Sampai Di Sini Saja, Manchester United?

Kartu merah Caglar Soyoncu mewarnai kekalahan Leicester City atas Bournemouth. Di pertandingan lain, kesalahan lini belakang Chelsea lagi-lagi berakibat pada hilangnya poin saat melawan Sheffield United.

Situasi tersebut, hampir membuat Manchester United naik ke posisi tiga besar klasemen Liga Inggris. Namun, pada menit ke-96, Michael Obafemi justru bisa menyamakan kedudukan bagi Southampton di Old Trafford.

Kehilangan dua poin membuat Setan Merah gagal menyalip Leicester dan Chelsea. Padahal dalam laga melawan The Saints itu, United tampil dengan kekuatan penuh. Namun, mereka tak berkutik juga dan gagal memanfaatkan superioritas yang biasanya ditunjukkan.

Anak asuh Ole Gunnar Solskjaer memang superior dalam lima laga sebelumnya —termasuk satu di ajang Piala FA. Lini depan mereka, yang dimotori Anthony Martial, Marcus Rashford, dan Mason Greenwood, sedang dipuja-puja. Rekor sebagai tim pertama yang meraih kemenangan dengan selisih tiga gol atau lebih dalam empat laga berturut-turut juga sukses dipegang.

Lini dibelakangnya lebih berwarna lagi. Bruno Fernandes dan Paul Pogba bisa bekerja dengan baik, menepis anggapan bahwa mereka berdua tidak cocok bermain bersama. Belum lagi Nemanja Matic yang tampil ciamik di sepertiga awal lapangan, baik ketika United bertahan maupun membangun serangan.

Line-up Setan Merah memang bagus. Malah bisa dibilang sangat bagus. Namun, coba perhatikan sejenak gambaran yang lebih besar. Ada hal lain yang perlu digarisbawahi, bahwasanya dalam liga, tak bisa bicara hanya satu dua —bahkan hingga lima— laga saja menjadi tak cukup relevan.

Rentetan pertandingan ada kalanya patut ditinjau sebagai sebuah kesatuan kompetisi. Apalagi ketika berbicara tentang klasemen yang merupakan akumulasi dari hasil laga-laga tersebut. Untuk itu, perlu rasanya untuk melihat kembali jadwal liga yang berjalan saat ini.

Liga Inggris, sejak kembali setelah libur akibat pandemi, bermain dalam rata-rata empat hari sekali. Dua kali lebih padat daripada jadwal kompetisi di kondisi normal. Ketika melihat apa yang dilakukan oleh tim saat jeda antar laga tersebut, dampak dari rapatnya jadwal akan terlihat.

BACA JUGA:  Sepakbola ala De Zerbi untuk The Seagulls

Sejak mempopulerkan periodisasi latihan kala membesut Chelsea pada medio 2000-an, metode tersebut kemudian dipakai banyak pelatih, hingga saat ini. Program itu secara garis besar merumuskan menu latihan yang diberikan kepada pemain kala jeda antarpertandingan liga.

Dengan sempitnya waktu antarlaga, periodisasi latihan tidak dapat dijalankan sebagaimana yang direncanakan saat situasi normal. Bolehlah bicara bahwa dari segi taktikal, hal itu tak terlalu terpengaruh karena tak ada perubahan signifikan di sana, hanya detail-detail eksekusi yang berbeda.

Akan tetapi, bagaimana jika ditinjau dari sisi waktu recovery bagi pemain. Pesepakbola, selama bertahun-tahun mereka berkarier, membiasakan tubuhnya untuk dapat fit bermain dalam seminggu sekali ―ditambah sekali-kali bermain di tengah pekan.

Tidak bisa dipungkiri, ketika jadwal pertandingan menjadi dua kali lebih padat dan berlangsung dalam krurun waktu yang lama, situasi menjadi rumit. Kondisi tersebut ibarat memainkan boxing day berkali-kali selama berminggu-minggu. Berat

Tengok terlebih dahulu, solusi yang biasanya dilakukan untuk mengatasi rapatnya laga ketika boxing day. Jawabannya adalah melakukan rotasi agar pemain tetap memiliki waktu pemulihan pascalaga yang cukup untuk kembali ke kondisi terbaik mereka. Ole tahu itu. Ia melakukannya juga akhir tahun lalu.

Problemnya, pelatih asal Norwegia itu tak melakukannya saat ini. United hampir tidak mengganti starting eleven mereka dalam lima laga terakhir di Liga Inggris. Beberapa diantaranya turun juga saat bersua Norwich City di Piala FA.

Dengan jadwal kompetisi sepadat itu, ditambah waktu recovery yang minim, tentu tubuh tak bisa dibohongi. Dalam situasi tersebut, berharap sebelas pemain yang sama mempertontonkan performa puncak mereka selama lima laga berturut-turut dalam kurun 20 hari merupakan hal yang muskil.

BACA JUGA:  Belajar dari The Sun dalam Tragedi Hillsborough

Cedera punggung Victor Lindelof saat berjumpa dengan Bournemouth mestinya menjadi tanda bahaya yang dipahami Ole. Kemudian, alarm kedua berbunyi lagi ketika engkel Luke Shaw terkilir saat melawan Southampton.

Akan tetapi, Ole juga dihadapkan pada masalah lain. Starting line-up United memang bagus, tetapi hanya selapis itu saja. Tak cukup banyak pemain di bangku cadangan yang dapat mengolah bola sebaik ―atau paling tidak mendekati― sebelas pemain utama ketika mereka dalam kondisi prima.

Buktinya, Setan Merah keteteran untuk mengalirkan bola ke lini serang setelah Pogba ditarik pada pertandingan melawan The Saints. Belum lagi Bruno juga diparkir enam menit sebelum waktu normal berakhir. Habis sudah serangan United.

Ole paham situasi tersebut, sehingga ia memilih bermain bertahan di sisa waktu yang ada. Keputusan tersebut, secara tidak langsung, justru mengekspos kelemahan timnya, yakni lini pertahanan mereka.

Petaka datang lagi melalui Brandon Williams. Ia sebenarnya bermain cukup baik, tetapi kepalanya bocor akibat benturan dengan Kyle Walker-Peters. Setan Merah bermain sepuluh orang dan kebobolan. Namun, masalah tersebut tidak usai saat peluit panjang ditiup.

Saat ini, United tak punya stok bek sayap kiri. Memasang Diogo Dalot juga berarti bermain dengan risiko besar. Pasanya, ketika bermain di posisi aslinya saja, sebagai bek kanan, pemain asal Portugal itu sudah panen kritikan.

Ole kini pasti sedang berusaha memahami situasi. Andai sudah mengerti, ia masih harus memutar otak mencari solusi. Pusing. Dengan kondisi skuad yang kedalamannya tidak mumpuni, sedangkan pemain utama mulai kehabisan bensin, bisa jadi kegemilangan Setan Merah digariskan berakhir di sini.

Komentar
Pendukung Persiba Bantul dengan akun twitter @AndhikaGila_ng