Ballon d’Orok

Telepon dengan nomor berawalan angka 62 itu kembali memicu ringtone ponselku; ini sudah yang kedua kalinya minggu ini. Keberhasilanku membawa Figueirense, sebuah klub semenjana, menjuarai Copinha1 mengalahkan Santos di final musim lalu, mengerek reputasiku sebagai pelatih tim junior ke seluruh penjuru angin. Kupikir aku hanya akan terkenal di seantero Brazil, tapi ternyata dugaanku salah. Kabarku melintasi Pasifik dan Atlantik. Sejak itu nomor-nomor asing kerap memanggil. Nomor ini yang paling gigih mendekatiku. Karena aku tidak bisa mengingat nama lengkapnya, di phonebook aku memberinya nama Agustus.

Enggan kuangkat telepon itu dan segera suaranya menggantikan ringtone-ku yang bersemangat:

Hello Coach Tava, how are you? Saya baru landing di Sao Paolo. Bisakah kita bertemu di suatu tempat di Florianópolis, besok malam?”

Gila! Setelah waktu itu dia menawariku gaji tiga kali lipat, sekarang tiba-tiba sudah terbang 15.000 km dan akan melanjutkan 700 km lagi dari Sao Paolo ke di Florianópolis tanpa memberitahuku sebelumnya?

Hello Mr. Agus, what a surprise! Kebetulan besok malam saya ada waktu setelah training sore, bagaimana kalau kita ketemu di Café das Artes?”

—–

Kafe ini hanya berjarak 10 menit dari Estádio Orlando Scarpelli, kandang kami. Setelah capek berlatih seharian, kami sering menghabiskan sore di sini melahap torta contreau-nya yang fantastis sambil memandangi hamparan biru Baia Norte, berharap angin teluk ini akan masuk ke pori-pori dan menggantikan keringat kami. Kali ini saya hanya ditemani seorang tamu Asia berwajah mestizo 2. Orang ini begitu bersemangat. Matanya tidak bisa memandang satu objek lebih dari tiga detik. Tangannya pun tidak mau kalah. Guarana dingin yang baru saja diletakkan pelayan hampir saja tersambar laptop yang dia keluarkan dari tas.

“Kami tahu Anda menolak tawaran karena parahnya sepak bola kami. 12 tahun tanpa gelar juara dan hanya bertengger di peringkat 141 FIFA.”

Dia menghela napas. Perlahan membuka laptop dengan tatapan mata seperti bajak laut yang akan membuka peti harta karun. Tepat pada detik keempat dia memandangku.

“Satu-satunya cara untuk meyakinkan Anda adalah dengan video-video ini. Setelah melihat potensi anak-anak ini, fasilitas dan youth development program kami, maka apa pun keputusannya, saya akan berhenti menelepon Anda.”

Menit-menit berikutnya adalah periode tersunyi dalam hidupku. Suara ombak,  obrolan meja sebelah, denting sendok, melodi ‘Cara Valente’-nya Maria Rita, seolah dalam mute mode.

Aku menghela napas dan menyandarkan tubuhku ke kursi. Seolah mengerti apa yang kurasakan, bajak laut itu, dengan suara bersemangatnya mengganggu imajinasiku akan sebuah headline di masa depan: “Negeri Antah Berantah Juara Asia”.

“Yang Anda lihat itu baru sebagian kecil. You know Coach, negara kami punya bakat pemain bola lebih banyak dari negara Anda?”

Como é possível! Bagaimana mungkin?” sanggahku sinis.

Orang Brazil menganggap bola lebih penting dari hidup juga mati. Itulah kenapa tiga jam sebelum Selecao3 bertanding di World Cup, seluruh kegiatan akan terhenti. Bursa saham dan bank pun akan tutup. Jadi, ketika ada orang Asia berwajah mestizo menggugat dan meremehkan ‘o País do Futebol’, the country of football, cuaca wajahku langsung berubah.

BACA JUGA:  Merah di Hijau

“Penduduk kami 50 juta orang lebih banyak dibanding Brazil!” jawabnya. Kali ini perlahan-lahan dan penuh intonasi keyakinan.

Aku menelan ludah.

——–

Ini sebuah lembah yang kabut di puncak pinus dan angin basahnya mengingatkanku pada Paraíba Vale. Rumah mimpi masa kecilku yang melaju bersama bola-bola yang kutendang membelah kabut di atas rumputnya. Mimpi yang dalam usia muda hangus terbakar x-ray yang menunjukkan tempurung lututku yang pecah. Mimpi seorang atlet memang sering kali serapuh otot dan tulang rawan manusia.

Mobil yang membawaku dari bandara berhenti tepat di depan dua bangunan kembar yang mengingatkanku pada sekolahku dulu. Eklektik tapi modern. Dua gedung ini seolah sepasang gerbang yang memeluk deretan lapangan bola yang memanjang ke arah bukit. Pandanganku terpaku pada laju sebuah mobil tembaga yang membelah sisi lapangan. Mobil yang baru sekali kulihat seumur hidupku itu lalu berhenti dengan anggun 10 meter di depanku.

Seseorang berperawakan sedang, dengan kulit putih dan senyum yang mengembang keluar dari mobil itu dan merentangkan tangan menyambutku. Ada aura kewibawaan, kecerdasan, sekaligus ketergesa-gesaan dalam caranya melangkah. Agus berjalan di belakangnya. Seorang wanita muda bertubuh supermodel tergopoh-gopoh mengikuti keduanya. High heels-nya terjerat di tanah berbatu.

Coach, perkenalkan ini Pak Dermawan Wibisana, pemilik akademi sepak bola ini.”

“Selamat datang Coach Tava, terima kasih sudah bersedia bergabung dengan kami.”

You’re welcome, Mr. Dermawan. Saya takjub dengan bakat anak-anak dan suasana di sini.”

Tangannya kemudian melepaskan tanganku lalu memindahkannya ke pundakku, mengajakku berjalan mendekati sisi lapangan menjauhi kerumunan.

Mr. Tava, di sini berkumpul bakat-bakat pilihan yang susah payah kami satukan. 20 tahun saya merancang project ini.  Sebelum saya mati, saya ingin melihat anak-anak ini melawan Brazil di World Cup 2022,” senyumnya kembali mengembang. Ada harapan di senyum itu. Kali ini, harapan itu melaju keras menekan dadaku.

——–

Awal pertemuan kami terjadi sebulan sebelum putaran final Piala Asia U-16. Sebuah insiden menghentikan latihan rutin kami. Andre Maulana, sang striker andalan mengalami benturan. Insiden yang sebenarnya biasa terjadi dalam latihan. Yang tidak biasa adalah suara lolongan histeris kesakitan Andre sambil memegangi pundaknya. Aku bersama dua orang staf segera membawanya ke rumah sakit ibu kota. Seorang perempuan cantik menyambut kami di lobi.

“Bagaimana kondisi Andre? Maaf Coach Tava, saya Bella, mamanya Andre.”

Oh, ternyata perempuan anggun di akhir 30-an ini seorang ibu yang khawatir. Tapi kekhawatiran itu tak mampu menutupi pesona matanya. Sorot mata yang tenang sekaligus tajam meminta dikendalikan.

“Sepertinya ada fraktur dan dislokasi di klavikulanya. Mmmm… tulang bahunya bergeser.”

Mata itu tergenang bercahaya dan dengan tiba-tiba membasahi pundakku.

“Maaf Coach, saya… saya… Andre adalah bintang satu-satunya di hidup saya.”

Semenjak itu, jantungku bertalu setiap kali ada di dekatnya. Memonitor proses terapi Andre adalah prioritas kedua setelah mengobrol dengan ibunya. Setiap jengkal pertemuan kami yang terlewat membuatku semakin yakin kalau bukan jantungku saja yang bertalu. Obrolan tentang cedera Andre perlahan berubah menjadi perbincangan tentang kegilaannya pada sushi, ketakutannya pada menopause, curhatnya tentang kesepian, kebenciannya pada lelaki yang tidak menepati janji, teleponnya sepanjang malam, pengakuannya akan kerinduan, obrolan yang lebih sering terganggu oleh ciuman, sampai rengekannya yang menghalangi langkahku pulang.

BACA JUGA:  Drama Olahraga sebagai Sarana Belajar Psikologi untuk Sepakbola

——

Masih jam 3 pagi, dan aku baru saja mencuri kunci ruang arsip dari penjaga yang terlelap. Rasa lelah akibat menyetir 60 km dari apartemen Bella ke akademi, setelah 2 kali bercinta dan beberapa teguk tequila malam ini, sedang berkelahi dengan rasa penasaran yang merajai otakku. Foto yang kulihat di sudut diari yang terbuka di meja rias Bella menjadi penyebabnya. Lampu temaram tak mampu menghalangiku mengenali laki-laki yang sedang memeluk Bella di foto itu. Seluruh dunia mengenalnya. Segera kutinggalkan Bella yang terlelap dengan sebaris pesan di Blackberry-nya.

Aku mulai mencari, dan setelah beberapa kali membuka laci yang terkunci, aku menemukan sebuah bundel dokumen yang berbeda dengan dokumen lain. Label Ballon d Or Project tertulis di kovernya. Bukan kebetulan kalau lembar pertama berisi data Andre Maulana, ini pasti karena berdasarkan urutan abjad. Tapi yang  sedetik kemudian membuat darahku berhenti melaju adalah nama lengkapnya. Andre Maulana de Lima! Foto dengan senyum plus giginya yang lucu kemudian menjadi masuk akal bagiku. Biodata Bella ada di balik lembar itu. Fotomodel bintang sabun internasional, dan lagi-lagi beberapa fotonya dengan laki-laki itu.

Setelahnya semua terjadi begitu cepat. Sekilas aku masih bisa mengingat beberapa nama lain, profesi ibunya, kelebatan puluhan lembar yang kubalik, foto wanita-wanita cantik bersama pemain-pemain terbaik dunia era 90-an, 3 besar Ballon d’Or , yang tersusun rapi seperti portfolio di model agency.

Lanang Priambada Maldini,  Anastasya Aluna – Supermodel, Satya Abhiwara Seaman, Ayuning Pramita – Penyanyi, Mario Satria Sammer, Chantal Alexandra – Pramugari, Ariefian Zahid Zidane, Daisy  Fortunella – Finalis Miss World,  David Surya Litmanen, Laura Angelia – News Anchor… Figo… Dewi… Moviestar… Shearer… Karina… Salsa Dancer… Weah… Donna….

Aahhh… kadang Tuhan memang sutradara komedi paling jempolan. Dua puluh lima tahun yang lalu Dia memupus mimpiku menjadi pemain terbaik dunia dengan cara paling dramatis. Cedera di injury time pekan terakhir kompetisi profesional pertamaku.

Kini setelah aku berdamai dengan karier pelatihku, Dia mengirimku memoles bakat kelas dunia anak-anak ini. Bakat yang membiusku meninggalkan negeriku. Bakat yang malam ini kutemukan hulunya. Apakah ini cara-Nya berbuat adil kepadaku?

Dua puluh lima tahun yang lalu, cedera itu membuatku mual setiap melihat rumput. Dini hari ini, aku berlari dan menjatuhkan diri di rumput, menghirup aromanya yang bercampur bau tanah yang basah oleh embun. Menengadah sambil berharap ujung bintang menunjukkan arah yang harus kupilih.

Hal terakhir yang kuingat adalah aku tertawa kemudian menangis, selanjutnya menangis campur tertawa. Di sela-selanya melintas bayangan senyum Pak Dermawan yang mengembang. Sebelum sempat membaca arti senyum itu, kesadaranku meninggalkan lelah kepalaku.

Gelap.

——-

  1. Sebutan lain dari Copa São Paulo de Futebol Júnior, salah satu kompetisi junior bergengsi di bawah usia 18 tahun di Brazil.
  2. Istilah bahasa Portugis untuk orang Brazil hasil perkawinan campuran.
  3. Julukan Timnas Brazil
Komentar