Carles Puyol: Tembok Kokoh dari Catalan

Di tengah hamparan rumput hijau Stadion Camp Nou, ada lelaki berambut gondrong yang di lengannya melingkar ban kapten berlari mengejar striker lawan yang mendekati gawang Barcelona. Sesungguhnya, ia kalah cepat. Namun ia mampu mengambil keputusan yang tepat dalam sepersekian detik. Tungkai kakinya dijulurkan dan bola pun lepas dari kontrol sang penyerang sehingga gawang Barcelona terhindar dari ancaman. Lelaki itu adalah Carles Puyol.

Lahir dengan nama asli Carles Puyol i Saforcada pada 13 April 1978 silam di sebuah kawasan bernama La Pobla de Segur, Puyol mewarisi darah Catalan murni. Sedari belia, ia telah menunjukkan ketertarikannya terhadap sepakbola walau keluarganya menentang hal tersebut karena ingin melihat sang putra sukses di bidang akademik.

Cinta memang memabukkan dan Puyol pun mengalaminya. Alih-alih menuruti kemauan orang tua, Puyol yang akhirnya mampu mengubah pandangan orang tuanya sehingga dimasukkan ke klub junior Pobla de Segur. Di sana, Puyol dimainkan sebagai kiper. Namun cedera bahu yang dialaminya bikin sosok yang menolak jabatan sebagai Direktu Olahraga Barcelona pada 2019 kemarin ingin pindah ke posisi lain, utamanya di sektor depan.

Dasar apes, hal itu tak membuatnya tampil lebih baik. Mujur, Puyol lantas pindah ke salah satu akademi sepakbola terbaik di jagad raya, La Masia, kepunyaan Barcelona. Di tempat inilah, nasibnya mulai menampakkan perubahan berarti.

Keinginannya buat dimainkan sebagai penyerang memang tak terwujud, tapi segalanya tampak lebih baik usai dirinya menempati pos gelandang bertahan. Hingga akhirnya, bersama tim Barcelona B, Puyol mantap dijadikan bek kanan maupun bek tengah. Posisi ini pula yang kemudian melambungkannya ke tim senior. Seolah-olah, takdir sudah menyiapkannya sebagai benteng pertahanan Los Cules di masa depan.

Meski demikian, menembus tim inti Barcelona bukanlah perkara gampang. Di pengujung 1990-an, berdiri Frank de Boer dan Michael Reiziger di barisan belakang sehingga ruang untuk Puyol teramat sempit. Manajemen Barcelona bahkan sepakat untuk melego Puyol ke Malaga pada 1998, tapi sang pemain menolak karena ingin mengenakan baju biru-merah khas raksasa Catalan seperti kompatriotnya Xavi Hernandez.

BACA JUGA:  Keteguhan Hati Granit Xhaka

Mimpi Puyol beraksi dengan panji Barcelona akhirnya terwujud pada tahun 1999. Semenjak saat itu juga, Puyol mematri satu tempat (kendati tak selalu turun sebagai pemain inti) di lini pertahanan Los Cules. Kepercayaan Barcelona terhadapnya juga berbuah perpanjangan kontrak buat merumput di Stadion Camp Nou. Padahal di momen awal nama Puyol melesat, Manchester United dikabarkan tertarik mendapatkan jasanya. Apalagi saat itu Barcelona sedang mengalami krisis finansial.

Loyalitas Puyol bagi kesebelasan yang berdiri pada 29 November 1899 itu sendiri berujung manis. Selain dipercaya menjadi kapten setelah Luis Enrique gantung sepatu, ia menjadi bagian integral kesuksesan Barcelona mendominasi Spanyol, Eropa dan bahkan dunia sejak pertengahan 2000-an sampai pertengahan 2010-an.

Lelaki yang gaya mainnya tak kenal kompromi tersebut menghadiahkan dua puluh silverwares. Rinciannya adalah tujuh titel La Liga Spanyol, dua Piala Raja Spanyol, empat Piala Super Spanyol, tiga trofi Liga Champions, sebiji Piala Super Eropa, dan sepasang Piala Dunia Antarklub.

Penampilan hebat Puyol bersama Barcelona juga berlanjut di level tim nasional. Menjadi andalan Spanyol dalam rentang 2000 hingga 2013 sehingga mengoleksi 100 penampilan dan 3 gol, Puyol jadi tumpuan La Furia Roja kala menggamit gelar Piala Eropa 2008, dan Piala Dunia 2010. Andai tak diganggu cedera lutut yang memaksanya menepi dari lapangan hijau, besar kemungkinan dirinya juga menjadi salah satu aktor kesuksesan Spanyol saat menjuarai Piala Eropa 2012.

Bekas palang pintu Barcelona di era 1990-an, Miguel Angel Nadal, yang juga paman dari petenis terkemuka Spanyol, Rafael Nadal, menyebut bahwa Puyol merupakan bek yang sangat komplet. Fans Los Cules bak mengamini hal tersebut dan menjuluki Puyol sebagai The Wall alias Sang Tembok.

BACA JUGA:  Menuju Generasi Emas Amerika Serikat

“Puyol memiliki sikap dewasa di atas lapangan sehingga pantas dijadikan pemimpin. Antisipasi, determinasi, kekuatan, kedisiplinan, kecerdasan, dan konsentrasinya saat bermain sungguh eksepsional. Di atas itu semua, Puyol selalu bermain dengan rasa bangga pada seragam yang dikenakannya”, terang Nadal seperti dilansir Sports Illustrated.

Walau bergelimang kesuksesan dan materi, figur one-men club ini adalah sosok yang rendah hati dan tidak banyak tingkah. Alih-alih menghabiskan waktu dengan mengunjungi tempat hiburan malam guna berpesta, Puyol lebih senang bercengkerama dengan teman-temannya sembari makan di restoran.

Ayah dari Manuela, dan Maria ini pernah menegur Dani Alves dan Thiago Alcantara saat selebrasi keduanya usai mencetak gol dinilai provokatif. Ia juga membiarkan Eric Abidal, rekan setimnya di Barcelona yang baru sembuh dari kanker hati, untuk menjadi orang pertama yang mengangkat trofi Liga Champions saat Los Cules memenangkannya di musim 2010/2011. Walau umumnya, para kapten kesebelasanlah yang sering menunaikannya.

Orang-orang, bahkan mungkin fans Barcelona sendiri, akan lebih sering menghubungkan keberhasilan klub favorit mereka dengan Andres Iniesta, Lionel Messi, Ronaldinho atau bahkan Xavi. Namun di tengah rasa senyap yang ada, pemain yang identik dengan nomor punggung 5 ini berdiri sebagai tembok kokoh yang meredam gelombang pasang sehingga Barcelona sanggup merengkuh prestasi gemilang.

Saat ini, kekuatan Los Cules sebagai klub raksasa di Spanyol dan Eropa memang belum luntur karena presensi Sergio Busquets, Messi hingga Gerard Pique. Namun secara keseluruhan, Barcelona semakin merasa kehilangan determinasi dan karisma luar biasa dari figur sekelas Puyol.

Komentar
Penggemar sepakbola yang mengenyam pendidikan di Universitas Islam Indonesia jurusan Hubungan Internasional.