Babak pertama laga final Liga Champions musim 2004/2005 di Stadion Ataturk, Istanbul, antara AC Milan kontra Liverpool berakhir 3-0 bagi keunggulan tim yang disebut pertama. Di ruang ganti, kapten The Reds, Steven Gerrard, barangkali tengah dibayang-bayangi kegagalan memeluk lambang klub terbaik di benua Eropa tersebut.
Usia Gerrard saat itu masih cukup muda, 25 tahun, tetapi tanggung jawab yang ia pikul begitu besar yakni menjaga nama besar Liverpool di Benua Biru sekaligus menyudahi paceklik titel mereka pada ajang Liga Champions sedari musim 1983/1984.
Mengenakan seragam merah bernomor punggung 8, ia memiliki peran sentral dalam tim. Jiwa kepemimpinannya kuat sehingga ban kapten melingkar di tangannya. Dan di momen-momen tertentu, Gerrard punya ‘sihir’ yang bisa mendatangkan keajaiban bagi Liverpool. Tak heran kalau ia punya tempat istimewa di tim, pun hati suporter.
Istanbul adalah kota tua yang punya sejarah panjang. Tentang kekuasaan, perebutan, hingga penaklukan yang diwarnai darah. Tribun Stadion Attaturk malam itu sendiri bak peperangan penuh darah karena suporter Milan dan Liverpool sama-sama mengenakan baju, syal atau simbol apapun terkait warna kebesaran klubnya yang kebetulan serupa, merah (walau I Rossoneri bercampur dengan hitam).
Liverpool berambisi mengukir sejarah sebagai tim pertama yang sanggup mengejar ketertinggalan 0-3. Sebuah misi mustahil memang, tapi anak asuh Rafael Benitez punya tekad bulat untuk itu. Tak peduli bahwa kubu asuhan Carlo Ancelotti juga menyimpan peluang buat memperbesar keunggulan.
Tekanan yang Gerrard rasakan kala itu pasti sangat tinggi. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya di final Piala Liga melawan Chelsea, Liverpool tumbang secara mengenaskan dengan skor akhir 2-3. Gerrard bahkan mencetak gol bunuh diri ‘indah’ dalam pertandingan tersebut.
Setelah wasit meniup peluit tanda berakhirnya laga dan The Blues berhak membawa pulang trofi juara, Gerrard tampak murung sekali di tengah lapangan. Pelatih Chelsea, Jose Mourinho, lantas menghampirinya guna berjabat tangan. Keduanya sempat berbicara sebentar, entah membahas apa. Satu yang pasti, Gerrard baru saja menolak pinangan Chelsea di bawah rezim Roman Abramovich.
“Sebagai pemain, ini adalah pertama kali aku merasa bahwa kesepian adalah tamparan yang lurus dan kuat, sepenuhnya di wajah. Aku merasakan tanggung jawab yang besar terhadap semua orang ini. Itu adalah kesalahanku sendiri.” akunya dalam film dokumenter Steven Gerrard: Make Us Dream, garapan Amazon.
Harus diakui, para fans adalah salah satu kekuatan besar yang dimiliki oleh The Reds dalam pertempuran di Istanbul. Jeda babak pertama, empat puluh ribu penonton yang sudah menangis masih setia bernyanyi untuk Liverpool. You’ll Never Walk Alone, ya, Gerrard dan kawan-kawan memang tidak berjalan sendiri. Berada di final sudah menjadi kebanggaan, tetapi tidak untuk menelan kekalahan!
“Mereka memiliki pemain termahal yang dapat mereka beli di dunia. Tapi kami memiliki kekuatan penggemar, dan karena itu kami setara sekarang,” terang Benitez yang terlihat amat bersahaja dalam jumpa pers sebelum laga semifinal leg kedua Liga Champions versus Chelsea di Stadion Anfield beberapa waktu sebelumnya.
Mungkin Benitez benar. Mereka tidak punya pemain yang dibeli dengan harga selangit, tetapi mereka menjadi kuat berkat dukungan para fans. Lihat saja di Istanbul, lagu You’ll Never Walk Alone terus berkumandang di langit Turki saat jeda babak pertama, sekalipun tim kesayangan mereka sedang tertinggal tiga gol tanpa balas.
Entah apa yang dibicarakan oleh Benitez di ruang ganti saat turun minum. Namun di babak kedua, Liverpool tampak berbeda. Di antara nyanyian dan dukungan penuh suporter The Reds, sepertinya Liverpool tinggal menunggu waktu guna menghadirkan keajaiban dan membalikkan keadaan.
Saat laga memasuki menit ke-54, apa yang terus diupayakan Liverpool membuahkan hasil. Berawal dari umpan John Arne Riise dari sisi kiri, Gerrard melompat dan menyundul bola tersebut ke arah gawang Milan yang dijaga Nelson Dida. Gol!
Beberapa tahun sebelumnya, ada keajaiban sepakbola yang lahir di kota Barcelona. Pada laga final Liga Champions 1998/1999, Manchester United sukses membalikkan ketertinggalan dari Bayern Muenchen hanya dalam tempo tiga menit!
Clive Tyldesley yang menyaksikan keajaiban di Stadion Camp Nou itu mengeluarkan komentar yang bakal terus diingat suporter United yaitu, “Solskjaer won it!”. Ya, Ole Gunnar Solskjaer adalah pencetak gol kedua The Red Devils di menit ke-93 sehingga United jadi unggul 2-1 sekaligus memenangkan gelar.
Di Istanbul, Tyldesley juga mengeluarkan komentar ikonik, “Hello! Hello! Here we go! Steven Gerrard puts a grain of doubt in the back of Milan’s mind and gives hope to all the many thousands of Liverpool fan.”
Gerrard tidak bertele-tele dalam merayakan gol yang menjadi awal dari semua keajaiban itu. Ia hanya mengayun-ayunkan tangan dan terus melakukannya, memancing semangat rekan-rekannya, dan mengundang para suporter untuk berteriak lebih keras.
Semangat itu membius semua pihak dan akhirnya, keajaiban yang coba diukir sukses diwujudkan. Dalam tempo empat menit, Liverpool menambah pundi-pundi golnya sebanyak dua kali, melalui Vladimir Smicer dan Xabi Alonso. Setelah itu, segalanya merupakan sejarah yang menampilkan kisah epik dan penuh dengan romansa kepahlawanan. Hal itu sendiri abadi sampai kapanpun.
Gerrard tidak dapat berbicara banyak seusai laga, pun sebagian penonton yang kehilangan kata setelah menyaksikan laga ajaib tersebut. Lelaki kelahiran Whiston ini mencetak gol pembuka yang membakar spirit kebangkitan Liverpool dan menjadi ‘penyebab’ lahirnya hadiah penalti untuk The Reds yang sukses dikonversi Alonso.
Kehidupan Gerrard di dalam lapangan tak ubahnya simbol dari kehidupan itu sendiri. Sebagaimana pengalaman manusia yang memiliki ‘masa jaya’ dan ‘titik terendah’, Gerrard pun mengalami hal yang sama. Ia mengalami puncak karier yang gemilang di usia muda dengan raihan trofi Liga Champions di Istanbul.
Namun ia juga mengalami titik terendah ketika dianggap sebagai biang keladi dari pupusnya harapan Liverpool beroleh titel Liga Primer Inggris pertamanya sepanjang sejarah pada musim 2013/2014 silam. Momen terpelesetnya Gerrard dalam partai kontra Chelsea di Stadion Anfield memang sulit dilupakan dan bakal terus dijadikan olok-olok fans klub rival.
Meski demikian, tak memberi respek kepada Gerrard adalah kemunafikan. Sebagai manusia biasa, tentu ada banyak lika-liku yang dialaminya, persis seperti pesepakbola lainnya. Namun di atas itu semua, Gerrard adalah figur yang mampu membuktikan ikrar setianya kepada satu klub. Hal yang amat sulit dilakukan pesepakbola masa kini. Ia baru pergi meninggalkan Liverpool karena kontraknya tak diperpanjang saat berakhir di musim 2014/2015.
Keajaiban Ataturk adalah kado spesial bagi Gerrard yang saat itu baru saja merayakan ulang tahunnya ke-25. Suka tidak suka, pertandingan ikonik itu takkan lekang oleh waktu. Bahkan hingga Gerrard merayakan ulang tahunnya yang ke-40 pada hari ini.
Happy birthday, Stevie G.