenggol salah satu dari mereka, bisa merusak masa depan si pemain karena faksi yang dihuni Messi dan kolega dapat mengubah alur cerita.
Padahal, situasi demikian tidak pantas ada di tubuh skuatu klub karena dapat mengganggu keharmonisan tim. Bila mereka ingin kembali dipercaya di atas lapangan, maka satu-satunya hal yang mesti dilakukan adalah mengikuti apa keinginan Messi.
Paling kelewat batas adalah desakan mereka kepada direksi untuk memboyong kembali Neymar. Ini jelas sikap yang kekanak-kanakan dari sekumpulan pemain yang katanya superstar.
Tak hanya itu, mereka seakan punya otoritas menolak transfer. Hal itu terjadi pada Antoine Griezmann. Terutama oleh Messi, eksistensi Griezmann ibarat buron BLBI, dianggap tak ada. Itulah sebabnya ia tampil seperti pengidap kurang gizi. Lemas dan tak bergairah.
Celakanya lagi, Messi dan kroninya ini terbilang gaek. Ia, Pique, dan Suarez sama-sama sudah berumur 33 tahun. Sementara Alba berusia 31 tahun.
Apabila fenomena ini tidak segera diobati, maka ibarat pohon tua, tinggal menunggu ambruknya saja. Bisa saja dihindari yaitu dengan memangkasnya sebelum tumbang. Harus ada regenerasi, cuci gudang besar-besaran untuk gerbong tua Barcelona ini.
Terkhusus Messi, mendepaknya bukanlah pilihan realistis. Bukannya Barcelona akan kehilangan identitasnya seperti yang dibayangkan Samuel Eto’o, melainkan tidak ada tim di muka Bumi yang sanggup menebus klausul pelepasannya yang senilai 700 juta Euro.
Barangkali hanya Manchester City dan PSG yang sanggup, tapi untuk apa pula mereka membeli pemain uzur dengan harga segila itu.
Jalan terbaik yang bisa ditempuh adalah mengembalikan sang megabintang seperti pada awal kariernya. Letakkan ia di dalam sistem. Bukannya sistem yang diletakkan berdasarkan kehendaknya.
Dengan ini Barcelona punya harapan besar untuk memangkas bahkan mengamputasi kanker yang sudah mendekam selama satu dasawarsa.
Maksimalkan lagi peran La Masia. Sokong dengan alur transfer yang sehat. Andai terwujud, kestabilan skuad dan keajegan sistem yang akan berkuasa alih-alih individualisme. Sebab pemain boleh datang dan pergi, namun klub tak akan terganti.