Lahir pada tahun 1971, Edward Gareth Woodward atau Ed Woodward merupakan seorang sarjana fisika lulusan dari Universitas Bristol. Ia lantas meniti karier sebagai akuntan di PricewaterhouseCoopers (PwC) sejak 1993 dan hijrah ke J.P. Morgan & Co. sebagai bankir pada 1999.
Agaknya Woodward merupakan epitome dari para lulusan institut teknologi yang membelot ke dunia akuntansi dan perbankan. Sebuah praktik yang lazim sekali terjadi di muka Bumi, terlebih di Indonesia.
Di J.P. Morgan & Co. pula, Woodward bertemu dengan keluarga Glazer yang pada tahun 2005 hendak mengambilalih kepemilikan Manchester United. Woodward merupakan figur kunci dalam memuluskan pinjaman J.P. Morgan & Co. ke keluarga Glazer saat firma-firma keuangan lain menolak.
Sejak saat itu, Woodward ditunjuk sebagai ‘kepala staf’ dari Malcolm Glazer. Lalu pada tahun 2007, ia ditunjuk untuk mengurusi sektor komersial dan media The Red Devils.
Dasar berotak jenius, pria kelahiran Chelmsford tersebut mampu melipatgandakan profit United dari 48,7 juta Poundsterling pada tahun 2005 hingga menyentuh angka 117,6 juta Poundsterling di tahun 2012.
Rapor bagus Woodward itu juga yang membuatnya dipercaya untuk mengemban jabatan Executive Vice-Chairman semenjak tahun 2012. Sepeninggal David Gill di tahun 2013, Woodward kemudian menduduki puncak hierarki operasional klub. Artinya, Ia bertanggungjawab terhadap hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi klub termasuk soal transfer.
Ibarat sebuah kepanitiaan acara kampus, Woodward merupakan kepala divisi sponsorship yang tiba-tiba diminta menjadi kepala divisi acara.
Masih ibarat panitia, Woodward sangat lihai dalam menggaet sponsor untuk penyelenggaraan sebuah acara tetapi saat ditugaskan sebagai kepala divisi acara, ia kebingungan menyusun rundown dan hampir dipastikan tak mengerti keseluruhan acara yang dibesutnya.
Sederhananya, Woodward tahu bagaimana cara menggaet sponsor agar acara tersebut berlangsung. Namun ia tak paham bagaimana cara menyusun dan menghelat acara tersebut supaya berjalan lancar serta sukses.
Begitulah alegori Woodward sebagai Executive Vice-Chairman. Terutama saat musim transfer telah tiba. Kita tahu tinta emasnya saat mendatangkan sponsor, tapi soal mendatangkan pemain anyar nan berkualitas ke Stadion Old Trafford, rasanya kita lebih banyak mengurut dada.
Woodward merupakan satu kata paling efektif untuk menceritakan segala nestapa yang dihadapi United tujuh tahun terakhir. Satu-satunya pertandingan yang ia pahami bukanlah pertandingan sepakbola, melainkan ‘pertandingan’ dengan para pemegang saham The Red Devils setiap tiga bulan sekali.
Ia lebih rajin serta piawai mencari tambahan uang bagi klub via sponsor seperti partner bantal resmi atau partner mie ramen resmi United ketimbang mencari rekan sepadan bagi Paul Pogba di sektor tengah maupun bek tengah berkualitas sebagai tembok di depan David de Gea.
Woodward bagaikan logo ‘Supreme’ yang bikin segala pernah-pernik jadi mahal bila terdapat sepuhan namanya. Woodward tak memiliki sentuhan midas yang berguna di bursa transfer sebab ia hanya menilai segala sesuatunya berdasarkan nilai uang. Tak heran kalau pendukung United sendiri menyebutnya tak becus mengurusi transfer pemain.
Tahun 2013 silam, Woodward membuat publik tertawa karena ia menolak membayar klausul pelepasan gelandang kribo asal Belgia yang kala itu bermain untuk Everton, Marouane Fellaini. Woodward terus mengulur-ulur negosiasi tapi akibatnya, United mesti menebus Fellaini 4 juta Poundsterling lebih mahal dari klausul pelepasannya.
Pada dua bursa transfer berikutnya, Woodward memang kelihatan murah hati. Nama-nama semisal Angel Di Maria, Radamel Falcao, Ander Herrera, Juan Mata, dan Luke Shaw sanggup didaratkan di Stadion Old Trafford.
Berkat capaiannya itu pula Woodward secara angkuh mengatakan bahwa hal tersebut sebetulnya cuma bisa dilakukan oleh tim-tim dengan kemampuan finansial mumpuni.
Akan tetapi, hal tersebut juga menimbulkan masalah lain bagi The Red Devils. Selain soal pemain yang tidak kesemuanya dibutuhkan oleh manajer, pemborosan United di bursa transfer akhirnya mengukuhkan preseden bahwa klub yang satu ini mudah dikadali guna menghambur-hamburkan uang dalam jumlah masif.
Contoh teraktual saat tim memutuskan untuk membeli Harry Maguire dari Leicester City medio 2019 kemarin. Negosiasi yang terjadi antara United dengan manajemen The Foxes begitu alot dan berulangkali menemui kebuntuan.
Pada akhirnya, Woodward memilih jalan pintas sekaligus jurus andalannya yakni membayar sesuai permintaan sang penjual. Ia turun tangan dalam negosiasi tersebut dan langsung menyepakati harga 80 juta Poundsterling yang diminta Leicester.
Apa yang terjadi dalam transfer Maguire sekarang kerap dipraktikkan tim-tim lain yang pemainnya diincar United. Mereka sengaja mengulur-ulur negosiasi terkait harga sampai waktu yang ada semakin mepet hingga akhirnya Woodward dan kawan-kawan sendiri yang bertekuk lutut dan mengiyakan harga yang diminta.
Nahas, bukannya jadi pahlawan di Stadion Old Trafford seperti banderol selangit yang menempel pada dirinya, Maguire yang kini didapuk sebagai kapten justru lebih suka memamerkan lawakan-lawakan di atas lapangan.
Terbaru, Maguire turut andil atas kekalahan telak 1-6 United dari Tottenham Hotspur pada Minggu (4/10) malam. Wajar bila kemudian Maguire diolok-olok sebagai pembelian gagal, baik oleh fans The Red Devils sendiri maupun suporter rival.
Konon, kedatangan Donny van de Beek ke kota Manchester juga diwarnai kepandiran manajemen United dalam bernegosiasi. Alih-alih menawar, mereka disebut-sebut langsung menyetujui harga 40 juta Poundsterling yang diinginkan Ajax Amsterdam.
Jangan kaget kalau negosiasi United dengan De Godenzonen berlangsung cukup cepat. Lantas, apakah Ole Gunnar Solskjaer benar-benar membutuhkan van de Beek di skuadnya saat ini? Cuma Woodward yang tahu jawabannya.
Hal berbeda justru terjadi pada Jadon Sancho. Pemain Inggris yang kini merumput bareng Borussia Dortmund itu kabarnya amat diminati United. Klub pemiliknya pun memagari Sancho dengan harga tak kurang dari 120 juta Poundsterling. Berkali-kali muncul ke permukaan sebagai salah satu transfer yang wajib dilakukan United, nyatanya Sancho masih mengenakan seragam Dortmund.
Banderol selangit Sancho memang jadi pertimbangan serius Woodward yang amat berhati-hati dalam melakukan negosiasi. Namun kekhawatiran juga menyeruak sebab ia bisa saja tiba-tiba ‘kesurupan’ dan menyerahkan cek yang sesuai dengan kemauan Die Schwarzgelben mengingat bursa transfer musim panas 2020 akan segera ditutup.
Lunturnya nama besar United dalam kurun satu windu terakhir memang dipengaruhi banyak faktor. Bak mata uang yang memiliki dua sisi, begitu pula sosok Woodward di mata orang-orang.
Bagi direksi dan komisaris klub, Woodward adalah mesin pencetak uang. Namun di hadapan fans United, Woodward merupakan sumber dari jebloknya penampilan serta keringnya prestasi klub saat ini.