Mengagungkan Sosok Jordan Henderson

Bagi yang mengikuti sepak terjang Jordan Henderson semenjak bergabung dengan kubu Merseyside merah, pasti menyebut tahun 2019 adalah periode yang takkan pernah ia lupakan. Pemain berambut pirang tersebut jadi orang pertama di skuat Liverpool setelah Robbie Fowler pada 2001 silam (Piala FA, Piala Liga, dan Piala UEFA/Liga Europa) yang mengangkat tiga trofi sekaligus di tahun yang sama yaitu gelar Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antarklub.

Tahun ini merupakan warsa ke-9 pemain bernama lengkap Jordan Brian Henderson itu mengenakan baju The Reds. Per 2015 yang lalu, pemain bernomor punggung 14 tersebut bahkan dipercaya sebagai kapten utama kesebelasan. Ada begitu banyak pengalaman manis dan pahit yang ia rasakan bersama Liverpool.

Andai di pengujung musim 2019/2020 kali ini Henderson sanggup membawa Liverpool memenangkan Liga Primer Inggris, maka lengkap sudah pencapaiannya sebagai pesepakbola profesional. Di sisi lain, The Reds pun bakal menyudahi paceklik titel liga sedari musim 1989/1990 lalu.

Meniti karier bareng klub asal kota kelahirannya, Sunderland, baru pada tahun 2008 ia beroleh kesempatan naik ke tim senior. Walau dibekali bakat apik dan kemampuan prima sebagai pesepakbola, Henderson dinilai tak setara dengan legenda The Black Cats, Kevin Phillips, yang begitu mudah dicintai.

Dalam kurun 2008 sampai 2011, Henderson cuma beraksi di 71 pertandingan dan mengoleksi 4 gol pada seluruh kompetisi. Di tengah-tengah periode tersebut, ia pun sempat dipinjamkan sebentar ke Coventry City.

Pelatih Liverpool di musim 2011/2012, Kenny Dalglish, adalah sosok yang menginginkan jasa Henderson. Alhasil, manajemen The Reds rela menguras kocek sekitar 16 juta paun buat mendatangkannya ke Stadion Anfield. Tak main-main, Dalglish langsung memainkan Henderson sebagai salah satu pilar di sektor tengah.

Akan tetapi, kehadiran Brendan Rodgers sebagai manajer anyar pada musim 2012/2013 sempat bikin nasib Henderson tak menentu. Pasalnya, bekas pelatih Swansea City tersebut mengungkapkan kepada sang pemain jika ia diizinkan bergabung dengan Fulham yang mengajukan tawaran pada bursa transfer musim panas. Namun hal itu ditolak Henderson. Ia mengikrarkan diri untuk bertahan di Liverpool dan membuktikan kemampuannya kepada Rodgers.

Pembuktian dan Status Kapten

Keputusan yang tergolong berani itu nyatanya membuahkan hasil. Rodgers pada akhirnya mengandalkan Henderson sebagai dinamo permainan tim. Tak sampai di situ karena Rodgers juga yang menunjuk pemain berumur 29 tahun tersebut sebagai kapten tim yang baru setelah Steven Gerrard cabut ke Los Angeles Galaxy.

Menyandang status kapten tak membuat hidup Henderson jadi lebih mudah. Ia sering diremehkan oleh fans sepakbola seantero dunia sebagai pemain biasa-biasa saja dan tak memberi banyak pengaruh buat Liverpool. Berbagai perbandingan acap dilontarkan publik mengenai ia dan Gerrard merupakan satu dari sekian hal yang paling menyebalkan.

Mulai dari kontroversi penunjukan dirinya sebagai kapten walau kualitasnya tergolong medioker dan tanpa prestasi, gaya bermainnya yang seringkali membosankan sebab kerap melakukan back-pass, sampai latar belakang dirinya yang bukan seorang Scouser alias orang asli Liverpool.

Belum lagi, di musim pertamanya bergabung ke Liverpool, ia sempat menjadi bahan tertawaan karena The Reds dianggap menghambur-hamburkan uang transfer senilai 50 juta paun dengan merekrut pemain-pemain semenjana. Pada musim itu, selain Henderson, Liverpool juga menggamit Charlie Adam, Sebastian Coates, Jose Enrique dan Stewart Downing.

BACA JUGA:  Mencari Penawar Kecemasan di Lini Pertahanan Liverpool

Untungnya, Henderson bukan orang yang mudah menyerah. Sebagai seorang skipper, ia sudah terbiasa memikul tanggung jawab besar dan pandai menempatkan diri saat kondisi moral kesebelasan yang ia bela berfluktuasi.

Memamerkan umpan-umpan presisi, mencetak gol indah, melepaskan tekel-tekel brilian hingga melakukan gocekan maut bukanlah atribut utama yang senantiasa Henderson tunjukkan. Namun di atas semua itu, ia memiliki keteguhan hati, dedikasi, dan kemauan untuk terus berjuang bersama Liverpool. Bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun.

Setelah Rodgers pergi dan posisinya ditempati Jürgen Klopp, status Henderson tak berubah karena ban kapten tetap melingkar di lengannya. Sebuah kepercayaan yang kemudian coba dijawab Henderson dengan cara terbaik.

Rasa percaya Klopp terhadap Henderson rupanya lebih dari sekadar jabatan kapten. Secara permainan, pemilik 55 penampilan bareng tim nasonal Inggris itu juga dipoles habis oleh sang pelatih. Orang-orang mungkin sering tak melihat kontribusinya secara riil, tapi faktanya, Henderson bisa menentukan performa rekan-rekannya di lapangan. Tak bisa diingkari bahwa Liverpool sangat membutuhkan sosoknya.

Perubahan Cara Main

Mengubah cara bermain adalah pekerjaan yang tidak mudah dan Klopp sadar dengan itu. Namun ia meyakini bahwa Henderson punya kapasitas dan kualitas untuk melakukannya.

Sebelum mendatangkan Fabinho, Henderson selalu diplot sebagai gelandang bertahan sehingga ia lebih sering mengawal lini belakang. Segalanya berubah tatkala pria Brasil itu merumput di Stadion Anfield.

Dalam formasi dasar 4-3-3 kesukaan Klopp, pelan-pelan Henderson digeser ke sisi kanan lini tengah. Peran baru ini memberi kebebasan kepadanya untuk membantu proses build up serangan dari sayap kanan yang dihuni Trent Alexander-Arnold dan Mohamed Salah.

Salah satu kemampuan Henderson yang sering menjadi bahan perbincangan adalah gaya mainnya yang kini lebih ofensif. Ia bisa mengirim umpan secara tidak terduga ke lini serang The Reds saat pemain lawan fokus terhadap pergerakan para penyerang sayap.

Seperti yang ditulis Dex Glenniza di panditfootball, Henderson adalah pemain yang rajin melepaskan umpan-umpan panjang yang membelah lini pertahanan lawan. Hal ini tentu sesuai dengan instruksi Klopp sebab menambah warna permainan Liverpool sekaligus menyulitkan lawan untuk mengantisipasi.

Tak hanya itu karena keterlibatannya yang lebih banyak pada fase menyerang juga membuat catatan statistik xG (expected goal) Henderson meningkat drastis. Artinya, Henderson bisa jadi opsi ancaman bagi sektor belakang musuh selain trio Roberto Firmino, Sadio Mane, dan Salah.

Perbedaan cara bermain Henderson mulai bisa dilihat dengan jelas pada leg kedua semifinal Liga Champions 2018/2019 versus Barcelona. Ia turut andil menjadi pemain yang menentukan gol pembuka Liverpool ke gawang Los Cules. Bola yang ia tembakkan kea rah gawang sebetulnya dapat ditepis Marc-Andre ter Stegen, tapi Divock Origi sukses memanfaatkan bola muntah guna mencetak gol.

BACA JUGA:  Tiga Nama Pengganti Santi Cazorla

Presensi Henderson yang semakin terlihat esensinya bisa kita saksikan tatkala Liverpool menggulung Southampton malam kemarin (1/2) dengan skor telak 4-0. Pada laga tersebut, sang kapten mengepak 1 gol dan 1 asis.

Penetrasi Firmino di kotak penalti lawan diikuti Henderson yang mencari ruang koson karena fokus bek lawan kadung mengarah kepada pergerakan sang striker. Sodoran enak Firmino pun sukses dikonversi secara manis oleh sang gelandang.

Sementara asis cantik Henderson bermula dari pergerakannya di sisi kanan sampai akhirnya melepas umpan terukur yang membebaskan Salah dari kawalan bek musuh guna berhadapan satu lawan satu dengan kiper Southampton dan mencetak gol.

 

Omar Saleem dalam artikelnya yang berjudul “In praise of Jordan Henderson, a genuine all-rounder” di These Football Times pada 2015 silam telah mencatut suami Rebecca Burnett itu sebagai salah satu gelandang box-to-box paling efektif sekaligus paling dipandang sebelah mata di belantara Liga Primer Inggris.

Saleem menguatkan pendapatnya lewat data statistik yang ia kumpulkan. Sedari musim 2014/2015 lalu, Henderson sudah menunjukkan diri sebagai gelandang yang distribusi bola, dan kemampuan bertahannya ada di atas rata-rata pemain tengah Liga Primer Inggris ketika itu.

Pelatih Flamengo, Jorge Jesus, yang jadi lawan Liverpool di final Piala Dunia Antarklub bahkan tak ragu untuk memuji Henderson. Pelatih asal Portugal itu menyanjung Henderson sebagai pemain yang pantas memegang status gelandang terbaik di dunia saat ini.

Awal tahun 2020, Henderson dinobatkan sebagai BT England Players of the Year tahun 2019. Ia ada di urutan pertama di atas nama-nama eksepsional lain seperti Raheem Sterling (Manchester City) dan Harry Kane (Tottenham Hotspur). Penghargaan ini diberikan asosiasi sepakbola Inggris, FA, kepada pemain asli Inggris yang memiliki andil dalam kemajuan sepakbola Inggris, baik di level klub maupun timnas.

Walau perlahan, usaha tak kenal lelah Henderson mulai membuahkan hasilnya. Namanya boleh saja tak seseksi Alexander-Arnold, Alisson Becker, Firmino, Mane, Salah atau bahkan Virgil van Dijk untuk dibicarakan, tapi Henderson memiliki esensi yang luar biasa. Ia adalah sosok agung di lini tengah, bahkan seisi skuad Liverpool saat ini.

Saya pun teringat adagium yang tersemat dalam lirik lagu You’ll Never Walk Alone yang bunyinya, “at the end of the storm, there’s a golden sky”, yang kurang lebih bermakna di pengujung badai, pasti ada langit yang keemasan yang cerah. Hal itu sesuai dengan perjuangan Henderson sebagai penggawa The Reds. Awalnya sempat dicaci, tapi akhirnya dipuji.

 

Mengoleksi 73 poin dari 25 pertandingan membuat The Reds berdiri kokoh di puncak klasemen Liga Primer Inggris musim ini. Selisih angka yang memisahkan mereka dengan Manchester City di posisi kedua pun sangat jauh. Maknanya sederhana, peluang Liverpool untuk memboyong titel Liga Primer Inggris perdananya sepanjang sejarah begitu tinggi.

Akankah Henderson jadi pemain pertama yang mengangkatnya?

Komentar
Blogger, pengembang web, dan penjaga gawang di fandom.id. Fans Liverpool. #YNWA