Inter Milan Krisis, Semuanya Salah Suning?

Dilansir oleh Fabrizio Romano, Romelu Lukaku secara resmi dipinang Chelsea dari Inter Milan dengan banderol 115 juta Euro. Striker gempal asal Belgia itu mengikuti jejak Achraf Hakimi yang lebih dahulu dilego I Nerazzurri ke Paris Saint-Germain dengan biaya 60 juta Euro.

Sebelum penjualan Hakimi dan Lukaku terjadi, Inter Milan sudah lebih dahulu ditinggalkan pelatih yang membawa mereka menjadi peraih Scudetto pada musim 2020/2021 kemarin, Antonio Conte.

Konon, perbedaan visi dengan manajemen bikin eks pelatih Juventus dan tim nasional Italia tersebut memilih angkat kaki dari Appiano Gentile, markas latihan Inter Milan, lebih cepat (baru berjalan dua musim) alih-alih menyelesaikan masa kerja yang sejatinya berdurasi tiga musim.

Dari sekian peristiwa di atas, pihak yang paling terpukul adalah Interisti. Ada perasaan kesal yang berkecamuk di dada mereka.

Bagaimana mungkin, tim tangguh yang baru saja memenangkan Scudetto beberapa bulan lalu, kini porak-poranda dan terancam tak kompetitif lagi?

Rasa kesal Interisti yang memuncak berujung pada caci maki yang ditujukan kepada pemilik klub saat ini, Suning Group.

Konsorsium asal Cina tersebut dinilai tak becus mengelola tim. Bahkan unggahan terakhir Steven Zhang pada akun Instagram pribadinya, dipenuhi olok-olok fans.

Berhubung tak ada larangan mencaci presiden pemilik klub, apa yang dilakukan Interisti sah-sah saja.

Lagipula, siapa yang tak sebal melihat tim kesayangannya yang dibangun susah payah agar kompetitif, tiba-tiba runtuh seperti sekarang?

Suning Group Datang dan Membangun Tim

Pada 2016 silam, Suning Group secara resmi mengakuisisi saham mayoritas Inter Milan dari tangan International Sports Capital. Biaya yang mereka keluarkan saat itu mencapai 270 juta Euro.

Kedatangan Suning Group kala itu disambut dengan antusiasme Interisti. Mereka berharap ada perbaikan nyata yang dibuat sehingga tim sehat secara finansial dan kompetitif dalam hal teknis.

Walau diwarnai dengan transfer konyol dalam wujud Gabriel Barbosa dan Joao Mario, Suning Group menunjukkan keseriusannya dalam membangun tim.

Ada grafik menanjak yang diperlihatkan I Nerazzurri di bawah komando mereka yang dibuktikan dengan posisi finis klub di ajang Serie A.

Jika sebelumnya Inter Milan kesulitan menembus papan atas, bersama Suning Group mereka mulai konsisten ada di empat besar klasemen.

Suning Group juga rela merogoh kocek dalam-dalam untuk memboyong pemain berkualitas sebagai cara memperkuat tim.

BACA JUGA:  Sports Club, Era Baru Klub Sepakbola Indonesia

Mulai dari Alessandro Bastoni, Nicolo Barella, Christian Eriksen, Hakimi, Lautaro Martinez, Lukaku, Milan Skriniar, sampai Stefan de Vrij.

Nama-nama di atas, baik dengan klausul pembelian permanen yang dibayar lunas, dicicil dalam kurun beberapa tahun, atau dipinjam terlebih dahulu untuk kemudian ditebus, datang ke Stadion Giuseppe Meazza dengan uang milik Suning Group yang jumlahnya lebih dari 200 juta Euro.

Artinya, investasi yang mereka lakukan memang betul-betul untuk mengubah wajah klub.

Dari yang sebelumnya semenjana menjadi kompetitif dan sanggup bersaing memperebutkan gelar. Apakah hal serupa Interisti dapatkan dari International Sports Capital yang dikomandoi Erick Thohir?

Pandemi Covid-19, Aturan Pemerintah Cina dan Kolapsnya Suning Group

Tatkala proses pembenahan yang dilakukan Suning Group berjalan, pandemi Covid-19 yang diawali di Cina akhirnya melanda dunia. Virus yang mengganggu sistem pernapasan ini mengubah segala yang ada.

Pandemi juga membuat bisnis Suning Group di Cina mengalami problem. Apalagi pemerintah Negeri Tirai Bambu membuat aturan ketat yang melarang perusahaan atau warga Cina melakukan investasi besar-besaran ke luar negeri agar ekonomi di dalam negeri tidak terancam krisis.

Ketiban satu masalah lalu dihujani masalah lain, pada akhirnya bikin Suning Group mati kutu. Tak heran kalau mereka membubarkan klub sepakbolanya di Cina, Jiangsu Suning, kendati baru saja memenangkan Liga Super Cina.

Gerak terbatas yang dimiliki Suning Group semenjak pandemi memang dapat diduga. Namun siapa yang mengetahui segalanya akan seperti ini ketika mereka mengakuisisi Inter Milan medio 2016 silam? Tak ada!

Lebih jauh, pergerakan Inter Milan sebagai entitas sepakbola selama pandemi juga semakin sempit.

Apalagi laga-laga mereka di Stadion Giuseppe Meazza yang biasanya dipadati penonton dalam jumlah masif dan mendatangkan pemasukan bagi klub, selama dua tahun terakhir malah tak dihadiri penonton.

Praktis, pendapatan klub cuma berasal dari hadiah kompetisi, hak siar, serta sponsor-sponsor yang masih bekerja sama. Apakah itu sebanding dengan biaya operasional tim? Pastinya tidak!

Hal itulah yang memaksa pihak manajemen membuat berbagai kesepakatan mengenai pembayaran gaji para pemain, pelatih, dan staf. Beberapa sektor yang dianggap tak perlu juga ditutup demi mereduksi pengeluaran.

Ya, Inter Milan ‘resmi’ alami masalah finansial kendati pihak klub terus berupaya menutupi dan membantah segala rumor yang berkembang.

Mengapa Suning Group Tak Segera Melepas Inter Milan?

Bicara tentang bisnis dan investasi, maka segalanya selalu berujung pada keuntungan. Suning Group yang sudah menghabiskan banyak uang demi I Nerazzurri tentu mendambakan hal serupa.

Apakah salah? Jelas tidak sebab hakikat bisnis yang sesungguhnya memang seperti itu.

Sepakbola telah berkembang menjadi sebuah industri. Dan industri selalu bicara tentang untung serta rugi.

BACA JUGA:  Samir Handanovic: Batman yang Kehilangan Kekuatan Supernya?

Interisti jangan kelewat naif dengan menyebut bahwa pengelolaan klub harus didasari rasa cinta.

Toh, pengelolaan yang didasari cinta setengah mati seperti Massimo Moratti juga menghasilkan utang segunung. Apakah itu baik untuk eksistensi klub? Interisti pasti tahu jawabannya.

Seharusnya Suning Group lekas melego Inter Milan kepada investor baru seperti BC Partners atau Public Investment Fund (PIF) of Saudi Arabia yang beberapa waktu lalu mengutarakan keinginannya mengakuisisi klub alih-alih mencari rekanan seperti Oaktree Capital yang cuma membeli saham minoritas. Banyak sekali Interisti yang berpikiran seperti itu, bukan?

Asal tahu saja, proses akuisisi sebuah entitas sepakbola tak pernah berjalan mudah. Suning Group tentu memiliki alasan mengapa mereka tak buru-buru melepas saham mayoritasnya di I Nerazzurri.

Sudahkah BC Partners atau PIF melepas tawaran resminya kepada manajemen? Kalau iya, berapa nominalnya?

Bagaimana jika keduanya belum melakukan itu sama sekali dan selama ini Interisti cuma memakan mentah-mentah rumor yang ada?

Lebih jauh, mencari pihak yang tepat untuk mengakusisi saham mayoritas klub bukanlah persoalan mudah.

Ini sama seperti kita yang memilih-milih barang sampai mengelilingi berbagai toko demi mendapatkan sehelai kemeja. Apakah kita mau asal beli?

Andai Suning Group benar-benar melepas Inter Milan, Interisti pasti ingin sang pemilik baru adalah kubu yang serius dalam mengelola tim serta kaya raya. Bukan mereka yang sekadar cari untung dari klub. Seperti itu, bukan?

Kasus yang terjadi di Manchester United adalah gambaran riilnya. Saat keluarga Glazer mengambilalih klub, performa klub memang tetap konstan.

Namun pelan-pelan mereka justru memperlihatkan rupa aslinya dengan menggerogoti keuangan klub dengan terus menciduk keuntungan yang didapat United tiap tahun.

Tak heran jika suporter setia The Red Devils tak henti-henti menyerukan agar keluarga Glazer angkat kaki.

Sayangnya, keinginan itu tak kunjung menjadi kenyataan sebab Glazer masih nyaman duduk sebagai pemilik klub.

Maukah Interisti terjepit dalam situasi serupa? Akan sangat menyedihkan kalau di kemudian hari khayalan Interisti tentang pemilik kaya raya hancur berantakan karena realitanya mereka berperilaku seperti parasit.

Oaktree Capital yang dipilih sebagai rekanan beberapa waktu lalu guna menyelamatkan finansial klub sampai saat ini juga baru menginjeksikan seperlima dana dari keseluruhan nominal yang disepakati yaitu 275 juta Euro.

Suning Group pun pasti pusing tujuh keliling mencari cara menutup defisit yang ada agar Inter Milan tetap eksis dan memilih melepas aset berupa pemain pentingnya demi menyeimbangkan neraca keuangan.

Ada sebab akibat yang bikin Inter Milan ada di situasi ini. Namun segala masalah yang terjadi bukan melulu muncul dari Suning Group. Ada banyak hal di luar kuasa mereka yang menyebabkan I Nerazzurri terjepit.

Komentar