Sepakbola telah menjadi sebuah industri di mana terdapat banyak uang yang berputar di dalamnya. Tak ayal, sepakbola mulai dilirik banyak pengusaha besar dunia untuk mulai berinvestasi melalui skema kepemilikan klub.
Namun, masuknya investor berduit besar tersebut dikhawatirkan menimbulkan masalah terkait kesenjangan, hingga wadah pencucian uang. Oleh karena itu, pada tahun 2011, UEFA mencetuskan sebuah aturan terkait pengaturan keuangan yang dikenal dengan Financial Fair Play (FFP).
Regulasi itu sendiri adalah sebuah aturan yang mewajibkan setiap kesebelasan Eropa untuk menyeimbangkan neraca keuangan mereka.
Tujuannya, agar kesebelasan kaya di Eropa tidak bisa asal-asalan menggunakan uang mereka untuk membeli pemain baru, sehingga dapat mengerem inflasi harga pemain sekaligus menghindari adanya ketimpangan antar kesebelasan.
Namun, tidak semua pengeluaran tersebut dihitung kedalam FFP. Pengeluaran yang diaudit hanyalah yang digunakan untuk transfer pemain yang masuk, gaji pemain dan pelatih. Sementara itu, untuk pemasukan dihitung berdasarkan transfer pemain yang keluar, tiket, serta tponsor.
Pada awal penerapannya, UEFA masih memberikan kelonggaran, dimana setiap klub tidak boleh merugi lebih dari 45 juta euro per 3 musim. Kemudian pada 2015/2016 batas tersebut turun menjadi 30 juta euro per 3 musim.
Rencana ke depannya, batas tersebut akan terus diturunkan agar klub tidak sampai mengalami kerugian sepeser pun tiap musimnya. Namun, sayangnya peraturan hanyalah peraturan, beberapa klub tetap abai, bahkan scara sengaja menerobos aturan FFP tersebut.
Yang terbaru, juara EPL 2018/2019, , dikenai hukuman akibat diduga memanipulasi laporan keuangan mereka guna mengakali aturan FFP tadi.
Kasus tersebut bermula setelah adanya dokumen Football Leaks, yakni sebuah dokumen yang berasal dari sekelompok peretas yang dipimpin pria asal Portugal, Rui Pinto. Salah satu dokumen itu, berisi detail kesepakatan sponsor antara The Citizens dan Etihad selaku sponsor utama mereka.
Dalam laporan resmi kepada Club Financial Control Body (CFCB), otoritas yang mengawasi keuangan klub, City melaporkan kesepakatan sekitar 60 juta poundsterling melalui Etihad.
Namun, setelah ditelusuri, muncul dugaan jika sebagian dana tersebut bukan berasal dari Etihad, melainkan berasal dari Sheikh Mansour, pemilik City. Mengingat Etihad merupakan bisnis yang dimiliki keluarga Sheikh Mansour sendiri.
Selain Etihad, penggelembungan nilai sponsor juga sempat terjadi saat City menjalin kerjasama dengan perusahaan Abu Dhabi, Aabar, dengan nilai yang dilaporkan sebesar 15 juta paun. Namun, setelah diusut, 80 persen dari uang tersebut berasal juga dari kantong Sheikh Mansour sendiri.
Dua perkara itu, menyebabkan City didakwa melanggar FFP terkait pembatasan uang yang boleh diterima klub dari pemilik sahamnya. Awalnya, The Citizens dihukum denda sebesar 30 juta euro serta larangan mengikuti kompetisi eropa selama 2 tahun, yakni musim 2020/2021 dan musim 2021/2022.
Akan tetapi, City tidak tinggal diam, mereka memutuskan untuk mengajukan banding ke Court of Arbitration for Sport (CAS), pengadilan yang mengurusi kasus olahraga.
Bahkan, mereka menggandeng banyak pengacara terkenal, salah satunya David Pannick, yang punya rekam jejak apik ketika Britania Raya berusaha keluar dari Uni Eropa. Bahkan, rumornya, bayaran yang diterima Pannick sebesar 20 ribu poundseterling per hari, atau setara 360 juta rupiah.
Biaya besar yang City keluarkan itu nyatanya tidak sia-sia, CAS mengabulkan banding tersebut sehingga hukuman tersebut berkurang hanya denda sebesar 10 juta euro dan larangan tampil di kompetisi eropa dicabut.
Dalam laporan resminya, CAS mengatakan bahwa dugaan pelanggaran City yang membuat mereka dijatuhi hukuman CFCB hanya berlaku dalam rentang waktu tertentu. Laporan ke UEFA mengenai manipulasi dana sponsor itu berjarak terlalu lama dari masa terjadinya dugaan manipulasi tersebut
“CAS menekankan bahwa sebagian besar pelanggaran yang dilaporkan CFCB tidak eksis atau dibatasi oleh waktu,” tulis pernyataan resmi CAS.
Tidak hanya sekali ini City terjerat kasus serupa. Pada 2014, City pernah terseret kasus yang sama. Mereka juga dihukum denda 60 juta euro ditambah pembatasan jumlah pemain untuk kompetisi eropa sebanyak 21 pemain saja.
Sontak keputusan tersebut menimbulkan banyak perdebatan. Mulai dari debat kusir di media sosial hingga beberapa tokoh sepakbola ikut bersuara.
“Jika memang Manchester City tidak bersalah, menghukum mereka dengan (denda) beberapa juta adalah sebuah tindakan memalukan,” sindir Jose Mourinho yang memang lihai memainkan kata-katanya.
Beberapa klub Liga Inggris juga mengajukan keberatan terhadap kebijakan itu. Arsenal, Liverpool, Chelsea, Burnley, Leicester, Manchester United, Nwecastle, Tottenham, dan Wolverhampton bersatu meyakinkan CAS untuk tidak mencabut larangan bertanding di Eropa untuk City.
Banyak yang menyebut keputusan itu justru mencoreng nama baik UEFA serta aturan FFP yang mereka buat sendiri. Kemudian, anggapan baru muncul bahwa regulasi tersebut lebih menyasar ke klub-klub kecil dibandingkan klub-klub besar.
Bahkan, kalau ditinjau lagi, yang dilakukan oleh City sejatinya mudah saja dilakukan oleh tim-tim besar yang memiliki banyak sponsor di seluruh dunia.
Ketika transfer-transfer pemain yang mereka datangkan, uangnya tidak sebanding dengan transfer pemain yang keluar, jalan keluar mengatasi kerugian tersebut adalah melalui kesepakatan dengan sponsor. Apalagi sponsor tersebut punya hubungan dekat juga dengan pemilik klub.
Sejak diterapkan, FFP lebih banyak menghukum klub-klub kecil. Mulai dari Malaga, Rubin Kazan, Maccabi Tel Aviv, hingga tim-tim kecil di daerah Turki.
Sejauh ini klub besar yang dihukum karena melanggar aturan itu baru AC Milan, PSG, dan Man City saja. Itupun kebanyakan dari mereka hanya mendapat denda uang semata.
Namun, sebuah fakta menarik dari Football Leaks juga meyebut kalau pada 2014, Mantan Sekjen UEFA yang kini menjabat sebagai Presiden FIFA, Gianni Infantino, diduga terlibat pada tindakan ilegal yang dilakukan City dan PSG.
Saat terendus aliran dana yang tidak sehat di kesebelasan-kesebelasan besar tersebut, UEFA malah menugaskan CFCB untuk lebih agresif menyelesaikan pelanggaran FFP klub-klub miskin seperti di Rumania dan Turki. Infantino berdalih bahwa defisit City dan PSG masih dalam batas aman.
Padahal, menurut data yang diungkap Football Leaks, penyidik dari UEFA dan auditor independen sebenarnya menemukan defisit kerugian PSG menyentuh angka 218 juta euro, sedangkan City sekitar 188 juta euro.
Kita sendiri, sebagai penikmat sepakbola yang berada ribuan kilometer dari hiruk pikuk Eropa, juga tidak pernah tahu mana yang benar dan salah antara UEFA, CFCB, ataupun dari kubu klub-klub yang bermasalah dengan FFP.
Yang jelas, kejadian seperti tentu mengganggu mimpi awal dari dibentuknya regulasi tersebut, yakni menciptakan stabilitas serta mengurangi kesenjangan antara klub kaya dan klub miskin. Dengan mulianya tujuan tersebut, aturan itu harusnya dapat diterapkan lebih ketat lagi.