Bagaimana Memanusiakan Kembali Lionel Messi?

LONDON, ENGLAND - FEBRUARY 23: Lionel Messi of Barcelona celebrates after scoring the opening goal during the UEFA Champions League round of 16 first leg match between Arsenal and Barcelona on February 23, 2016 in London, United Kingdom. (Photo by Paul Gilham/Getty Images)

Terlalu banyak waktu berlalu untuk mengangankan sebuah hal yang sulit tergapai. Terkadang, duduk tenang di depan layar kaca menonton klub sepak bola idola bertanding dengan lawan yang kepalang hebat, tidak bisa tidak angan membawa ke sebuah harapan untuk paket kejutan berupa kemenangan.

Pada dini hari yang dingin, setelah satu jam lebih pertandingan berjalan, optimisme untuk sebuah akhir laga yang menarik masih tersimpan di angan. Ia mengendap di dalam reaksi badan yang berkeringat dingin dan tangan yang tak henti mengusap-usap sembari berharap cemas.

Berharap sebuah gol. Satu saja, tak usah banyak. Gol yang membawa keceriaan. Gol yang menumbuhkan harapan. Gol yang menunjukkan bahwa people power itu ada. Gol yang menunjukkan bahwa manusia mampu menentukan takdir mereka sendiri tanpa tunduk pada sebuah kuasa divine power yang agung.

Tapi sialnya, tuhan selalu punya rencana sendiri mendahului kehendak manusia. Memasuki menit ke-70, dalam sebuah sergapan kilat bersama malaikat-malaikat kecilnya yang cekatan, tuhan rakyat Catalan itu merangsek ke kotak penalti musuh dan menurunkan firman agungnya yang paling syahdu malam itu.

Di hadapan “musuh” yang tidak terkalahkan sebelumnya, tuhan tahu, ini panggung yang tepat untuk menunjukkan bahwa kuasa mutlak masih ada di kaki kirinya yang hebat itu. Di hadapan Petr Cech saat itu (24/2), Lionel Messi menunjukkan kalau ia memang masih dan akan selalu menjadi yang terbaik.

***

Seusai laga, Sergio Busquets sempat berujar bahwa pola pressing yang dimainkan Arsenal kerap menyulitkan dan membuat aliran bola Barcelona menjadi terganggu. Tapi ia menambahkan, dengan naik menekan, Arsenal meninggalkan lubang di belakang.

Sepak bola di lapangan memang tak ubahnya sebuah meja judi yang besar dan luas. Ketika Anda maju untuk menekan, mau tidak mau, ada celah kosong yang bisa dimasuki di belakang. Ini logika sederhana dalam berjudi. Anda menang banyak atau kalah dengan telak. Sederhana.

Dan di sinilah kata kunci dari perkataan Busquets, “Arsenal mengambil resiko dengan bermain menekan kami, dan kami pun melakukan hal yang sama. Dan di sinilah, (Leo) Messi menunjukkan perannya.”

BACA JUGA:  Jussi Jaaskelainen: Pahlawan Masa Kecil Aaron Ramsdale

Anda boleh menjadi atheis yang taat. Atau menyembah pohon dan bebatuan untuk menyakini bahwa paganisme masih solusi yang baik di tengah polemik akan agama yang rumit saat ini. Tapi sebagai manusia waras dan masih menggantungkan hiburan dan piknik lahir serta batin di sepak bola, Lionel Messi harus menjadi sosok yang dianggap tidak setara manusia biasa. Orang menyakininya sebagai alien.

Gianluigi Buffon pernah menyempatkan menyentuh pipi Messi untuk menyakinkan dirinya bahwa Messi masih manusia seperti kebanyakan orang lainnya. Kita bisa menyebutnya sebagai tuhan, walau raihan Piala Dunia tidak ada di koleksi trofinya.

Tapi tahukah kalian, Per Mertesacker adalah seorang juara dunia, dan ia kemarin malam (24/2), tidak tampak sedikit pun sebagai juara dunia di hadapan pria Argentina yang tinggi badannya bahkan tidak mencapai bahunya.

Bagaimana kita harus menuliskan Messi dalam kata-kata? Ia jauh di atas kumpulan kata-kata bahasa Indonesia yang terhimpun dalam KBBI.

Anda bisa menuliskan Juan Roman Riquelme dengan narasi romantis yang melankolis. Atau memuja Cristiano Ronaldo dengan arogansi megabintangnya yang aduhai betul. Tapi Lionel Messi? Tolong, bantu saya menemukan satu kata yang tepat untuk menafsirkan Messi selain tuhan dan alien? Bisa?

Karena di titik itulah Lionel Messi seharusnya berada. Ia jauh di atas jangkauan semua orang. Mungkin ia hanya beberapa titik di atas duo rekannya, Neymar dan Luis Suarez, tapi tetap saja, dua pria Latin tersebut belum mampu menggeser posisi Messi sebagai apotheosis yang nyata di sepak bola modern.

Catatan golnya mungkin kalah dari ketajaman Luis Suarez musim ini. Bahkan, jumlah golnya pada musim ini juga masih di belakang Neymar. Tapi ingatan akan peran Messi selalu mengambil tempat yang pas dalam sanubari.

Di laga semifinal Liga Champions Eropa melawan Bayern Muenchen musim lalu misalnya, publik bersiap untuk sebuah hasil imbang tanpa gol ketika tendangan kaki kirinya dari luar kotak penalti mengubah peruntungan Barcelona malam itu. Disusul aksi jeniusnya menghancurkan Jerome Boateng dan Manuel Neuer dalam dua kali gerakan untuk sebuah gol manis di penghujung laga.

BACA JUGA:  Antara Saya, Ivan Rakitic dan Aksi Kemerdekaan Catalunya

Tanpa mengesampingkan dua kiper Barcelona yang stabil dan sama kompetennya satu sama lain. Dan lini belakang mereka yang berisi dua bek tengah solid dan dua bek sayap cepat yang semuanya bersinergi dengan taktis dan terstruktur. Ditambah kejeniusan peran Busquets dan Andres Iniesta serta Ivan Rakitic di posisi gelandang.

Tambahkan pula kehebatan juego de posicion ala Barcelona yang menjadi bahan-bahan analisis Qo’id Naufal dan Ryan Tank. Lepas dari hingar bingar analisis kerangka taktik. Lepas dari deret angka-angka atau persentase dalam statistik yang fana itu. Lepas dari semua itu, dengan pikiran yang waras dan sadar, harus bagaimana kita memanusiakan kembali Lionel Messi?

***

Saya tidak pernah menyukai wejangan dari para guru-guru agama sejak sekolah dasar hingga saat ini. Mereka menanamkan doktrin yang dogmatis tentang takdir yang sudah menjadi kehendak Tuhan. Manusia berusaha, tapi Tuhan yang menentukan. Dan Tuhan selalu tahu yang terbaik bagi manusia. Atau kata-katak klise semisal, “Kalau Tuhan sudah berkehendak, manusia bisa apa?” Pertanyaan sederhananya, kalau kemudian semua sudah diatur oleh Tuhan, kenapa hidup manusia masih harus memerlukan tujuan di dunia ini?

Tapi logika dan nalar tentang takdir seketika bungkam ketika serangan cepat Barcelona dituntaskan Lionel Messi dengan cerdik dan dingin, walau harus berhadapan dengan musuh menyebalkannya di depan gawang Arsenal saat itu.

Dengan sadar harus diakui, gol pertama Lionel Messi kemarin sudah membunyikan lonceng akhir yang menyakitkan buat Arsenal. Para kumpulan manusia biasa dari Kota London itu sudah berusaha semampu mereka. Menekan sepanjang laga, mengambil inisiatif serangan, hingga mencoba mendominasi laga. Tapi sekali lagi, Tuhan selalu tahu yang terbaik untuk manusia, bukan?

Sialan.

 

NB : (Mungkin) bagi Messi, takdir terbaik untuk Arsenal adalah juara Liga Inggris. Hahahahahaha.

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.