Aksi langsung dengan “A” besar, bukan hal baru bagi kaum anarkisme. Mereka melakukan aksi langsung karena cuap-cuap lewat tulisan takkan menggerakkan hati orang-orang yang menempati tampuk kekuasaan.
Aksi langsung adalah sarana paling efektif. Hal ini berimplikasi untuk mempersiapkan diri bagi kaum tertindas, guna melancarkan revolusi. Dari akar rumput, lapisan masyarakat paling marjinal.
Itu adalah polemik anarkisme dan idealnya. Jika boleh kita tarik garis lurus dalam ranah sepakbola, maka aksi langsung juga merupakan hal yang amat seksi. Lantas pertanyaannya, mengapa aksi langsung kudu dilakukan dalam ranah sepakbola kita?
Jawabannya hanya satu, progres tak kunjung nyata dari badan federasi yang membuat kecintaan kita terhadap sepakbola seringkali terpatahkan.
Kita tak pernah berakhir dengan bahagia kala bersatu mendukung tim nasional Indonesia. Ada saja kekalahan. Kekalahan yang harusnya bisa ditepis dari negara tetangga.
Membuat keputusan tentang nasib Liga 1 musim 2020 yang terdampak Covid-19 pun butuh waktu nyaris setahun. Sungguh gila! Orang paling naif pun, jika disodori pertanyaan bahagia atau tidak dengan kondisi sepakbola Indonesia, barang tentu ia akan menghardik sekaligus meludah.
Kita jangan tanya prestasi dulu, biarkan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang berbahagia mengenai itu. Kita bahkan harus berkontemplasi lebih jauh — apa sih fungsi badan federasi yang terus digerogoti oleh politisi ini?
Selain bikin pusing kepala dan ketuanya yang narsistik, apalagi yang ditawarkan selain janji manis dan iming-iming prestasi kala menjemput Pilkada?
Kita — sebagai pendukung timnas — apa tidak bosan masuk ke dalam lembah yang sama, bahwa di federasi sepakbola kita adalah sarang politik liar yang sungguh enak untuk diperas madunya?
Jika bertanya perihal prestasi terlalu kasar dan cenderung prematur, maka saya hanya ingin mengajukan satu saja pertanyaan: dari linimasa ke linimasa sejarah PSSI, sejauh mana federasi ini melangkah?
Selain konten #JumatBerkah, apalagi yang telah ketua umum kita perbuat? Sementara suporter timnas, justru berbanding amat terbalik. Mereka berkorban segalanya, jiwa dan, raga sudah pasti dikobarkan dan dikorbankan untuk sepakbola Indonesia. Baik untuk klub kesayangan maupun timnas.
Federasi yang harusnya menjadi “bapak”, justru arah keberpihakannya berbalik dari kita. Ada beberapa kubu yang memanfaatkan gegap gempita sepakbola hanya demi kariernya saja. Tanpa saya sebutkan contohnya, publik sepakbola kita tentu mafhum bahwa PSSI hanya jadi kuda pacu para politisi atau mereka yang ingin jadi politisi.
Sepakbola adalah utopia yang paling realita. Sepakbola adalah darah bagi lapisan masyarakat kita. Teriakan dan deru drum adalah nadi yang mengitari dari ujung Bantul, Jakarta, Aceh bahkan sampai Jayapura nun jauh di sana.
Dengan gegap gempita ini, jelas ada beberapa manusia tamak yang akan memanfaatkannya. Ada gula ada pula semutnya, adalah peribahasa yang nyata di sepakbola kita.
Di awal saya sudah menawarkan konsep aksi langsung. Sebuah konsep yang sepertinya amat cocok diterapkan untuk sepakbola negeri ini yang kian hari kian sakit. Ya, lebih baik kita tinggalkan saja sepakbola Indonesia.
Asas destruktif yang memang sakit untuk sepakbola dalam negeri, tetapi akan melahirkan pemikiran, “Jika sepakbola sudah tidak seksi lagi di Indonesia — tidak ada lagi uangnya — adakah yang mau mengurusnya di badan federasi?”
Aksi langsung ini bukan perihal pembangkangan massal. Hukum rimba yang akan memangkas orang-orang busuk di federasi. Maaf saja, saya tak pernah mengatakan semua busuk, namun selalu ada orang busuk di tengah-tengah orang yang mau memajukan langkah sepakbola Indonesia. Segelintir orang ini adalah parasit.
Orang-orang yang berpikiran kolot, ekonomis, dan politis, perlahan akan hengkang dari federasi. Jika sepakbola sudah tidak lagi menguntungkan, untuk apa diurusi? Sebaliknya, proses ini akan melahirkan orang-orang terbaiknya, orang yang akan berupaya keras untuk menghidupi sepakbola Indonesia yang sudah tidak ada lagi seksinya.
Tinggalkan federasi, beri mosi tidak percaya kepada mereka. Sepakbola bukan sentral kepada mereka lantaran sepakbola milik rakyat.
Buat liga atas dasar lepas dari otoritas mereka. Mudah? Oh, tentu saja susahnya bukan main. Salah satu kendalanya, ya, bagaimana peran serta politisi kecil di dalam klub-klub liga.
Para politisi — baik dalam federasi maupun klub — ini memang sejatinya licik. Mereka tahu bahwa rasa cinta yang mengakar kuat kepada sepakbola akan membutakan mata kita perihal prinsip bernama balas budi.
Kita telah mengorbankan segalanya, lantas apa yang dilakukan badan federasi, ambil saja contoh kecilnya di masa pandemi seperti ini? Bagaimana tanggung jawab mereka atas nasib atlet yang meradang dan kebetulan jumlah followers Instagram-nya sedikit dan tidak bisa dapat endorse dari sana dan sini?
Ketika seorang pesepakbola terjun ke ranah sepakbola tarkam, ini adalah kegagalan fundamental federasi. Lihat saja Bayu Gatra hingga Saddil Ramdani yang turun ke kampung-kampung, lantas yang mendapat hujatan adalah mereka. Secara logika, kita sudah melakukan kesalahan yang paling mendasar.
Atlet — selain menjaga kebugaran, mereka juga butuh bekal untuk mengisi perut sendiri dan keluarga. Liga yang tak jelas dan akhirnya dibatalkan usai menunggu nyaris setahun bikin semua yang berkecimpung di dalamnya pusing tujuh keliling. Korban paling utama? Tentu saja pemain.
Jika bisa dikatakan jahat, lantaran membiarkan pesepakbola dan suporternya saling hujat perkara bermain tarkam, federasi adalah kambing hitam yang bersembunyi ketika dua kubu saling serang. Apalagi musim kompetisi selanjutnya, Liga 1 2021, juga tak jelas kapan akan dimulai.
Menyalahkan klub pun sejatinya juga salah besar. Alur uang tentu akan diperhitungkan oleh mereka. Selama pandemi, klub hanya membayar gaji seorang pemain sebesar 25% saja. Ingat, klub tak memiliki pemasukan karena tak adanya kompetisi.
Bayangkan, bertahan di masa seperti ini, para pemain, ya, tentu saja tidak bisa bersandar sepenuhnya pada gaji dari klub. Ibaratnya, itu adalah bunuh diri secara perlahan dan federasi-lah penyebab tunggalnya.
Ini hanya contoh kecil ketidakbecusan selama pandemi. Belum membicarakan prestasi dan loyalitas mereka berkorban untuk sepakbola Indonesia seutuhnya.
Aksi langsung berupa pembangkangan total adalah pilihan paling realistis. Ketika kita meninggalkan sepakbola seutuhnya, apa yang bisa dipolitisasi darinya? Revolusi perlahan dari akar hingga ujung pangkalnya. Toh, kita memang perlu melakukan protes sebab sepakbola kita tak pernah beranjak ke mana-mana.
Aksi langsung ini merupakan bentuk aktualisasi sportivitas yang bebas pengaruh otoritas. Hal ini berguna untuk membangun ruang bersama tanpa menyentuh aspek propaganda.
Sejatinya kita dimanfaatkan seperti simbiosis parasitisme oleh ‘mereka’. Kita yang bersusah payah, berderai air mata, dan bercucuran darah pun keringat, tetapi ‘mereka’ yang menengguk suka cita. Kita bagai alat tukar barang, yang dipergunakan kala ‘mereka’ butuh saja.
Wahai tuan penguasa sepakbola negeri ini, kepada siapa Anda sejatinya bekerja? Ada orang yang Anda hidupi, bukan hanya kawan Anda yang berdasi, namun rakyat kecil seperti kami.
Wahai tuan penguasa sepakbola negeri ini, kepada siapa Anda berpihak? Kepada berhala uang? Kuda politik? Atau dewi sepakbola yang menangis dalam pangkuan Ibu Pertiwi?