Apa yang membedakan Massimiliano Allegri saat membesut Cagliari dan AC Milan dengan Allegri yang saat ini kita lihat sebagai tactician Juventus?
Tidak ada, kecuali sikap ekspresif dan reaktif yang seringkali ia tunjukkan sebagai pelatih Il Bianconeri.
Allegri tetaplah pelatih dinamis yang tidak segan mengesampingkan egonya demi kebutuhan tim, ia tidak se-pragmatis Antonio Conte, tanpa sungkan ia mengadopsi 3-5-2 peninggalan Conte sembari sesekali menyesuaikan formasi empat pemain bertahan melalui skema 4-4-2 atau 4-3-1-2.
Hanya saja beberapa kali sejak melatih Juventus kita melihat Allegri dalam karakter yang berbeda daripada karakter Allegri yang sebelumnya kita kenal sebagai seorang pelatih yang tenang dan pendiam.
Misalnya saat Juventus melawan Borrussia Moenchengladbach di fase grup Liga Champions ia mendamprat Alvaro Morata saat ofisial pertandingan menyuruh pemain didikan Real Madrid tersebut mengganti kaos kaki yang dipakainya lantaran berbeda corak dengan pemain Juventus lainnya.
“Saya sangat marah tentang satu hal di mana itu membuat kami mengahabiskan waktu tiga menit dengan 10 pemain, sementara seseorang harus mengganti kaos kaki,” rutuk Allegri ketika itu.
Di lain kesempatan Allegri mencak-mencak di pinggir lapangan membuang coat yang dikenakannya ketika melihat anak didiknya kehilangan fokus pada menit-menit krusial kontra Carpi di Serie A.
Tidak ada yang tahu persis mengenai perubahan sikap Allegri kecuali Allegri menyadari bahwa: menjadi bagian skuat Juventus berarti harus memahami Lo Spirito sebagai identitas, mentalitas, serta filosofi klub Kota Turin tersebut.
Filosofi Lo Spirito dalam skuat Juventus sendiri dimaknai sebagai sikap pantang menyerah hingga peluit akhir berbunyi, mengejawantah dalam bentuk mentalitas, etos kerja, pengorbanan dan determinasi yang ditunjukkan pemain di tengah lapangan.
Nama-nama besar kemudian lahir sebagai wujud mentalitas Lo Spirito Juve, seperti misalnya; Luisito Monti, John Charles, Claudio Gentile, Antonio Cabrini, Moreno Toricelli, Paolo Montero, Angelo Di Livio, Edgar Davids, Giorgio Chiellini, Leonardo Bonucci, Antonio Conte, Arturo Vidal, hingga Pavel Nedved. Grinta-grinta yang melengkapi fantastista yang terdapat dalam diri Giampiero Boniperti, Michael Platini, Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, hingga era saat ini mengenal Paulo Dybala.
Juventus bukan tim yang mewarisi cara bermain dengan penguasaan bola dominan atau kekuatan mengatur irama layaknya Barcelona atau timnas Belanda. Barangkali itu bukan DNA mereka. Sama seperti timnas Jerman atau Manchester United, The Old Lady lebih memberi pedoman perihal mentalitas juara, determinasi, dan pendekatan terhadap pertandingan.
Hal itu dipahami oleh Giovanni Trapattoni, Marcello Lippi, maupun Fabio Capello yang membawa kisah kesuksesan masing-masing di eranya. Bahkan oleh Antonio Conte yang datang ketika klub berusaha keluar dari mentalitas inferior sejak bayang-bayang kasus Calciopoli.
Suatu ketika saat melakukan Prima Intervista (interview pertama) sebagai pelatih Juve, Antonio Conte mengungkapkan, “Formasi bisa berubah-ubah, namun satu yang tidak boleh berubah, filosofi Permainan, Lo Spirito Juve.”
Kita tahu apa yang kemudian terjadi, Antonio Conte berhasil memberikan tiga Scudetto selama tiga musimnya di Turin dan yang lebih penting mengembalikan mentalitas tim yang sempat hilang.
Sikap tersebut yang tidak ditemukan pada sosok-sosok pelatih sebelumnya, seperti Luigi Del Neri yang tidak paham mengenai identitas klub atau Ciro Ferrara dan Claudio Ranieri yang terlihat bingung bagaimana menyalurkan sikap tersebut menjadi sebentuk energi di lapangan.
Pendek kata, Juventus butuh satu sosok pemimpin yang paham sekaligus mampu menularkan mentalitas ke seluruh skuat.
Apa yang terjadi musim ini menunjukkan bagaimana Lo Spirito bekerja. Terjerembab di pekan-pekan awal, Juve perlahan-lahan bangkit. Momen-momen krusial terjadi tidak luput dari mentalitas tersebut.
Juventus menemukan momennya untuk bangkit usai laga alot kontra klub sekota Torino (31/10). Gol Juan Cuadrado lahir ketika pertandingan memasuki menit ketiga injury time.
Sejak saat itu Juventus melewati periode luar biasa dengan membukukan 15 kemenangan berturut-turut termasuk pertandingan yang menguras tenaga kontra Milan di pekan 13 (21/11) atau saat bentrok Napoli (13/2) di giornata 25 ketika gol tunggal Simone Zaza pada menit 87 mengantarkan Si Nyonya Tua ke puncak klasemen untuk pertama kalinya musim ini.
Melihat sikap reaktif yang seringkali diperlihatkan Max Allegri, anggap saja hal tersebut adalah cara pria kelahiran Livorno ini memahami filosofi Juventus. Tiada masalah, toh ia pun berhasil menyamai prestasi klub pada musim 1930-1935, membawa Juventus meraih Scudetto ke limanya berturut-turut.