Pep Guardiola menjalani pertandingan resmi pertama bersama Manchester City pada tanggal 13 Agustus 2016. Berikut catatan Fandom terhadap strategi dan taktik Pep sepanjang pra-musim sampai partai pertama City di Liga Inggris 2016/2017.
Pada 20 Juli 2016, Manchester City berhadapan dengan Bayern Munchen yang dilatih Carlo Ancelotti. Pep memainkan pola dasar 4-2-3-1/4-1-4-1 melawan 4-3-3 versi Ancelotti. Filosofi Pep segera terlihat. City memperlihatkan beberapa potong Juego de Posicion (JdP) yang menjadi landasan strategi dan taktik Pep sejak di Barcelona dan Bayern. Lebih lanjut mengenai JdP bisa Anda baca dn unduh di sini.
Struktur serangan Manchester City
Kita mulai dari lini pertama. Salah satu ciri JdP Pep adalah build-up fase pertama yang dimulai dengan menyusun serangan dari belakang. Dalam fase ini, satu no. 6 (bila diperlukan) akan turun ke belakang, dua bek tengah bergerak melebar, dan dua bek sayap bergerak maju.
Kombinasi gerak ini mengubah bentuk 4 bek menjadi 3 pemain belakang. Sebuah konfigurasi build-up yang dikenal dengan nama la salida lavolpiana.
Menghadapi pola dua penyerang dalam pressing awal Bayern, salida lavolpiana merupakan bentuk yang ideal. Kenapa? Dikarenakan besarnya kemungkinan bagi City untuk menang jumlah di lini pertama mereka (3 bek City vs 2 penyerang Bayern).
Dengan didukung penempatan posisi (positioning) dan jarak yang tepat (spacing) oleh pemain-pemain dari posisi dan lini lain, salida lavolpiana bisa sangat membantu progres serangan.
Pada fase selanjutnya, ketika bola berhasil diprogres mendekati sepertiga akhir lawan, beberapa kali terlihat pemain-pemain City melepaskan umpan silang di momen yang kurang pas.
Karena, selain no. 9 mereka, Kelechi Iheanacho, dikepung terlalu banyak pemain Bayern, kontrol zona 5 City pun belum optimal.
Hanya 1 pemain yang menjaga zona 5, menyebabkan bentuk gegenpressing yang tidak stabil. Ketidakstabilan ini juga menyebabkan mengecilnya kemungkinan City memenangi bola kedua (bola liar) di sekitar zona 5 Bayern (bila ada).
Isu lain, masih terlihat pemain-pemain sayap City terlalu cepat untuk mencoba melakukan penetrasi lewat sisi sayap tanpa didukung overload atau kehadiran pemain di sayap dan half-space sisi bola. Opsi-opsi semacam ini penting apabila pemain yang coba melakukan penetrasi tidak menemui akses memadai.
Lepas dari beberapa isu di atas, kita bisa melihat beberapa perbaikan berhasil dilakukan oleh Pep dalam serangan City. salah satunya ketika The Citizen berada dalam fase kedua serangan. Musim lalu, sering terlihat peralihan serangan City dari sayap ke tengah tidak didukung oleh overload yang pas.
Saat menghadapi Bayern, walaupun belum konsisten, Pep memperlihatkan perbaikan. Overload City didukung oleh spacing yang lebih baik.
Bentuk yang sempurna? Tentu belum, karena 3 pemain yang dilingkari membentuk garis lurus. Bila Iheanacho berada di area antarlini (belakang dan tengah Bayern), ketiga pemain tersebut ditambah pemegang bola membentuk stagerring yang menciptakan formasi berlian.
Formasi berlian memudahkan sebuah tim memainkan umpan 1-2 sentuhan untuk masuk secepatnya ke dalam kotak 16 lawan.
Menghadapi Arsenal, 7 Agustus 2016, permainan City semakin membaik. Dalam serangannya, terlihat pemain-pemain City banyak mengokupansi ruang yang berpengaruh positif terhadap spacing.
Salah satu fitur menarik terkait okupansi ruang, adalah Pep menggunakan bek sayap untuk bermain sebagai inverted fullback dan bermain sebagai no. 6/no. 8 sekunder.
Dalam Pep’s Confidential, karya Marti Perarnau, Pep menyebut peran ini sebagai hibrida antara bek sayap dengan gelandang tengah. Peran yang bukan hanya digunakan dalam fase serang tetapi juga menstabilkan area tengah dalam transisi bertahan.
Saat City berprogres, Clichy tetap berada di sekitar half-space dan bertindak sebagai no. 8 sekunder yang bertugas memberikan dukungan di sekitar half-space sisi bola.
Clichy, sebagai hibrida bek sayap dan gelandang no. 8 dalam fase kedua.
Pressing
Pep selalu memainkan pressing blok tinggi. Ketika menghadapi Bayern, Iheanacho berorientasi kepada Xabi Alonso. Bila Xabi turun ke bawah menjemput bola, Iheanacho akan menjadi pemain pertama yang mengikutinya. Pep memberikan waktu lebih bagi bek tengah Bayern untuk menguasai bola untuk kemudian menutup akses langsung ke tengah.
Pressing tinggi City ketika melawan Bayern.
Salah satu pressing blok tinggi yang nyaris membuahkan gol. Keputusan (salah) yang diambil Javi Martinez, dengan mengumpan ke David Alaba, ikut berperan hingga City mampu merebut penguasaan bola.
City terus memainkan pressing blok tinggi. Di samping beberapa sukses yang mereka raih dari skema blok tinggi, Anda bisa temukan beberapa permasalahan. Terdapat 2 isu utama dalam praktik pressing City. Pertama, kombinasi positioning yang menciptakan ruang vertikal antarlini.
Beberapa kali terlihat no. 6 City tidak mengokupansi ruang semestinya di depan lini belakang. Ini terjadi karena intensitas penjagaan yang dilakukan, kepada gelandang lawan, membuat keduanya keluar dari pos.
Kedua, timing dalam melakukan pressure. Pada beberapa momen, pemain-pemain City telat menekan pemegang bola. Tetapi, di beberapa momen lain, pemain-pemain City melakukannya terlalu cepat hingga memberikan ruang bagi lawan.
Zinchenko terlalu cepat menekan si pembawa bola
Perhatikan bagaimana sebelumnya Zinchenko, Iheanacho, dan Brandon Barker sukses memblok jalur umpan kepada Rafinha, Philipp Lahm, Nicolas Feldhann, dan Xabi. Namun, Zinchenko terpancing gerak maju kiper Bayern yang menyebabkan Lahm menemukan celah untuk menerima umpan dari si penjaga gawang.
Masih terkait pressing. Poin utama lain dalam filosofi Pep adalah merebut kembali penguasaan bola secepatnya setelah kehilangan. Gegenpressing! City belum konsisten memainkan strategi ini. Salah satu sebab utama adalah spacing yang tidak konsisten dalam struktur serangan mereka.
Yang juga menjadi catatan, di banyak pertandingan uji tanding, termasuk menghadapi Dortmund, pertandingan yang dimainkan The Citizen “sangat tidak mewakili Pep”. Karena, sang juru taktik terlihat “meninggalkan” beberapa strategi yang kerap diperlihatkan dalam JdP versinya.
Salah satunya adalah mencoba membangun sirkulasi bersih dari belakang ketika tim berada dalam fase pertama.
Contohnya ketika menghadapi Dortmund. Dalam pertandingan tersebut, City memainkan tim (terutama lini belakang dan kiper) yang kurang terbiasa memainkan bola pendek dalam struktur spesifik demi kelancaran build-up fase 1.
Akibatnya, Willy Caballero, kiper City, harus melambungkan bola jauh ke depan saat goal kick, demi menghindari pressing blok tinggi lawan.
Ngga Pep banget.
Catatan-catatan di atas membuat debut Guardiola di Etihad Stadium menjadi semakin menarik. Bukan karena keharusan memperbaiki prestasi City, tetapi memperbaiki kelemahan taktis, sekaligus mempraktikan filosofi JdP menjadi salah 1 poin yang ditunggu-tunggu.
Manchester City vs Sunderland, Liga Inggris 13 Agustus 2016
Susunan pemain dan fase menyerang
Yang pertama tertangkap penonton adalah, Pep Guardiola memainkan Kolarov sebagai bek tengah. Sesuatu yang wajar kalau Anda mengikuti City sejak pra-musim. Namun, merupakan kejutan karena Kolarov dikenal sebagai bek sayap.
Menit ke-3 babak pertama, Manchester Biru memperoleh penalti. Sebuah catatan positif dari penalti ini adalah penempatan posisi serang City ikut berperan dalam gol.
Ketika Fernandinho melepaskan umpan datar yang dipotong pemain Sunderland untuk kemudian disundul balik oleh Fernandinho lagi kepada Raheem Sterling, terlihat okupansi ruang yang lumayan ideal.
Okupansi ruang City menyebabkan mereka mampu memenangkan bola kedua yang langsung diarahkan oleh eks gelandang Shakhtar Donetsk itu kepada Sterling.
Menjamu Sunderland, Pep memainkan pola dasar 4-1-4-1/4-2-3-1. Fernandinho bertindak sebagai no. 6 yang secara situasional turun sejajar dengan bek tengah. David Silva dan Kevin de Bruyne bertindak sebagai no. 8 yang juga no. 10.
Ada beberapa fitur menarik dalam praktik menyerang City.
Dalam fase pertama, kedua gelandang sayap memulai pergerakan dari sisi terluar. Yang menarik dan membingungkan lawan, pola dasar berubah dikarenakan struktur posisional dalam fase ini.
Dua pemain yang terbiasa bermain sebagai bek sayap, Gael Clichy dan Bacary Sagna, bertindak sebagai inverted fullback yang mengisi pos no. 6. Fernandinho, no. 6 “sebenarnya”, turun ke lini belakang membentuk pola 3 bek. David Silva dan Kevin de Bruyne berada di sekitaran pos no. 8 dan 10 di half-space.
Struktur semacam ini membuat pemain-pemain City membentuk konfigurasi 3-2-4-1 dalam fase pertama serangan mereka.
Fleksibilitas posisional juga terlihat di depan, dalam fase kedua serangan City. Ketika Clichy bergerak maju mendekati sepertiga akhir, Silva akan bergerak ke sayap. Merespons hal ini, Nolito akan masuk ke area no. 9 (penyerang) dan mengisi half-space.
Ketika City masuk ke fase ketiga (penciptaan peluang), Clichy kembali ke pos no. 6, sementara Silva dan Nolito akan kembali melakukan pertukaran.
Dalam fase kedua dan ketiga serangan, Guardiola tampak berusaha menekan Sunderland masuk lebih dalam ke wilayah mereka sendiri. Ini menjadi sebab utama kenapa Sagna dan Clichy terlihat berada di pos no. 6. Tujuannya agar Silva dan Bruyne lebih banyak berada di area depan.
Bila ditambah dua gelandang sayap dan penyerang, total ada 5 pemain City berada di sepertiga akhir. Dalam fase dua dan tiga, bentuk serang kembali bertransformasi menjadi 2-3-4-1.
Ketika Fernandinho kembali ke pos no. 6, setelah City melewati fase pertama serangan, salah satu inverted fullback akan bergerak ke sayap atau half-space sisi bola berada. Sedangkan inverted fullback yang berada di sisi jauh dari bola akan mengisi half-space dengan Fernandinho berada di antara keduanya.
Struktur semacam ini membuat The Citizen sangat stabil di tengah yang pada gilirannya menghambat akses Sunderland di tengah dan half-space sehingga The Cats, julukan Sunderland, dipaksa melakukan umpan jauh tak terencana bila mereka sukses merebut penguasaan bola.
Dalam fase kedua menuju fase ketiga, Guardiola menginstruksikan Silva dan Bruyne untuk terus bergeser dari satu sisi ke sisi lain. Hal ini wajar mengingat keduanya memiliki pressing resistance yang bagus.
Kombinasi gerak lateral antara inverted winger dan Silva/Bruyne merupakan salah satu taktik City dalam menciptakan ruang horizontal yang dimanfaatkan untuk melepaskan umpan terobosan serta masuk ke dalam kotak penalti Sunderland.
Fase transisi bertahan dan fase bertahan
Imbas positif lain dari taktik inverted fullback, seperti yang dipaparkan di atas adalah City benar-benar mampu mengisi seluruh ruang strategis.
Akibat positifnya, transisi bertahan mereka stabil karena ruang yang ada telah terokupansi (saat menguasai bola) dan terkompres (saat kehilangan penguasaan bola). Dilihat dari kondisi ini saja, gegenpressing City terbangun dengan pondasi yang tepat.
Saat Sunderland tampak berusaha membangun serangan dari lini belakang, Pep menempatkan Silva dan de Bruyne sejajar di belakang Sergio Aguero yang melakukan press kepada kiper. Kedua gelandang sayap dan bek sayap mengambil posisi menyempit ke tengah menempati half-space. Di depan dua bek tengah, Pep menempatkan satu no. 6.
Kesimpulan
Dari beberapa kelemahan taktik City era Manuel Pellegrini, telah tampak tanda-tanda perbaikan yang dilakukan oleh Pep.
Okupansi ruang dalam struktur serang yang juga berimbas positif terhadap fase transisi bertahan merupakan salah satu poin penting. Pep harus (dan sudah jelas) paham akan hal ini.
Penambahan fitur lain (kalau tidak dikatakan sebagai perbaikan) adalah gegenpressing. Pep bukan hanya mempersiapkan gegenpressing dalam sirkulasi bola, tetapi juga dalam free kick dan corner kick.
Yang terakhir, masih banyak yang bisa diperbaiki Pep. Yang krusial adalah kecocokan karakter pemain dalam JdP versinya.
Pertama, kemampuan memainkan bola dari Joe Hart (kiper) dan para bek akan menjadi poin pertama dalam build-up fase pertama. Kedua, penyempurnaan penampilan pemain-pemain yang tampil sebagai no. 6 sekunder (IFB).
Saat menghadapi Sunderland, Pep memainkan Sagna dan Clichy sebagai inverted fullback. Perbaikan yang kita patut tunggu adalah, apabila Pep menemukan pemain yang lebih baik di posisi tersebut, baik dalam hal positioning maupun olah bola.
Sedikit perbandingan, Alaba, Lahm, atau Daniel Alves bisa menjadi tolok ukur no. 6 sekunder yang ideal bagi JdP versi Pep Guardiola.