Sudah sejak lama ia didapuk sebagai suksesor Andres Iniesta dan Xavi Hernandez. Ia kecil, lincah, dan sangat jeli. Bagai seekor elang, ia memandang lapangan sepakbola dari angkasa. Ia merekam setiap posisi kawan lawan dengan akurat. Thiago Alcantara, ia yang bermatamorfosis di Sabener Starsse.
Ya, ia justru mekar sempurna di pusat latihan Bayern Munchen. Padahal sebelumnya, karier Thiago seperti sudah digariskan untuk menjadi konduktor orkestra megah Barcelona. Adalah Pep Guardiola, sosok revolusioner yang menggandengnya ke Jerman. Pep ingin menjadikan Thiago sebagai jantung Bayern Munchen.
Gelandang yang lahir pada 11 April 1991 tersebut diboyong Bayern dengan nilai transfer “hanya” 20 juta euro. Harga yang saat ini terlihat terlampau murah jika melihat metamorfosis Thiago di bawah asuhan Carlo Ancelotti. Orang menyebutnya sebagai “bargain transfer”.
Meski menyandang protipe gelandang kelas dunia, Thiago tak lantas masuk tim utama Bayern dengan begitu mudah. Musim pertama bersama Pep dan Bayern ia habiskan di ruang perawatan. Cederanya cukup beragam, mulai dari cedera ligamen, otot, hingga hamstring.
Musim kedua dan ketiga di bawah asuhan Pep pun Thiago kesulitan menembus tim utama. Tidak konsisten menjadi salah satu sebab. Tiga musim bersama Pep di Bayern, Thiago gagal memenuhi ekspektasi tinggi.
Musim ini, Carlo Ancelotti mengambil komando setelah Pep dipinang Manchester City. Sempat lahir sebuah keraguan, apakah Thiago mampu menembus tim utama di bawah pelatih yang lebih “pragmatis”. Dan memang, musim ini, Bayern bermain lebih “direct” dibandingkan ketika masih dilatih Guardiola.
Memang, transisi dari era Pep ke Don Carlo tidak diwarnai perubahan drastis. Bayern masih dominan di Bundesliga, memimpin klasemen sejak hari pertama, tercatat hanya menderita dua kekalahan, dan lolos ke perempat final Liga Champions setelah menundukkan lawan latihan mereka, Arsenal.
Namun, meski mampu membukukan catatan gemilang seperti itu, kritikan masih saja menerpa Ancelotti. Beberapa kali, kalau tak dibilang cukup sering, Bayern bermain buruk. Menang dengan cara terburuk tidak cukup untuk standar setinggi Bayern. Sebuah ironi jika melihat hasil hitung-hitungan matematika di tabel klasemen.
Tapi seperti itulah Bayern. Thomas Muller pun menegaskan kepada espnfc.com bahwa, “Kami tidak puas apabila memenangi laga tidak dengan CARA kami.”
Soal buruknya cara bermain Bayern, Muller berkata, “Saya rasa ini masalah tim, bukan individu pemain. Kami, para pemain, harus menemukan solusi sebagai sebuah tim, untuk lebih kompak di lapangan.”
Musim ini, Muller kesulitan menembus tim utama Bayern karena penurunan performa. “Saya tidak bisa menerima bola di tengah lantas menggiringnya melewati enam orang. Ketika pemosisian diri, aliran bola, dan operan kami tidak baik, maka performa saya juga terkena dampaknya. Saya bisa mencetak gol lewat skema bola mati, tapi saya harus terlibat dalam permainan kombinasi, bergerak tanpa bola, dan turun ke bawah,” ungkapnya.
Dan di tengah masalah itu, Thiago bermetamorfosis. Bayern sempat kesulitan menegaskan kontrol yang nyata atas permainan. Tim menjadi tidak terorganisasi dengan baik. Hasilnya, meski menang, Bayern tidak menang dengan “cara Bayern” seperti kata Muller di atas.
Thiago seperti magnet, yang menyatukan tim menjadi satu unit yang lebih kompak. Tentu, menjadi sebuah unit yang sangat berbahaya. Ia sangat jeli untuk mencari ruang, memberi Bayern sebuah opsi progresi bersih ke depan. Sebuah video dari @TomPayneftbl di bawah ini menyajikan gambaran yang begitu jelas.
Thiago receiving between the lines against Arsenal. pic.twitter.com/y2ukB1vgP6
— Tom Payne (@TomPayneftbl) February 20, 2017
Thiago menjadi jembatan di antara lini Arsenal yang memang seperti biasa, tidak stabil dan kompak. Ketika Bayern kesulitan menemukan jalan masuk ke pertahanan lawan, Thiago akan menjadi konektor. Ia akan bergerak ke ruang yang tepat, menyesuaikan dengan kawan, dan melepas umpan dengan presisi.
Thiago, yang menemukan kepercayaan diri menjadi sentral permainan Bayern. Kedua kakinya hidup semakin maksimal ketika ia mendapatkan ruang untuk menggiring bola. Bagi pemain tengah, kemampuan menggiring bola bisa memberika dua manfaat.
Pertama, membantu si pemain berkelit dari pemain lawan yang datang menekan. Sehingga, sebuah tim mampu menjaga penguasaan bola lebih lama. Kedua, kemampuan menggiring bola membantu seorang pemain tengah mencapai ruang tertentu di mana ia bisa melepaskan umpan kunci.
Umpan kunci yang dilepas pemain asal Spanyol tersebut pun bukan sembarang umpan yang nyatanya mudah dilakukan. Ia melepas umpan kunci dengan presisi tinggi dan dilepas di waktu yang sangat tepat. Umpan vertikal yang ia lepas memudahkan kawan untuk bertindak atau memperlakukan bola dengan mudah.
Maksudnya, bola dari umpan saudara Rafinha, gelandang Barcelona, tidak menyusahkan rekannya. Si penerima bola bisa langsung mengeksekusi ke gawang lawan, bila umpan tersebut berupa pra-asis. Atau, si penerima bola bisa mengalirkan bola ke kawan yang lain dengan mudah.
Namun, senjata utama Thiago adalah visi. Perhatikan, ketika tengah sibuk menggiring bola sekalipun, Thiago tetap mengangkat kepalanya. Ketika bergerak tanpa bola, Thiago juga tak henti-hentinya menoleh, seperti melihat 19 pemain outfield lainnya dari angkasa. Ia berpikir, bahkan sebelum menerima bola.
Seperti kupu-kupu yang keluar dari kepompong, Thiago berkembang menjadi gelandang yang komplet. Ketika turun ke bawah, ia bertugas mengalirkan bola, baik dengan umpan sederhana atau dengan umpan vertikal yang lebih “direct”.
Ketika berada di tengah, ia menjadi jembatan, mengatur tempo, dan bahkan mengarahkan arah umpan kawannya. Ketika berada di depan, sebagai gelandang serang, pergerakannya selalu menyulitkan penempatan posisi lawan. Lalu, dengan umpan yang seperti menerobos lubang jarum, bola sampai di kaki kawan untuk diceploskan ke gawang lawan.
Selain mempunyai sisi menyerang yang kuat, kemampuan bertahan Thiago juga semakin berkembang. Bahkan musim ini, ia rataan kontribusi bertahan Thiago sangat tinggi. Catatan tackling dan intersep Thiago paling tinggi di Bundesliga.
Salah satu kontribusi bertahan yang paling krusial adalah antisipasi serangan balik lawan. Ia akan membaca gelagat lawan dan menutup jalur serangan balik secara sempurna.
Thiago di Barcelona dikenal sebagai gelandang serang yang bermain dengan fantasi. Bersama Bayern, boleh dikata, setiap pergerakan dan seleksi umpannya sudah diukur masak-masak.
Ia bukan lagi seekor ulat yang buruk rupa. Thiago berdiang di dalam kepompong, memupuk kemampuan diri dalam kehangatan kokon. Kini ia tegas mengepakkan sayapnya yang indah, yang dihias corak mematikan.
Metamorfosis sempurna, Thiago Alcantara.