Meski bertajuk “friendly derby”, jangan harap hubungan Liverpool dan Everton persis seperti persahabatan Dudung dan Maman yang digambarkan The Changcuters dengan sangat indah.
Jangan Anda kira bahwa mentang-mentang penggemar Everton dan Liverpool dalam Merseyside Derby biasanya duduk bersebelahan itu artinya mereka berdamai. Tentu saja tidak. Liverpool membenci Everton dalam kadar kebencian yang setara dengan membenci Manchester United. Begitu pula Everton juga sangat membenci Liverpool.
Kalau tidak percaya, cek respons dari cuitan Jamie Carragher di Twitter kala ia mengenakan seragam latihan Everton untuk mewawancarai Romelu Lukaku.
Interview & training with Lukaku coming now on @SkySportsNewsHQ pic.twitter.com/hCUL5eaRK3
— Jamie Carragher (@Carra23) February 28, 2017
Bagi Liverpool, ini adalah kekalahan karena seorang legenda mereka menggunakan seragam Everton. Sementara bagi penggemar Everton, mereka mendapat bahan baru untuk mengganggu penggemar Liverpool. Kata mereka, yang jelas, mengetahui riwayat Carra – panggilan Jamie Carragher – sebelum bermain di Liverpool adalah Evertonian, “Once a blue, always a blue.”
Atau kalau tidak begitu, Anda bisa membaca dari salah satu dongeng Steven Gerrard dan kostum Everton di biografi yang saya ketahui dari akun twitter @IndoStevieG . Kostum itu disematkan paman Gerrard, tanpa sepengetahuan ayahnya.
Gerrard kemudian berfoto dengan kostum tersebut, lengkap dengan trofi yang diraih Everton sebagai pemanis. Ayah Gerrard, seorang Kopites, jelas marah dengan hal ini. Apalagi setelah ia tahu rencana pamannya yang secara diam-diam berusaha mendaftarkan Gerrard ke akademi Everton.
Oleh ayahnya, Gerrard, yang sudah dari kecil menyita perhatian warga Merseyside karena talentanya, dijauhkan dari Everton. Bahkan, si ayah berusaha sekuat mungkin untuk menjauhkan anaknya dari “pengaruh negatif”.
Untuk melihat kadar saling benci kedua klub ini, coba tonton film One Night in Istanbul. Sama seperti judulnya, film komedi ini tentu mengisahkan tentang malam ajaib di Istanbul di mana Liverpool berhasil mengalahkan AC Milan lewat drama adu penalti. Uniknya, dalam film ini juga muncul sebuah scene di mana penggemar Everton marah-marah kala mengetahui Liverpool menjuarai Liga Champions.
Serta tentu saja, jangan lupakan dengan perang banner. Terakhir, Liverpool mengejek Everton yang tak pernah juara selama 21 tahun di kandang mereka sendiri, Goodison Park.
Maka jangan heran kalau laga ini kemudian dapat berjalan dengan sangat keras. Dalam sejarah Liga Primer Inggris, total 21 kartu merah dikeluarkan wasit ketika kedua bertemu. Bagi Everton dan penggemarnya, tentu kemenangan atas Liverpool adalah sebuah kebanggaan sehingga mereka betul-betul mengerahkan seluruh tenaga.
Penggemar Everton, sepengamatan penulis di media sosial, masih kerap mengatakan bahwa Liverpool “dulunya” Everton. Hal ini mengacu pada sejarah Liverpool yang terbentuk karena manajemen Everton tak setuju naiknya harga sewa stadion Anfield yang saat itu dimiliki John Houlding, figur yang pada akhirnya mendirikan Liverpool FC.
Sementara bagi Liverpool, kemenangan atas Everton adalah upaya menjaga harga diri. Setelah lebih unggul dari segala aspek dibandingkan tetangganya, mereka tidak ingin dipermalukan sedikit pun.
Panas, namun bersahabat
Namun, meski sama-sama membenci, tentu ada sebabnya mengapa laga Liverpool melawan Everton dijuluki friendly derby. Salah satunya adalah fenomena yang lumrah di Merseyside ketika seorang ayah yang Evertonian bisa saja memiliki anak yang “membelot” untuk mendukung Liverpool.
Hal ini kemudian memengaruhi cara pandang kedua sisi penggemar, atau bahkan, kedua klub itu sendiri. Kedua klub ini paham kapan harus menebar kebencian dan kapan harus membantu satu sama lain. Hal ini didasari oleh satu hal yang lebih tinggi dari sepak bola, yaitu kemanusiaan.
Misalnya saja ketika para pendukung Everton yang turut memberikan tribut kepada korban Hillsborough kala menjamu Newcastle pada 2012. Seorang bocah perempuan dengan kostum Liverpool dan seorang bocah laki-laki dengan kostum Everton, seantero Goodison Park penuh dengan tepuk tangan sembari layar lebar menampilkan nama-nama dalam tragedi tersebut.
Itu adalah momen di mana Liverpool dan Everton meninggalkan rivalitasnya, dan menjadi satu identitas – warga Merseyside – yang saling menguatkan satu sama lain.
Sementara yang baru-baru ini terjadi adalah Liverpool mengumumukan bahwa mereka akan 100% mendukung program Fans Supporting Food Bank.
Fans Supporting Food Bank adalah program yang diinisiasi penggemar Liverpool dan Everton, dan sudah menginspirasi penggemar Newcastle United untuk membangun kegiatan serupa.
Kampanye yang memiliki slogan “Karena kelaparan tidak memandang warna klub” sudah didukung oleh kelompok penggemar paling kuat dari kedua klub, Everton Supporters’ Trust dan Spirit of Shankly. Kedua penggemar ini kemudian mengumpulkan makanan untuk didonasikan sebelum laga, entah Liverpool atau Everton.
Hal ini tentu saja merupakan bukti, bahwa rivalitas tak harus berujung pada kekerasan akibat kepongahan. Rivalitas, bisa juga membawa pada hal-hal yang unik macam Liverpool dan Everton.
Sikap saling benci bisa membuat pertandingan menjadi sangat seru di dalam lapangan. Namun di luar lapangan, saling bahu-membahu menebar manfaat.