Sayap-Sayap Bayern Munchen

Tatkala sejumlah liga top Eropa masih menghentikan kompetisinya akibat pandemi Corona, Bundesliga Jerman melesat sebagai liga yang memutar kembali kompetisinya per 15 Mei 2020 silam. Seperti yang biasa terjadi di negara penghasil mobil mewah itu, Bayern Munchen langsung tancap gas meninggalkan para rivalnya di papan klasemen usai melakoni restart.

Saat ini, mereka nangkring di puncak klasemen dengan koleksi 70 angka dari 30 pertandingan. Die Bayern unggul tujuh poin dari sang rival terdekat, Borussia Dortmund. Salah satu hal yang membuat anak asuh Hans-Dieter Flick bisa melenggang adalah kemenangan tipis 1-0 dari Die Schwarzgelben pada pekan ke-28.

Kendati Joshua Kimmich yang menggelontorkan gol kemenangan Bayern, tapi ia tak menjadi buah bibir. Nama yang ramai diperbincangkan justru rekan setimnya, Alphonso Davies.

Semuanya terjadi gara-gara satu momen penting. Davies berlari amat kencang guna menggagalkan upaya striker Dortmund, Erling Braut Haaland, mencetak gol ke gawang yang dijaga Manuel Neuer.

Berdasarkan data statistik yang dihimpun Squawka, Davies membukukan kecepatan 35,27 kilometer per jam untuk melakukan aksi tersebut. Sebuah catatan yang sangat-sangat impresif.

Tak heran bila Davies disebut bak tokoh kartun Looney Tunes yang mampu berlari amat kencang, Road Runner, oleh salah seorang rekannya di Bayern, Thomas Muller.

Bayangkan saja, Davies berada 12,5 meter di belakang Haaland saat memulai aksinya. Berselang 3,1 detik setelahnya, pemuda asal Kanada tersebut sudah mencuri bola yang ada di kaki penyerang muda fenomenal asal Norwegia itu.

Menurut statistik yang pernah dirangkum Le Figaro, Kylian Mbappe masih tercatat sebagai pemain dengan kecepatan tertinggi saat berlari di sebuah pertandingan. Penyerang ajaib Paris Saint-Germain (PSG) dan tim nasional Prancis itu pernah berlari dengan kecepatan 36 kilometer per jam.

Dibeli dengan harga 10 juta Euro saja dari Vancouver White Caps, Davies menjelma menjadi salah satu fullback potensial di usianya yang baru menginjak 19 tahun.

Secara utilitas, ia menjadi pelapis dan pesaing sepadan bagi David Alaba untuk mengisi pos bek kiri. Secara ekonomis, Davies juga menjadi aset penting Die Bayern lantaran performa gemilangnya saat ini bisa meningkatkan harga jualnya di masa depan.

Davies adalah satu dari sekian banyak pemain muda yang area bermainnya ada di tepi lapangan dan direkrut Bayern dalam beberapa musim belakangan. Ia sendiri, bersama nama-nama seperti Kingsley Coman, Serge Gnabry, dan Benjamin Pavard, masuk ke dalam proyek regenerasi skuad.

BACA JUGA:  Chelsea dan Omong Kosong Cocoklogi

Coman dipermanenkan Bayern pada pertengahan 2017 lalu setelah menjalani masa studi di Juventus selama dua musim dengan cukup apik. Gnabry dicomot dari Werder Bremen senilai 8 juta Euro dan sempat dipinjamkan ke Hoffenheim. Sementara Pavard diboyong dari Stuttgart seharga 35 juta Euro usai tampil heroik di Piala Dunia 2018 dan bersama Coman, membawa timnas Prancis jadi kampiun.

Bermula dari Tandem Robbery

Salah satu esensi Nawa Cita yang diusung Joko Widodo pada kontestasi Pemilihan Presiden 2014 lalu adalah konsep membangun Indonesia dari pinggiran.

Merunut kecenderungan pola transfer Bayern beberapa tahun terakhir, tampaknya manajemen klub berniat melakukan konsep yang serupa dengan Nawa Cita tadi yaitu membangun kejayaan Bayern lewat pinggiran alias sisi sayap.

Sejatinya, kisah ini dimulai pada 29 Agustus 2009 lalu. Kala itu, Bayern unggul 1-0 atas Wolfsburg di sebuah pertandingan Bundesliga. Tak puas dengan keunggulan tersebut, Louis van Gaal yang menjadi pelatih Bayern saat itu memasukkan winger anyar yang baru saja didatangkan dari Real Madrid, Arjen Robben, guna menggantikan Mario Gomez.

Robben tampil memuaskan di sayap kanan dan bikin dimensi serangan Bayern jadi semakin luas. Robben seolah melengkapi performa trengginas Franck Ribery yang mengokupasi sisi kiri lini serang Die Bayern. Ya, kedua pemain ini sama-sama berfungsi sebagai inverted winger sebab dipasang di posisi yang berkebalikan dengan kaki terkuatnya.

Tandem legendaris ini kemudian dikenal dengan sebutan Robbery. Selain memiliki skill mumpuni, keduanya jago dalam urusan menyediakan umpan matang bagi rekan setim maupun mencetak gol lewat tusukan-tusukan mautnya.

Selama membela klub yang berkandang di Stadion Allianz Arena tersebut, Robbery mengukir 283 asis serta mengemas 268 gol. Sungguh fantastis, bukan?

Mesti diakui bahwa kehadiran Robbery menjadi titik awal di mana skema permainan Bayern, siapapun pelatihnya, bertumpu pada kekuatan di sektor sayap.

Presensi Robbery juga membuahkan banyak trofi bagi klub yang berdiri pada tahun 1900 tersebut. Mulai dari gelar Bundesliga, Piala Jerman, Piala Super Jerman, Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antarklub.

Robbery berperan dalam rangkaian evolusi taktik sepakbola modern. Duet ini mempopulerkan peran inverted winger yang belakangan ini semakin menjamur di Eropa bahkan dunia.

BACA JUGA:  Seorang Ibu yang Mengidolakan Sepak Bola Jerman dan Bayern Munchen

Potret keberhasilan mereka di Bayern memancing kemunculan pemain sayap modern dengan atribusi lebih kompleks yakni mampu mencetak gol, membuat peluang serta rajin membantu pertahanan.

Garangnya sisi sayap Bayern juga ditopang oleh kinerja apik kedua fullback mereka kala itu, Alaba dan Phillip Lahm. Dua sosok beda generasi ini berhasil mengemban tugas paripurna sebagai tandem Robbery dalam menyerang sekaligus memberikan kenyamanan bagi Robbery berkat kepiawaian menjaga sisi pertahanan.

Kedatangan Pep Guardiola di Bayern pada tahun 2013 silam memberikan warna baru pada gaya main klub. Mantan pelatih Barcelona tersebut tetap mempertahankan filosofi bermainnya yang menekankan penguasaan bola dan manajemen posisi yang presisi.

Guardiola secara tidak langsung mengurangi ketergantungan permainan tim akan penetrasi kedua sayap. Apalagi saat itu Lahm digeser lebih ke tengah guna berperan sebagai distributor bola. Boleh dibilang, sisi sayap Bayern sedikit mengalami disrupsi ketika itu.

Pensiunnya kapten sekaligus legenda, Lahm, pada 2018 silam yang disusul oleh Robben dan keputusan Ribery angkat kaki dari kota Munchen setahun setelahnya meninggalkan lubang di area tepi. Hal inilah yang membuat Bayern gencar mendatangkan nama-nama anyar yang berusia lebih muda dan main di posisi sejenis.

“Ribery dan Robben adalah pemain hebat. Bayern sangat berhutang banyak kepada keduanya dan kami akan memberikan mereka perpisahan yang sangat hebat dan emosional. Mereka membantu Die Bayern sebagai tim paling sukses sedekade terakhir dengan cara main yang fantastis”, ujar Chief Executive Officer (CEO) Bayern, Karl-Heinz Rummenigge seperti dilansir dari DW.

Maka dalam kampanye mengembalikan kejayaan Bayern di pentas Eropa, manajemen klub berupaya mereinkarnasi resep lawas berbarengan dengan visi mereka untuk melakukan peremajaan skuad.

Mungkin Rummenigge menemukan Nawa Citanya sendiri selepas dibuai kehebatan Robbery. Mengembalikan kedigdayaan sayap Die Bayern bisa menjadi jawaban atas rentetan kegagalan pemilik lima gelar Liga Champions itu saat melakoni kiprah di kompetisi regional.

Pelangi muncul saat badai pergi. Maka kegemilangan Coman, Davies, Gnabry, dan Pavard musim ini merupakan sinyal yang baik usai kegagalan demi kegagalan yang menimpa Bayern di Benua Biru.

Hasilnya memang belum terlihat secara utuh, tapi saya rasa menajemen Bayern sukses melakukan transisi halus pasca-badai yang menerpa berkat eksekusi program Nawa Cita yang tepat.

Komentar