Sudah lebih dari 50 hari penikmat sepakbola di manapun berada tak lagi bisa menyaksikan aksi-aksi idolanya di atas lapangan hijau. Bukan bencana alam, bukan juga perang yang menyebabkan itu terjadi, melainkan pandemi Corona. Salah satu kompetisi yang terpaksa dihentikan adalah kasta teratas sepakbola Italia, Serie A. Padahal musim 2019/2020 bisa disebut sebagai salah satu momen paling seru dalam kurun sedekade pamungkas.
Italia memang salah satu negara dengan kasus Corona paling ekstrem di dunia. Berdasarkan data worldometers, ada 209 ribu kasus positif Corona di sana, dengan korban mencapai 28 ribu orang dan yang sembuh menembus angka 79 ribu orang. Walau rasio kematian akibat Corona di Negeri Spaghetti ‘cuma’ 26 persen, tapi semua pihak tak bisa meremehkannya.
Sebagai bukti, sejumlah pesepakbola profesional yang merumput di Serie A dan diyakini memiliki gaya hidup sehat serta imunitas tinggi seperti Marco Sportiello (Atalanta), Patrick Cutrone, German Pezzella (Fiorentina), Blaise Matuidi, Daniele Rugani (Juventus), dan Albin Ekdal, Manolo Gabbiadini (Sampdoria), juga terpapar virus yang menyerang sistem respirasi tersebut. Puji syukur, semua nama itu berhasil sembuh.
Jeda yang terjadi di Serie A lantas memantik kesimpangsiuran terkait kelanjutan dari liga tersebut. Sempat muncul wacana untuk menghentikan total kompetisi dengan tak menghadiahkan gelar Scudetto ke klub manapun serta menghapus degradasi. Namun jatah promosi dari Serie B tetap diberlakukan sehingga musim depan Serie A diikuti oleh 22 klub.
Di sisi lain, mencuat pula ide buat menyelenggarakan playoff guna menentukan siapa kampiun Serie A musim ini sekaligus menetapkan tim-tim yang lolos ke ajang antarklub Eropa pada musim mendatang. Hal serupa juga berlaku untuk mengetahui kesebelasan mana yang degradasi serta promosi.
Satu yang pasti, dua hal di atas tetap memancing perdebatan di kalangan tifosi. Ada pihak yang merasa bahwa wacana-wacana tersebut menguntungkan klub tertentu. Entah terkait gelar juara, tiket lolos ke Eropa hingga sintas atau justru lengser dari Serie A. Benar atau tidak? Hanya Tuhan dan petinggi federasi sepakbola Italia, FIGC, yang tahu. Sementara tifosi cuma bisa berasumsi.
Berdasarkan data yang dilansir Football Italia pada Sabtu (2/5) kemarin, jumlah kematian akibat Corona mengalami penurunan drastis. Bahkan menyentuh titik terendah sejak 14 Maret 2020 dengan korban sebanyak 192 orang saja. Salah satu faktor yang diyakini menekan jumlah mortalitas gara-gara Corona itu adalah Respons Corona Tahap Kedua yang dijalankan pemerintah Italia sedari Senin (27/4).
Entah karena berita baik itu atau tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan, kini muncul kabar bahwa Serie A musim ini akan dilanjutkan kembali. Menariknya lagi, 20 klub peserta disebut-sebut sepakat untuk memainkan 12 giornata tersisa sekaligus menyelesaikan musim kompetisi 2019/2020.
OFFICIAL: All 20 Serie A teams have agreed to finish the season 🤝 pic.twitter.com/gV4Bt0JCL9
— Italian Football TV (@IFTVofficial) May 1, 2020
Lebih lanjut, beberapa kesebelasan seperti AS Roma, Bologna, Napoli, Parma, dan Sassuolo telah merilis kabar bahwa mereka siap berlatih kembali mulai pekan depan. Tentunya, latihan tersebut dijalankan sesuai protokol pencegahan dan penanganan pandemi Corona di Italia.
Tepatkah langkah ini?
Ada banyak hal yang meletup di kepala saya begitu mengetahui kabar tersebut. Sebagai penggemar Serie A, sudah pasti saya bahagia kalau liga dilanjutkan kembali. Namun di sisi lain, masih ada kekhawatiran yang nyempil di kepala dan dada ini terkait kelanjutan kompetisi di saat pandemi Corona belum berakhir. Apakah segalanya sudah benar-benar aman?
Mengacu pada data worldometers dan Football Italia, Negeri Spaghetti masih dikategorikan ke dalam negara dengan kondisi riskan sebab penyebaran Corona masih berlangsung di sana. Maka aktivitas publik, termasuk pertandingan sepakbola (kendati digelar tanpa penonton), tetap berpotensi menjadi momen menyebarnya virus. Apalagi orang yang dinyatakan positif Corona berpeluang untuk terpapar lagi meski sudah dinyatakan pulih, tak terkecuali Matuidi dan rekan seprofesinya yang kapan hari terjangkiti.
Benar jika Serie A 2019/2020 tak dilanjutkan, ada segudang kontroversi yang mencuat. Banyak pula kerugian, baik material maupun non-material, yang diderita seluruh elemen terkait, mulai dari federasi, klub sampai para sponsor. Namun itu semua tak boleh membuat level kewaspadaan terhadap Corona diturunkan karena pandemi ini menyangkut nyawa manusia. Sekali saja itu terjadi, dampaknya bisa sangat mengerikan bagi Italia yang sekarang berusaha memulihkan diri.
Sejumlah region di Italia memang sudah mengizinkan aktivitas publik meski masih ada batasan-batasannya. Namun perlu disadari bahwa keputusan itu dapat dianulir seketika andai kasus-kasus Corona timbul lagi. Di tengah ketidakpastian ini, ada baiknya jika FIGC dan seluruh klub Serie A meninjau kembali situasi teraktual perihal Corona serta menunggu arahan terbaik dari pemerintah. Jangan sampai ada lagi blunder yang mereka lakukan sehingga merugikan banyak orang.
Layaknya undian berhadiah, FIGC dan kontestan Serie A wajib memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku terlebih dahulu sebelum memanggungkan partai-partai berkelas dari lapangan hijau. Dengan begitu, semua risiko yang ada dapat ditekan dan liga bisa berjalan dengan baik guna dibereskan.
Kalau hal itu kelewat musykil untuk ditunaikan, maka FIGC dan seluruh partisipan kudu mencari alternatif terbaik dan teradil buat menutup episode Serie A 2019/2020. Walau pastinya, keputusan yang diambil kelak tak selalu bisa menyenangkan semua pihak.