Kendati memulai karier sebagai pelaih sepakbola pada tahun 1990 silam, nama Maurizio Sarri baru dikenal belakangan ini. Pamornya bergema dan jadi perbincangan banyak orang setelah menukangi Napoli per musim 2015/2016 dan membawa klub dari kota kelahirannya itu tampil konsisten di Serie A dan kompetisi Eropa.
Salah satu nilai tawar dari pria berumur 61 tahun ini adalah filosofi permainannya yang ofensif. Memunggungi ciri khas pelatih-pelatih Italia yang terkenal pragmatis dan menjunjung tinggi gaya main defensif.
Dalam ramuan strateginya, mantan bankir ini membuat tim asuhannya menyuguhkan penguasaan bola berdasar umpan-umpan pendek yang dipadukan dengan pemanfaatan bola-bola mati serta memaksimalkan ruang yang ada. Ia pun ditempatkan satu barisan dengan para penggawa desakralisasi Catenaccio seperti Arrigo Sacchi dan Zdenek Zeman.
Bermodal skuad yang dihuni nama-nama semisal Lorenzo Insigne, Jorginho, dan Dries Mertens, Sarri menyulap I Partenopei sebagai kesebelasan yang ditakuti. Mereka rajin menyelesaikan musim di papan atas serta mentas di ajang Liga Champions. Tak heran bila akhirnya Napoli dan Sarri semakin disorot.
Akan tetapi, keberadaan Sarri di Stadion San Paolo hanya berlangsung tiga musim. Sebelum musim 2018/2019 bergulir, ia menandatangani kontrak kerja dengan tim raksasa Inggris, Chelsea.
Sudah bukan rahasia lagi kalau pemilik The Blues yang juga taipan minyak asal Rusia, Roman Abramovich, amat terobsesi dengan permainan ofensif nan indah. Menurut Abramovich, dengan filosofi yang dibawa sang pelatih, Sarri merupakan figur yang cocok buat menangani Chelsea.
Walau kesulitan bersaing dalam perebutan titel Liga Primer Inggris dan rontok cepat di ajang Piala FA, dirinya masih mampu mengantar anak buahnya ke dua final yakni Piala Liga dan Liga Europa meski dengan hasil berlainan. Tersedu-sedan di ajang pertama, tapi bergembira di kompetisi yang disebut belakangan.
Gelar Liga Europa 2018/2019 sendiri menjadi prestasi mayor perdananya selama berkarier sebagai pelatih!
Ironisnya, Sarri justru tak mendapat dukungan yang layak dari pendukung The Blues. Padahal pola permainan yang ofensif dan agresif sudah ditampilkan secara gamblang.
Pria yang sempat tersandung kasus ucapan homofobia itu bahkan disebut-sebut punya masalah dengan bintang andalan tim sekaligus pujaan publik Stadion Stamford Bridge, Eden Hazard.
Pengalaman tidak mengenakkan itu akhirnya mendorong Sarri untuk mudik ke Italia. Apalagi dirinya sempat mengungkapkan ingin dekat dengan keluarganya. Pucuk dicinta ulam tiba, Juventus yang baru saja mendepak Massimiliano Allegri lantas mendekatinya.
Tepat pada 16 Juni 2019, lelaki berpredikat pelatih terbaik Serie A 2016/2017 ini meneken kontrak berdurasi tiga musim dengan La Vecchia Signora.
Sebetulnya, ada sentimen yang meletup di antara Juventini terkait pemilihan Sarri sebagai suksesor Allegri. Rekam jejak Sarri yang belum kelewat mentereng dinilai bisa jadi batu sandungan untuk meneruskan kedigdayaan di kompetisi Serie A. Pun dengan ambisi Juventus yang ingin menjadi kampiun Liga Champions.
Banyak yang merasa bahwa keberhasilan Sarri dengan Chelsea di Liga Europa 2018/2019 tak bisa dijadikan patokan. Maka terasa wajar kalau mereka ngebet melihat Paulo Dybala dan kawan-kawan diasuh nama lebih berkualitas serta memiliki prestasi segudang.
Benar saja, sepanjang melatih Juventus di musim ini, fluktuasi yang muncul membuat Juventini seringkali melayangkan kritik kepada sang allenatore. Entah diakibatkan pemilihan strateginya atau komposisi pemain yang diturunkannya dalam sebuah pertandingan. Kekalahan 2-4 dari AC Milan dan 1-2 dari Udinese bikin Sarri dibanjiri kritik.
Meski demikian, ia tetap mampu mengantar Juventus duduk manis di puncak klasemen Serie A dan akhirnya mengantar La Vecchia Signora merajai Italia untuk kesekian kali sekaligus mencicipi titel liga pertamanya sebagai allenatore.
https://twitter.com/juventusfcid/status/1287504293113655296?s=19
Dybala dan kolega juga masih berkiprah di 16 besar Liga Champions (sedang tertinggal agregat 0-1 dari Olympique Lyonnais) serta menyimpan kans lolos ke babak berikut. Praktis, cacat Sarri (terkait pencapaian tim) cuma lahir di ajang Piala Italia lantaran mereka gagal menjadi juara setelah tumbang dari Napoli asuhan Gennaro Gattuso di laga penentuan.
Paradoks Sarriball
Sebagai pelatih gaek, sebenarnya Sarri tidak punya personifikasi khusus bagi permainannya. Ia lebih menyerupai seorang partikelir taktik.
Dirinya berkelana dari satu klub ke klub lainnya. Bahkan di klub yang ia komandoi, tidak ada satu pun yang punya kultur permainan serupa dengan gaya permainan kesukaannya.
Di Italia, identitas permainan Sarri memang tergolong rumit. Karena pada umumnya, para juru taktik di Negeri Spaghetti lebih fleksibel menerima komposisi pemain yang tersedia.
Sedangkan dirinya merupakan salah satu tipikal pelatih yang sistemik. Ia lebih mengutamakan taktiknya ketimbang menyesuikan komposisi pemain yang ada. Itu dilakukannya untuk menciptakan sepakbola yang menghibur khalayak.
Ciri khasnya yang sistemik itu membuat permainan sepakbola yang ia usung lama-lama terasa birokratis. Sarri membuat esensi permainan sepakbola mesti melewati syarat yang berlapis-lapis. Meskipun niat awalnya untuk memberi tontonan yang menghibur, tapi dampaknya terasa pada potensi individu pemain yang kadang lenyap di lapangan.
Dengan kata lain, Sarri adalah sosok yang kaku. Detail-detail permainan secara individual dibeberkan kepada setiap pemain, tapi ada kesan bahwa ia mendikte anak asuhnya. Apa yang boleh dilakukan di lapangan dan apa yang tidak. Semuanya bermuara pada tujuan Sarri memamerkan filosofinya semata.
Bagi saya pribadi, sistem permainannya yang kemudian dikenal sebagai Sarriball itu menekan kehendak bebas anak asuhnya.
Penekanan terhadap kehendak bebas para pemainnya merupakan pertanda kalau pola permainan racikan Sarri bukan sistem yang fleksibel.
Sistem ini membutuhkan praktik dari pemahaman yang mendalam. Kuncinya terletak pada kohesi antarpemain. Jika kohesi mereka apik dan tidak menonjolkan ego individual, maka kolektivitas permainan ala Sarri bakal berjalan dengan baik.
Sarriball juga menunjukkan bahwa lelaki kelahiran 10 Januari 1959 tersebut adalah juru taktik yang butuh waktu jangka panjang.
Ia akan tepat bagi kesebelasan yang coba membangun kesuksesan dari nol. Membangun tim untuknya sama saja memulai dari kekosongan. Dengan demikian, eks nakhoda Empoli ini dapat meracik tim sesuai kehendak bebasnya sendiri.
Di luar rumusan taktik, obsesi manajerial sepakbola Sarri juga penuh kerumitan. Selain visinya dinilai bersilangan dengan kultur Catenaccio, Sarri juga punya sikap yang cenderung konservatif.
Watak demikian tentu akan sukar ketika menangani egosime pemain kelas elite seperti Cristiano Ronaldo. Dalam laga kontra Udinese di pekan ke-35 lalu, beredar cuplikan di mana megabintang asal Portugal itu enggan mendengar instruksi Sarri.
Jika di Juventus Sarri sering dikabarkan berseteru dengan banyak pemain, agaknya itu wajar. Sebab ada indikasi ia kesulitan mengendalikan ruang ganti La Vecchia Signora. Ia tampak punya masalah dengan pola komunikasi interpersonal.
Artinya, penerapan filosofi permainan Sarri sekarang ini tampaknya jauh panggang daripada api. Banyak hal mendasar yang mesti ia bereskan terlebih dahulu.
Setelah menuntaskan persoalan mendasar, tantangan lain bagi Sarri terletak pada kebiasaan Juventus yang menjadikan kemenangan sebagai prioritas utama. Bagi Juventus, filosofi permainan bukanlah kebutuhan utama. Menang dan menjadi yang terbaik adalah DNA klub asal Turin tersebut.
Benturan visi antara Sarri dan Juventus kudu dicari titik tengahnya. Kesuksesan Dybala dan kawan-kawan menggenggam titel Scudetto kesembilannya secara beruntun dapat membantu proses tersebut. Dengan begitu, sang pelatih makin terbiasa mengangkat gelar-gelar bergengsi sehingga La Vecchia Signora memilih setia padanya.