Era 1940-an Pulau Sardinia yang terletak di sebelah barat wilayah Italia daratan dikenal sebagai daerah miskin dan kumuh. Masyarakat Sardinia mayoritas hanya berprofesi sebagai petani maupun peternak. Berbeda 180 derajat dengan kaum borjuis yang lalu lalang di Italia daratan, terutama di Roma dan Milan.
Citra pulau seluas 24.090 kilometer persegi ini semakin buruk akibat bencana malaria yang menjadi endemik kala itu. Sebelum akhirnya ERLAAS, sebuah otoritas regional anti-malaria, bersama US Rockefeller Foundation menginisiasi megaproyek bernama Proyek Sardinia guna mengatasi problem tersebut.
Total ada 75.000 kasus malaria yang dilaporkan pada 1946 langsung menyusut drastis pada tahun 1951 menjadi hanya sembilan kasus akibat proyek tersebut. Cahaya pun seolah datang lagi ke Sardinia.
Perhatian pemerintah pusat yang meningkat dimanfaatkan Sardinia untuk mengubah tampilan. Pembangunan yang merata terjadi dari barat ke timur maupun utara ke selatan di pulau ini. Perekonomian menggeliat dengan tumbuhnya sektor industri, finansial, jasa dan pariwisata. Alhasil, tingkat kemakmuran masyarakat Sardinia pun meroket cukup tajam.
Bicara Sardinia tentunya kurang afdol jika tidak menyebut nama Cagliari Calcio, klub sepak bola paling top di sana. Walau tergolong sebagai tim papan bawah namun kesebelasan yang pada 30 Mei lalu merayakan ulang tahun ke-95 ini punya sejarah yang cukup manis di panggung Liga Italia Serie A.
Mereka adalah satu dari sedikit tim yang sanggup mengganggu kedigdayaan klub-klub belahan utara Italia sekelas AC Milan, FC Internazionale dan Juventus dalam memperebutkan trofi juara Serie A.
Kegaduhan mahadahsyat di persepakbolaan Italia terjadi pada 1969/1970 ketika tim ecek-ecek berjuluk Gli Isolani ini sanggup finis di puncak classifica musim tersebut sekaligus menasbihkan diri sebagai kampiun.
Pelatih Cagliari ketika itu, Manlio Scopigno, secara jujur mengakui bila dirinya sama sekali tak pernah membayangkan bila anak asuhnya sanggup membawa Scudetto lepas dari wilayah Italia daratan untuk pertama kalinya.
Berkat prestasi gemilang itu nama Scopigno dielu-elukan tak hanya oleh tifosi Cagliari tapi juga seluruh masyarakat Sardinia. Bagi I Sardi alias orang-orang Sardinia, keberhasilan Cagliari meraih Scudetto adalah hal yang pantas dirayakan.
Selain perwujudan rasa syukur, kesuksesan tim kebanggaan mereka kala itu juga merupakan momen penanda rusaknya hegemoni Italia daratan, terutama zona utara. Pada masa itu, Sardinia memang kerapkali jadi bahan ejekan orang-orang Italia daratan.
Mereka menganggap bahwa Sardinia tak ubahnya pulau pengasingan bagi para pendosa. Sehingga wajar jika I Sardi membenci orang-orang Italia daratan.
Namun, dengan bijaknya Scopigno menolak klaim yang mengatakan bahwa dirinyalah figur yang membuat Cagliari meroket. Menurut sang allenatore, Luigi Riva adalah aktor protagonis di balik kejayaan Gli Isolani. Apa yang dikatakan Scopigno sejatinya tidak salah karena Riva memang punya arti luar biasa buat klub yang bermarkas di stadion Sant’Elia ini.
Diangkut manajemen Gli Isolani dari Legnano, klub Serie C, seharga 37 juta lira pada 1963 menjadi awal mula mengangkasanya nama Riva di percaturan sepak bola negeri pizza. Dirinya diboyong Gli Isolani ketika baru menginjak usia 19 tahun.
Oleh manajemen, Riva diharapkan bisa memberi kontribusi berharga bagi Cagliari yang pada musim 1963/1964 baru saja promosi ke Serie B.
Bisnis yang dilakukan Cagliari rupanya membuahkan hasil mencengangkan. Dikenal sebagai pemilik kaki kiri yang mengerikan, Riva membalas kepercayaan Gli Isolani dengan tampil gila-gilaan pada musim debutnya.
Cagliari langsung dibawanya naik level ke Serie A pasca-finis di peringkat kedua Serie B di bawah Varese. Total 8 gol yang ia ceploskan dari 26 penampilan sepanjang musim memiliki peran penting waktu itu.
Namun hal tersebut hanyalah prolog dari rentetan episode mengagumkan dalam perjalanan kariernya. Ledakan Riva berlanjut di Serie A dengan kesuksesannya merengkuh gelar capocannoniere atau pencetak gol terbanyak pada musim 1966/1967 dan 1968/1969 meski klub yang dibelanya di musim-musim awal hanya nangkring di papan tengah, kecuali musim yang disebut terakhir ketika Cagliari finis di peringkat kedua. Kemampuan Riva yang eksepsional sedari belia pun semakin memesona publik.
Tetap dengan status bukan penantang gelar juara, Cagliari mengejutkan seantero negeri kala merengkuh Scudetto musim 1969/1970 seperti yang penulis uraikan di bagian awal artikel. Kegemilangan Gli Isolani saat itu bahkan disebut-sebut sebagai salah satu musim paling mengejutkan yang pernah terjadi di kasta teratas Liga Italia.
A miracle season in Serie A history, begitu media-media Eropa menyebutnya. Secara fantastis Gli Isolani sanggup mengangkangi juara bertahan Fiorentina serta langganan Scudetto macam duo Milan dan Juventus. Riva melengkapi prestasi tersebut dengan gelar top skor ketiga sepanjang kariernya di belantara Serie A.
Dirinya pun masuk nominasi penganugerahan Ballon D’Or empat kali berturut-turut selang 1967-1970. Meski gagal memenanginya satu kali pun tapi hal tersebut meyakinkan publik bahwa Riva memang sosok berkelas.
Menelusuri rekam jejak Riva hanya melahirkan satu kata di dalam kepala penulis, sempurna. Oportunis, lincah, berbekal skill menakjubkan dan jago bikin gol adalah atribut-atribut hebat yang dipunyai sang striker. Plus karakternya yang santun dan low profile, membuat Riva amat dikagumi khalayak. Riva bagaikan sosok hero dambaan semua orang.
Mudah untuk mengarahkan telunjuk kepada Franco Baresi, Giuseppe Bergomi atau Francesco Totti sebagai persona one club man nan hebat. Akan tetapi jauh sebelum ketiganya eksis, pria kelahiran Leggiuno di perbatasan Italia dan Swiss ini mengajarkan tentang arti sakral one club man yang sesungguhnya.
Dengan skill mengagumkan yang dimilikinya, Riva memang pantas bermain di klub-klub yang lebih top ketika itu. Akan tetapi Riva membuktikan jika sepak bola bukan hanya soal materi semata. Kesetiannya dibuktikan dengan tak sekalipun mengganti seragam merah-biru yang ia kenakan dengan kelir yang lain.
Karier profesionalnya dihabiskan hanya dengan klub yang amat sangat dicintainya itu. Naif bila kita mencoba membandingkan Milan, Inter, Juve atau Lazio sekalipun dengan Cagliari. Dan Riva teguh dengan pilihannya.
Di antara klub-klub mapan yang tertarik pada jasanya, bisa dikatakan bila Juventus menjadi tim yang paling getol untuk memboyongnya keluar dari Sardinia. Pihak Si Nyonya Tua, julukan Juventus, menyodori Riva dengan tawaran sebanyak tiga kali hanya dalam rentang delapan tahun untuk membuatnya berlabuh ke Turin.
Bahkan tawaran terakhir yang dilepas Juve kepada Cagliari bisa membuatnya jadi pemain termahal dunia ketika itu bila dirinya sepakat untuk hengkang. Namun secara luar biasa pula Riva menepis semua iming-iming tersebut.
“Aku bisa saja mendapat bayaran tiga kali lipat di Turin. Juventus bisa membuatku bermandikan uang. Sayangnya Sardinia telah membuatku seperti berada di rumah sendiri. Orang-orang (Italia daratan) itu kerap menyebut kami sebagai penggembala dan penjahat. Dan aku lebih menginginkan gelar juara untuk pulau ini, untuk rakyat Sardinia. Sampai akhirnya kami (para penggembala dan penjahat) berhasil melakukannya,” aku Riva dalam sebuah wawancara.
“Memenangi satu Scudetto bersama Cagliari rasanya sama dengan sepuluh gelar dengan klub besarm,” papar Scopigno pasca-Gli Isolani keluar sebagai kampiun.
Hal yang sama pastinya bakal diucapkan Riva terkait kegemilangannya bersama klub yang tak ingin ditinggalkannya itu. Karena impiannya untuk menghadiahi rakyat Sardinia trofi juara tercapai dengan manis meski itulah satu-satunya trofi bergengsi yang dimiliki Gli Isolani.
Selama tiga belas tahun membela Gli Isolani dalam rentang 1963/1976, pemain yang mendapat julukan Rombo di Tuono atau Raungan Guntur dari jurnalis populer Italia, Gianni Brera, ini sanggup mencatat 207 gol dari 374 partai di semua kompetisi yang dijalaninya. Jumlah yang belum bisa disamai pemain Cagliari manapun sampai kini.
Sayangnya, pada usianya yang ke-32 Riva mesti pensiun akibat cedera patah kaki yang dideritanya. Riva memang cukup akrab dengan cedera yang satu ini dengan mengalaminya kurang lebih sebanyak tiga kali sepanjang karier. Salah satunya bahkan membuat dirinya gagal tampil pada perhelatan Piala Dunia 1966 di Inggris bersama tim nasional Italia.
Riva mulai dipanggil timnas Italia pada 1965 saat masih ditangani Edmondo Fabbri. Dan semenjak saat itu ia merupakan salah satu pilar utama di lini depan Gli Azzurri.
Fulvio Valcareggi yang menjabat sebagai allenatore timnas setelah dipecatnya Fabbri tentunya juga tak bisa mengabaikan performa gemilang Riva bersama Cagliari sehingga selalu memasukkan namanya dalam setiap laga timnas besutannya. Gagal mentas di Piala Dunia 1966 menjadikan Piala Eropa 1968 sebagai ladang pelampiasan Riva.
Apalagi status Italia ketika itu adalah tuan rumah. Bahu-membahu bersama legenda Italia yang lain seperti Giacinto Facchetti, Sandro Mazzola, Pietro Anastasi dan Gianni Rivera, ia sanggup membawa Gli Azzurri keluar sebagai kampiun Eropa. Gol pembukanya di final ulangan melawan Yugoslavia memuluskan langkah Italia ke tangga juara yang akhirnya menang 2-0.
Namun kenyataan pahit mesti dirasakan Riva cs. ketika melakoni Piala Dunia 1970 di Meksiko. Penampilan heroik anak asuh Valcareggi mesti kandas di babak final akibat tumbang dengan skor telak 1-4 dari tim nasional Brasil yang skuatnya dijubeli sosok-sosok buas macam Pele, Rivelino, Tostao dan Carlos Alberto. Generasi Brasil 1970 itu bahkan dicap sebagai generasi terbaik Selecao yang pernah ada sepanjang sejarah.
Kegarangan Riva kala berseragam biru timnas Italia pun tak kalah seperti saat ia membela Cagliari. Gol demi gol yang berhasil dilesakkannya ke gawang lawan. Tercatat, Riva mengoleksi 35 gol dari 42 kali bermain untuk negaranya. Dirinya pun masih tercatat sebagai pencetak gol terbanyak timnas Italia hingga saat ini. Catatan yang hebat, bukan?
Dan tepat hari ini, 7 November, Riva merayakan ulang tahunnya yang ke-71. Sosok yang masih dielu-elukan I Sardi sampai hari ini, bahkan oleh mereka yang tak menyaksikan langsung dirinya membela Gli Isolani, memang lebih dari sekadar simbol bagi Cagliari ataupun Sardinia.
Klub yang dibela Riva itu sendiri telah memensiunkan nomor punggung 11 nan keramat miliknya per 2005 silam sebagai penghormatan atas prestasi dan jasanya. Karena berkat dirinyalah Sardinia menjadi lebih diakui dan tak dipandang sebelah mata lagi.
Buon Compleanno Rombo di Tuono!