Bagi para penggemar Serie A, istilah Il Sette Magnifico (Tujuh yang Terkuat) sudah pasti tak asing. Lahir pada era 1990-an, AC Milan, AS Roma, Fiorentina, Internazionale Milano, Juventus, Lazio, dan Parma, menjadi anggota ‘geng’ ini.
Label itu muncul bukan tanpa alasan. Ketujuh klub di atas, pada periode tersebut, adalah langganan papan atas dalam memperebutkan gelar Scudetto. Mereka juga bergantian mengecup titel Piala Italia dan Piala Super Italia.
Di kancah regional, mereka jadi andalan Italia merebut trofi dari tiga kejuaraan antarklub Eropa yang ada saat itu, Liga Champions, Piala UEFA, dan Piala Winners.
Secara keseluruhan, Negeri Spaghetti menggondol 13 trofi Eropa sepanjang era 1990-an. Dengan rincian tiga gelar Liga Champions, tujuh Piala UEFA, dan tiga titel Piala Winners.
Fantastis, bukan? Ditambah lagi, Serie A pada masa itu juga dijejali banyak sekali bintang lapangan hijau.
Mulai dari nama-nama asing seperti Gabriel Batistuta, Zvonimir Boban, Marcos Cafu, Lilian Thuram, Pavel Nedved, Ronaldo, sampai Zinedine Zidane.
Sementara nama lokal diwakili Roberto Baggio, Franco Baresi, Alessandro Del Piero, Alessandro Nesta, Francesco Toldo, Francesco Totti, sampai Christian Vieri.
Maka tak heran bila Serie A disebut-sebut sebagai kiblat persepakbolaan dunia dan liga paling kompetitif seantero Bumi.
Sayangnya, memasuki era 2000-an, kedigdayaan Italia mulai memudar. Para anggota Il Sette Magnifico banyak yang terjerat masalah finansial.
Alhasil, mereka melepas pemain-pemain bintangnya demi menyeimbangkan neraca keuangan.
Keadaan itu sendiri berimbas pada kemampuan bersaing. Dampak paling parah terlihat di tubuh Fiorentina dan Parma yang mengalami kebangkrutan.
Walau sanggup bangkit perlahan-lahan, kekuatan La Viola dan I Gialloblu tak lagi seperti dahulu.
Alih-alih ikut serta meramaikan perburuan Scudetto, kedua kesebelasan kerap berkutat dengan inkonsistensinya.
Ada kalanya berada di sepuluh besar, tetapi ada momennya juga terlempar dari sepuluh besar bahkan sampai terdegradasi.
Inkonsistensi mereka berbanding terbalik dengan capaian anggota Il Sette Magnifico lainnya yang masih bisa bersaing di papan atas. Juventus bahkan memenangkan sembilan titel Serie A dalam kurun sedekade terakhir.
Performa Fiorentina dan Parma bahkan dinilai ketinggalan dari Atalanta dan Napoli yang beberapa musim ke belakang amat konsisten finis di lima besar.
Menengok penampilan di musim 2020/2021, jalan yang ditempuh Fiorentina dan Parma juga berbeda jauh dengan anggota Il Sette Magnifico lainnya. Hingga tulisan ini dibuat, mereka lebih sering berpelukan dengan derita.
Hadirnya pemilik baru, Rocco Commisso di Fiorentina, dan Krause Group (dikomandoi Kyle Krause) di Parma, nyatanya belum mampu mengubah nasib kedua tim secara signifikan.
Penampilan jeblok Franck Ribery dan kawan-kawan di musim ini bikin Giuseppe Iachini kehilangan jabatannya sebagai pelatih pada 9 November 2020 lalu. Ia lantas digantikan allenatore kawakan Cesare Prandelli.
Ironis, kebersamaan dengan Prandelli tak berlangsung lama sebab penampilan La Viola tak jua membaik. Prandelli mengundurkan diri pada 23 Maret 2021 dan digantikan oleh pria yang ia gantikan dahulu, Iachini!
Namun sejauh ini, Fiorentina masih awet menghuni papan tengah dan bila tak segera memperbaiki performa, bisa saja terseret ke papan bawah dan mesti bergelut dengan ancaman relegasi.
Kondisi lebih parah dialami Parma. Keputusan Krause mencopot Roberto D’Aversa jelang bergulirnya musim 2020/2021 adalah blunder. Pasalnya, Fabio Liverani yang menggantikannya tak sanggup membawa tim ini tampil baik.
Akibatnya, I Gialloblu terseok-seok di papan bawah dan mesti memperjuangkan nasibnya untuk bertahan di Serie A. Melihat timnya begitu kepayahan, manajemen Parma akhirnya mendepak Liverani pada 7 Januari 2021. Penggantinya? D’Aversa!
Sial buat D’Aversa karena ia mewarisi skuad yang compang-camping dan mentalitasnya ambruk. Membangkitkan mereka jadi persoalan yang sangat rumit.
Tak heran bila kini Gervinho dan kolega masih awet bersemayam di zona merah. Ancaman turun kasta pun kian nyata.
Grafik penampilan dari kedua kubu yang tak memperlihatkan peningkatan bikin suporter setia La Viola dan I Gialloblu hanya bisa bersabar. Mereka tampak siap menerima segala kemungkinan, bahkan yang paling buruk sekalipun.
Andai didera kemalangan, kesempatan bangkit selalu terhampar di depan mata. Itulah hal nomor satu yang mesti mereka lakukan secepat mungkin.
Commisso dan Krause harus berpikir cerdas serta tak mengulangi kesalahan yang sudah dibuat.
Tak melihat Fiorentina dan Parma sebagai salah dua dari tujuh tim terkuat memang menyedihkan.
Namun ini menjadi pertanda bahwa mereka yang bisa mengelola tim dengan baik dan beradaptasi dengan kultur anyar di dunia sepakbola, merekalah yang akan bertahan dan tampil lebih prima.
Harapan saya sederhana saja, mudah-mudahan Fiorentina dan Parma lekas bangkit sehingga Il Sette Magnifico bisa kembali meramaikan jagad Serie A dan bikin kompetisi ini jadi makin kompetitif seperti dahulu.