Empat pertandingan sudah dimainkan tim nasional Indonesia pada babak kualifikasi Piala Dunia 2022. Tragisnya, anak asuh Simon McMenemy selalu keok dari lawan-lawannya. Malaysia unggul 3-2, Thailand mengepak poin penuh dengan kemenangan 3-0, papan skor memamerkan kedudukan akhir 5-0 saat kita pulang dari Uni Emirat Arab dan hasil positif 1-3 jadi bekal Vietnam sepulangnya ‘berlibur’ ke Bali.
Hasil ini sangat memalukan karena untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, Indonesia kalah berturut-turut dalam empat pertandingan resmi FIFA. Lebih memprihatinkan lagi, tiga dari empat kekalahan tersebut diderita Irfan Bachdim dan kawan-kawan dari rival satu region serta di hadapan publik sendiri.
Rapor buruk tersebut berimbas pada kans lolos ke Piala Dunia 2022 yang makin mustahil dan anjloknya posisi Indonesia pada rangking terbaru FIFA (berada di peringkat ke-171 per bulan Oktober 2019).
Gara-gara performa jeblok Indonesia, para pendukung timnas mendesak PSSI agar memberhentikan McMenemy. Pelatih asal Skotlandia itu disebut sebagai sosok yang paling bertanggungjawab atas hasil-hasil minor Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2022 dan dituding tidak memiliki kapabilitas untuk menangani timnas.
Dilansir oleh Bolasport, ketua umum PSSI, Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, sudah memberi ultimatum kepada McMenemy bahwa masa kerja sosok berumur 41 tahun itu di timnas akan segera berakhir. Laga kualifikasi Piala Dunia 2022 versus Malaysia di Stadion Bukit Jalil pada 19 November 2019 nanti, kabarnya jadi momen perpisahan bagi sang pelatih.
Sudah menjadi rahasia umum kalau masyarakat Indonesia begitu geram dengan penampilan timnas senior yang sering tampil buruk dan miskin prestasi. Padahal, aksi-aksi para penggawa junior, baik di level U-22, U-19, U-18 sampai U-16 terbilang menjanjikan.
Di tahun 2018 kemarin, timnas U-16 besutan Fachry Husaini berhasil menjuarai Piala AFF U-16 serta menjejak perempatfinal Piala Asia U-16. Pun begitu dengan timnas U-19 yang sanggup melangkah sampai perempatfinal Piala Asia U-19. Sementara timnas U-22 yang ditukangi Indra Sjafri malah sukses merengkuh gelar juara ketika terjun di ajang Piala AFF U-22 tahun 2019.
Melihat catatan tersebut, wajar kalau publik memiliki segudang pertanyaan tentang amburadulnya performa timnas senior. Jangankan tampil bagus di sebuah turnamen, pada laga persahabatan saja mereka acap menampilkan aksi-aksi yang menjengkelkan.
Lantas, dengan rencana menggusur McMenemy dari kursi pelatih timnas, apakah penampilan Indonesia bisa melonjak seketika?
Jika membahas perubahan, kemungkinan itu pasti ada. Apalagi kalau pengganti McMenemy nanti punya kualitas yang lebih baik. Namun perubahan di timnas Indonesia tidak mutlak berada di tangan pelatih. PSSI memegang tanggung jawab amat besar untuk menciptakan iklim kompetisi yang sehat guna membantu timnas.
Akui saja bahwa salah satu penyebab buruknya performa timnas senior diakibatkan tata kelola liga yang masih kacau, utamanya terkait jadwal pertandingan yang kelewat padat sehingga mengganggu waktu istirahat para pemain.
Belum lagi kebijakan sinting PT. Liga Indonesia Baru (LIB) yang menyusun jadwal pertandingan berselang-seling untuk setiap tim. Jika di pekan ini klub A bermain kandang, maka di pekan berikutnya mereka akan melakoni partai tandang. Padahal, Indonesia memiliki kondisi geografis yang amat luas berpotensi membuat pemain menghabiskan begitu banyak waktunya cuma untuk menempuh perjalanan.
Sebenarnya, bermain tiga hari sekali dan melakoni partai kandang-tandang secara bergantian tiap pekan, juga lumrah diterapkan di Eropa, kiblat sepakbola profesional dunia. Namun di Indonesia, problemnya jauh lebih kompleks.
Lebih lanjut, masalah izin keamanan dari pihak Kepolisian sehingga waktu kickoff bisa berubah tiba-tiba, jadwal yang berubah hanya beberapa hari atau bahkan jam sebelum kickoff akibat permintaan pemilik hak siar dan masih banyak lagi juga patut dibereskan. Terus berulangnya kasus-kasus serupa menunjukkan rendahnya tingkat profesionalitas PSSI dan PT. LIB dalam menyusun jadwal.
Di sisi lain, kebijakan PSSI maupun operator liga yang memberi kesempatan cukup besar kepada tim-tim Liga 1 dalam merekrut pemain asing (empat pemain asing yang salah satunya wajib dari Asia). Secara langsung, hal ini mengebiri kesempatan pemain lokal buat unjuk gigi, khususnya bagi mereka yang berposisi sebagai bek tengah, gelandang serang, dan striker.
Seiring perkembangan waktu, semakin banyak pula kesebelasan Liga 1 yang mengakali aturan tersebut dengan memboyong banyak pemain naturalisasi. Alhasil, starting eleven mereka dalam setiap pertandingan kerap dihuni banyak ‘pemain asing’.
Menurut saya, PSSI dan PT. LIB wajib melakukan sinergi yang lebih prima. Baik di antara mereka sendiri maupun dengan pihak-pihak eksternal seperti pemegang hak siar dan Kepolisian. Tujuannya jelas, agar jadwal pertandingan dapat disusun secara teratur dan lebih manusiawi.
Jika memungkinkan, mereka kudu berani mengambil keputusan tentang perekrutan pemain asing. Misalnya saja mengurangi jumlah pemain asing menjadi dua orang dengan satu di antaranya berasal dari Asia atau bahkan menghapusnya secara total. Walau ini tidak terjadi di Eropa, tapi buat negara yang masih tertatih-tatih di ranah sepakbola macam Indonesia, hal tersebut dapat dipertimbangkan.
Di mana lagi pemain lokal dapat memamerkan kemampuan sekaligus membuktikan kapasitasnya kalau bukan di kompetisi lokal?
Federasi sepakbola Malaysia (FAM) pernah menerapkan regulasi nyentrik tersebut medio 2009-2011 di kompetisi Liga Super Malaysia. Hasilnya pun tergolong manis karena pemain-pemain lokal mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk mematangkan kemampuan. Hal itu pun berujung berkah dengan titel Piala AFF 2010 serta medali emas South East Asia (SEA) Games 2009 dan 2011.
Aturan progresif semacam ini sebenarnya pernah diterapkan di Liga 1 pada tahun 2017 silam. Kala itu setiap klub wajib memainkan pemain di bawah usia 23 tahun sebagai starter dengan durasi bermain minimal selama satu babak.
Keberadaan regulasi itu tak lantas bikin sepakbola Indonesia menggeliat, tapi setidaknya para pemain muda yang diberi kesempatan betul-betul dapat mengasah kemampuan. Kita sendiri, para penonton, bisa melihat talenta-talenta muda brilian seperti Billy Keraf, I Made Andhika Wijaya, M. Arfan, T.M. Ichsan, dan Rezaldi Hehanusa yang kemudian dipercaya membela timnas.
Bukan bermaksud mengecilkan visi Iwan Bule terkait kepemimpinannya di PSSI, tapi menyelesaikan hal-hal substansial macam ini punya urgensi lebih tinggi dibanding bermimpi lolos ke Piala Dunia 2026.
Sudah hakikatnya timnas yang kuat lahir dari kompetisi yang sehat dan pemain yang hebat lahir dari kompetisi yang sehat pula. Sepakbola Indonesia sudah menderita terlalu lama. PSSI sebagai pihak yang memegang tanggung jawab, sepatutnya berusaha keras untuk mengobatinya.