Tanggal 9 Agustus kemarin, Walikota London Sadiq Khan mengirim sepucuk surat kepada Richard Scudamore, CEO Premier League. Isinya tak lain berupa desakan kepada setiap klub sepakbola yang berbasis di London guna “mengambil langkah aktif serta memberikan kontribusi lebih besar” bagi jaminan keamanan para pendukung dan penonton laga secara umum.
Surat tersebut juga mengklaim bahwa Metropolitan Police Service/Met (semacam Polda Metro Jaya) telah berhemat hingga 700 juta poundsterling akibat isu rencana pemotongan anggaran kepolisian.
Sebagai catatan, pada musim 2016/2017 lalu institusi yang sama menghabiskan dana hampir 6,7 juta pounds (7,1 juta pounds untuk seluruh kategori pertandingan sepakbola profesional) namun hanya menerima pembayaran kembali dari seluruh klub terkait sebesar 5,1% dari total pengeluaran mereka.
Walikota London pun menutup inti pernyataannya dengan menegaskan bahwa kolaborasi kepolisian dan pihak klub sepakbola di London telah menghadirkan kenyamanan bagi penonton selama bertahun-tahun, namun saat ini polisi perlu dukungan konkret tambahan demi memenuhi kebutuhan biaya pengamanan mereka.
West Ham United menjadi klub berbasis di London yang menyedot dana pengamanan pertandingan paling besar sepanjang musim 2016/2017 dengan angka £1.078,578 sementara pihaknya cuma membayar £33,318 kembali pada Met. Selanjutnya tercatat Chelsea dengan total £726,683 (£156,375 kembali pada Met), kemudian Tottenham Hotspur menyentuh nominal £652,974 (55,797 kembali pada Met).
Dari kelompok pertandingan, laga final EFL Cup 2016/2017 menelan biaya pengamanan terbesar: £152,733. Met lagi-lagi hanya menerima bayaran sebesar £38,474. Di posisi kedua muncul laga Europa League antara Tottenham melawan KAA Gent sebanyak £123,609 (£10,604 kembali pada Met).
Menilik fakta-fakta sejauh ini, apakah Football Association selaku otoritas tertinggi sepakbola di Inggris dan Premier League selaku liga profesional paling kaya di dunia saat ini telah berlaku tidak adil terhadap institusi kepolisian (terutama di London) terkait usaha penyediaan jaminan keamanan dan kenyamanan penonton pertandingan?
Gejala disparitas
Menurut Police Act tahun 1996 Pasal 25, pengamanan pertandingan sepakbola tergolong sebagai “jasa khusus kepolisian”, yaitu suatu kondisi dimana pimpinan distrik kepolisian dapat menyediakan sebentuk jasa istimewa selama masih berada dalam lingkup daerah yang menjadi tanggung jawab distrik setempat.
Bentuk jasa ini memiliki ketentuan tarif sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Secara legal, pihak klub sepakbola hanya wajib membayar tarif tersebut jika penempatan personil polisi berada pada area stadion dan/atau wilayah kepemilikan klub terkait, sedangkan urusan ketertiban pendukung kesebelasan di tempat umum seperti stasiun kereta atau pusat kota (consequential policing) serta biaya penanggulangannya adalah tanggung jawab kepolisian secara utuh.
Tak pelak, kebijakan itu lambat laun berkembang menjadi sumber utama pertentangan pendapat antara polisi dan berbagai klub sepakbola di Inggris mengenai definisi pembayaran penuh (full-cost) dengan tambahan (additionality).
Kita ambil contoh musim 2007/2008. Menurut data milik Home Affairs Committee, House of Commons, tanggal 14 Juli 2009, estimasi total biaya consequential policing 13 klub di Premier League mencapai 3,2 juta pounds.
Bila alokasi anggaran yang dimiliki institusi kepolisian tidak mampu menanggung biaya tersebut, maka selisihnya akan dibebankan kepada masyarakat pembayar pajak. Argumen terakhir inilah yang kerap dikedepankan oleh pihak kesebelasan.
Dalam kasus West Ham United di atas, representasi klub merujuk fakta akhir musim 2014/2015 tatkala akumulasi penerimaan pajak dari pemain, klub, sampai para pendukung di level Premier League saja sanggup menembus angka 2,4 miliar pounds.
“Memaksa para klub dan pendukung mereka membayar dua kali atas nama kenyamanan tidaklah legal ataupun adil. Selain itu, West Ham United telah bekerja sama secara erat dengan Metropolitan Police Service guna memastikan London Stadium terus menjadi lingkungan yang aman dan ramah bagi segala pengunjung, dengan biaya keamanan saat hari pertandingan dipertahankan pada titik minimum,” demikian isi pernyataan resminya.
Beberapa politisi semisal anggota Partai Buruh, Andrew Dismore, turut memberi tanggapan atas pernyataan itu. Ia berujar bahwa masyarakat pembayar pajak di London tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra yang berfungsi semata-mata sebagai subsidi bagi salah satu organisasi terkaya di dunia.
Lebih jauh, Home Affairs Committee gagal menentukan rata-rata biaya pengamanan sebuah pertandingan sepakbola profesional walaupun perhitungan di akhir musim selalu menghasilkan nominal substansial.
Hal ini disebabkan nyaris setiap klub mengadopsi metode pengamanan yang berbeda satu sama lain. Sepanjang musim 2007/2008, Wigan Athletic (berkompetisi di Premier League) membayar jasa khusus kepolisian sekitar £240,000 sedangkan Hereford United (berkompetisi di League Two) merogoh £80,000 dari koceknya.
Secara umum, seluruh kesebelasan yang bertarung di semua tingkatan kompetisi liga lokal pada musim tersebut membayar antara 12-15 juta pounds, di luar akumulasi penerimaan pajak yang menyentuh 1 miliar pounds dalam rentang waktu serupa.
Pembelaan klub
Selain argumen seputar akumulasi penerimaan pajak sepanjang musim berjalan maupun penekanan terhadap aspek legalitas yang hanya mewajibkan sebuah klub sepakbola membayar jasa khusus kepolisian sesuai presensi personil polisi di atas wilayah mereka sendiri, representasi klub biasanya juga mengangkat fakta tentang usaha mereka meningkatkan keamanan dalam stadion dengan tujuan agar pihak kepolisian mengakui presensi kualitatif tersebut.
Instalasi CCTV, renovasi struktural beberapa bagian stadion, perekrutan stewards, hingga ketersediaan berbagai peralatan canggih guna mengantisipasi senjata tajam serta benda-benda bersifat eksploitatif adalah sebagian contoh upaya peningkatan dimaksud.
Tentu hal ini membutuhkan dana cukup besar (semakin tinggi status sebuah kesebelasan, semakin besar dana yang keluar) namun dampak positifnya juga cepat terasa.
Data milik Home Affairs Committee menyiratkan bahwa 72% pertandingan pada musim 2007/2008 di seluruh tingkatan kompetisi liga lokal menghasilkan angka rata-rata 1,2 penahanan penonton per laga. Tipikal penerjunan personil polisi di seluruh tingkatan pada musim tersebut pun merujuk angka rata-rata yang stabil, baik untuk pertandingan besar dengan tensi panas maupun untuk pertandingan biasa dengan potensi risiko minimum: 35 orang dengan 20 diantaranya subjek full-cost.
Di titik ini pertanyaan menggelitik pun mengudara: perlukah personil sebanyak itu untuk menjaga pertandingan di level kompetisi liga yang jauh lebih rendah?
Kemampuan menyediakan teknologi pengamanan termutakhir di stadion atau dinamika atmosfer laga yang berbeda-beda jelas memperkuat daya tawar klub sepakbola dalam polemik ini. Kecuali terdapat info intelijen tentang potensi kerusuhan ataupun aksi terorisme yang kerap melanda kota-kota besar Eropa belakangan, tidak masuk akal adanya bila 150 personil polisi diterjunkan sementara klub terkait sanggup merekrut hingga 100 stewards demi menjaga satu pertandingan yang hanya memiliki potensi penahanan 1,2 orang.
Atas dasar logika ini pula juru bicara Premier League menolak permintaan Walikota London. Mereka menyatakan bahwa pendukung kesebelasan sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem publik sehingga jaminan keamanannya tetap berada di pundak institusi kepolisian dan dijalankan sepenuhnya menggunakan anggaran umum kepolisian. Mereka juga menambahkan sebuah poin menarik:
“Biaya yang lebih besar dari pengamanan laga sepakbola sesungguhnya terletak pada pengamanan daerah wisata, pusat hiburan, pusat ekonomi malam hari, serta jenis aktivitas komersil lainnya.”
Premier League mungkin luar biasa kaya dan mereka tetap “senang” untuk mendiskusikan reduksi tarif atas jasa khusus kepolisian, namun keputusan Sadiq Khan bersama Metropolitan Police Service untuk terus melobi pemerintah guna mengalokasikan tambahan pendanaan tampaknya masih akan membuat polemik ini berlangsung lama.