Barangkali keputusan Jurgen Klopp untuk memasukan Xherdan Shaqiri ke lapangan menjadi bumerang berkepanjangan bagi Manchester United.
Situasi itu menimbulkan Butterfly Effect yang merembet sampai terciptanya komedi paling menggelikan di lingkup olahraga paling populer di dunia ini.
Andai saja pelatih asal Jerman itu lebih memilih menahan taktik jeniusnya untuk memberikan kesempatan main buat Daniel Sturridge alih-alih Shaqiri, bisa saja United masih mempertahankan Jose Mourinho sebagai arsitek tim dengan jangka waktu sedikit lebih lama.
Fans The Red Devils juga tidak harus menanggung malu karena melihat klub kesayangannya harus berpuasa gelar nyaris setengah dekade. Menjadi bulan-bulanan seluruh manusia karena lawakan kompor gasnya.
Akan tetapi, sepakbola selalu memberikan misteri dan plot twist yang mengejutkan. Jauh lebih ekstrem dibanding seluruh seri Harry Potter karya J.K. Rowling.
Memiliki alasan yang kuat dengan rentetan hasil tidak menyenangkan, beserta puncak laga melawan sang rival dengan skor mencolok, keputusan final akhirnya dibuat.
Tentu dengan diskusi panjang antara Ed Woodward beserta jajarannya. Mourinho dipecat dari kursi kepelatihan United tepat saat Benua Biru sedang memasuki musim dingin.
Suasana yang kontras justru terlihat di ruang ganti United saat itu. Di mana satu sama lain, antara pemain dengan pemain atau pemain dengan pelatih sedang beradu sikut cukup panas.
Kabarnya itu juga salah satu penyebab The Special One mulai mendekati peredikat The Sacked One.
Dari sini lah drama berkepanjangan menemui garis awal mereka. Selepas Mourinho mencapai akhir ceritanya bersama United, desas-desus nama penggantinya mulai mencuat.
Dari pelatih dengan rekam jejak bagus yang sedang menganggur, legenda populer klub sendiri yang kebetulan terjun di dunia manajerial, sampai nama Michael Carrick juga ikut terbawa dispekulasikan menjadi juru taktik baru di Theatre Of Dreams.
Plot twist pertama akhirnya terkuak, Ole Gunnar Solskjaer terpilih menjadi caretaker atau pelatih sementara untuk rival sekota Manchester City ini.
Sebuah kejutan yang kelak akan menjadi guyonan fans sepakbola di masa depan.
Nama Ole memang cukup terkenal di kalangan fans United karena dirinya adalah salah satu pahlawan kemenangan menakjubkan saat melawan klub asal Jerman, Bayern Munchen, pada final Liga Champions 1998/1999.
Gol ajaibnya di menit terakhir masih menjadi folklor yang sampai detik ini diingat oleh segala generasi yang mengaku sebagai penggemar si kulit bundar.
Ole memang menakjubkan saat masih menjadi pemain, gol yang datang darinya seringkali melahirkan cerita indah untuk kemenangan klubnya.
Namun deretan pencapaian terbaik saat masih menjadi pelaku utama di atas lapangan, nyatanya belum cukup untuk membuatnya pantas naik tingkat sebagai pelatih United.
Ditambah track record buruknya sebagai pelatih yang dipecat Cardiff City karena cuma membawa klub asal Wales tersebut meraih 30 poin di sisa musim sehingga The Bluebirds terdegradasi ke divisi Championship.
Entah perjudian macam apa yang sedang dilakukan oleh manajemen United dengan memboyong Ole ke Old Trafford sebagai pelatih anyar.
Awal perjalanannya memang cukup mengagumkan, deretan kemenangan beruntun berhasil ia suguhkan.
Permainan menyerang yang enak disaksikan juga kembali dibawakan oleh dirinya. Menyerang, menyerang, menyerang, seperti ciri khas yang kembali hadir di Old Trafford.
Kita pasti menyadari betapa manisnya Ole saat melakukan konferensi pers di depan awak media.
Ia berbeda 180 derajat dari pelatih sebelumnya yang suka membuat sensasi untuk memberi makan deretan media yang ‘Nggak MU Nggak Makan.’
Hubungan antarpemain pun jauh lebih kondusif, berbeda dengan Mourinho yang selalu membuat ruang ganti layaknya pemandian sauna.
Ole lebih mumpuni untuk menangani ego dan psikologi pemain supaya tidak membangkang, tidak peduli bahwa keputusannya nyeleneh. Sebuah ironi yang baru terasa amat menyedihkan sekarang ini.
Sampai pada comeback dramatis di kota Paris mungkin menjadi hal tertinggi yang pernah ia persembahkan sebagai pelatih United.
Usai membuat dongeng indah versi nyata yang tak kalah memukau dari Ratatouile, kapasitas Ole dalam menangani The Red Devils mulai terlihat.
Kekalahan satu per satu mulai berdatangan tepat setelah dirinya diangkat menjadi kepala pelatih. Bukan lagi sebagai caretaker.
Spesialis semifinal, pelatih penuh teka-teki taktik yang sungguh absurd, sampai rentetan lelucon lainnya yang kerap dilontarkan pada seluruh akun sepakbola di media sosial.
Ole yang ternyata lawak begitu sebenarnya punya kiprah cukup lumayan dengan membawa Paul Pogba dan kawan-kawan ke tangga persaingan juara dari satu musim ke musim selanjutnya.
Dari masa yang bergelut keluar zona degradasi saat musim baru dimulai, hingga bertengger di peringkat ketiga dan runner up pada akhir kompetisi.
Pada level Eropa, rapornya juga tidak buruk-buruk amat. Sekali melaju ke semifinal Europa League dan pada percobaan berikutnya sampai ke babak final meskipun akhirnya kalah adu penalti dari klub Spanyol, Villarreal.
Ole jelas lebih baik daripada admin media sosial resmi The Red Devils Indonesia yang nggilani bukan kepalang itu.
Lantas, apakah Ole bersalah atas semua kekacauan yang terlihat dari United belakangan ini?
Ya, sebagai sebagai otak permainan seharusnya ia lebih bisa memanfaatkan potensi tiap pemain bintang yang ditanganinya. Namun Ole juga tidak bisa dijadikan tumbal amukan seluruh penggemar.
Coba lihat lagi ke belakang, apa yang sebenarnya diharapkan dari mantan pelatih yang dipecat Cardiff City?
Padahal, pelatih sekelas Mourinho dan Louis van Gaal saja kewalahan setengah gila saat menangani United.
Jangan ngadi-ngadi dan berharap Ole berubah menjadi pesulap ulung di ranah taktik sepakbola layaknya Pep Guardiola. Yoh Ndak Iso Ndes.
Tugas fans apa? Menurunkan ekspektasi selama kursi manajerial masih menjadi milik Ole. Itu mutlak harus dilakukan daripada berkhayal terlalu tinggi karena sama saja menyakiti diri sendiri dengan sukarela.
Kecuali, fans United adalah masokis yang baru bisa merasakan bahagia usai menyiksa dirinya sendiri.
Semasa bermain, Ole mendapat julukan The Baby Face Assassin karena parasnya yang imut tetai tetapi kejam di depan gawang lawan. Ia begitu rajin mencetak gol kendati turun sebagai pemain pengganti.
Jika saat bermain ia layak mendapat julukan tersebut. Ketika melatih Pogba dan kawan-kawan julukan itu luruh seketika.
Ole terlalu baik guna mendapat label seperti itu. Apalagi kemampuannya dalam mengolah taktik masih belum mumpuni, utamanya dalam menjelaskan detail-detail permainan yang ia inginkan.
Kisah heroik Ole sebagai predator lapangan hijau kini bak tumpukan usang. Sebagai pelatih, ia jauh dari kata kejam lantaran sering mempersulit posisi klub yang dari sananya gemar disebut iblis sekaligus dirinya sendiri.