Bayern Munchen dan Kisah Tentang Raksasa

Gagalnya Barcelona untuk melangkah lebih jauh ke fase 16 besar Liga Champions musim 2021/2022 tentu membuat banyak orang terkejut. Suratan takdir Barcelona ditentukan setelah takluk dari Bayern Munchen (9/12) dengan skor 0-3.

Dari kekalahan Barcelona itu, kita bisa belajar bahwa dunia ini benar-benar berputar.

Dahulu, Barcelona begitu digdaya dan sulit sekali ditaklukkan. Namun kini, mereka berganti jubah layaknya petinju ayam sayur yang tumbang dalam sekali pukul.

Harus diakui, Barcelona memang tengah terseok-seok. Namun siapa yang menduga nasib mereka bakal setragis itu di Liga Champions.

Dinamika di kancah sepakbola memang begitu cepat. Mungkin, cuma Indonesia yang tak mengalami dinamika tersebut karena terus berada di bawah alias miskin prestasi.

Bicara tentang dominasi dan prestasi, Barcelona memang berjaya pada akhir era 2000-an sampai pertengahan 2010-an.

Presensi Lionel Messi sampai Carles Puyol di lapangan plus Pep Guardiola di bangku pelatih bikin klub yang berkandang di Stadion Camp Nou ini perkasa. Tak heran kalau banyak orang yang akhirnya menjadi penggemar Blaugrana.

Akan tetapi, putaran nasib membawa mereka ke titik saat ini. Titik di mana Barcelona kepayahan dan seperti tak memiliki kekuatan untuk bersaing.

Ada banyak adagium yang mengatakan bahwa kejayaan akan berubah dan terus berganti. Ada masanya suatu pihak menjadi pemenang. Barcelona, tentu merasakannya beberapa tahun ke belakang.

Akan tetapi, hal berbeda dirasakan oleh Bayern. Jika ada entitas sepakbola yang konsisten menjaga kedigdayaannya selama tiga dekade terakhir, nama Die Bayern layak diapungkan.

Konon, kurang kompetitifnya Bundesliga dinilai menjadi salah satu faktor keperkasaan Bayern.

Padahal, jika kita lihat lebih cermat lagi, Borussia Dortmund, RB Leipzig, Wolfsburg, dan Bayer Leverkusen, tidak dapat diremehkan begitu saja karena sering memberikan perlawanan.

Menurut saya sendiri, anggapan tentang tidak kompetitifnya Bundesliga juga kurang tepat.

Memang Bundesliga tidak menawarkan jajaran pemain ternama untuk berkompetisi di sana.

Megabintang semisal Cristiano Ronaldo dan Messi tidak pernah membela salah satu klub di Negeri Panser.

Kylian Mbappe juga tidak pernah dirumorkan untuk hijrah ke salah satu klub Jerman. Sebaliknya, komoditi panas macam Erling Braut Haaland yang kini berbaju Dortmund malah kerap dikaitkan dengan klub-klub top di luar Jerman.

BACA JUGA:  Membedah Persoalan Jadwal Pertandingan Liga 1 2017

Bisa jadi, hal itu menjadi salah satu faktor yang membuat Bundesliga kalah pamor dari liga-liga papan atas Eropa.

Akibatnya, atensi terhadap Bundesliga pun sekadarnya. Apalagi kalau melihat dominasi Bayern yang luar biasa. Wajar kalau publik merasa, “ah, paling nanti Bayern lagi, Bayern lagi juaranya”.

Padahal jika melihat bagaimana banyak klub-klub mapan Eropa mempekerjakan pelatih asal Jerman, sebutan bahwa Bundesliga tidak kompetitif betul-betul mudah disanggah.

Siapa pelatih yang membawa Chelsea dan Liverpool memenangkan Liga Champions? Dari mana asal mereka?

Siapa lelaki yang ditunjuk Manchester United untuk membereskan segala kekacauan di tubuh mereka supaya kembali kompetitif? Dari mana asalnya?

Melihat di mana mereka ditempa dan menghasilkan ide-ide brilian di lapangan hijau, Bundesliga sudah pasti kompetisi yang kompetitif.

Satu-satunya alasan menyebut kompetisi tersebut tidak kompetitif adalah seringnya Bayern keluar sebagai juara. Namun apakah hal itu salah mereka? Tentu tidak.

Bayern memang dibentuk sebagai mesin tarung yang mampu memenangkan peperangan. Mereka tak pernah didesain untuk sekadar berlari menyelamatkan diri dari jerat degradasi.

Dalam DNA Bayern, mereka dituntut buat selalu menang dan juara. Wajar kalau akhirnya kekuatan yang mereka bangun selalu eksepsional.

Hal itulah yang bikin klub-klub pesaing keteteran. Lantas, apakah Bayern harus melemahkan diri supaya Bundesliga tampak kompetitif? Jelas tidak.

Sebaliknya, para rival kudu memperkuat dirinya supaya mampu mengejar Die Bayern yang berlari kencang di depan. Mboh piye carane.

Tata kelola klub yang berdiri tahun 1900 ini sangat layak dijadikan contoh oleh banyak kesebelasan profesional lain.

Mereka membangun segalanya dengan cermat serta presisi. Baik dari sisi manajerial, teknis, maupun taktis.

Berkat kehebatan itu pula, Bayern melesat sebagai tulang punggung Tim Nasional Jerman dalam beberapa dekade. Ya, banyak sekali penggawa Die Bayern yang didapuk sebagai pilar Die Mannschaft.

Walau kemudian lahir bermacam sindiran bahwa Bayern rajin mempreteli rival dengan membeli pemainnya, tapi siapa yang peduli?

BACA JUGA:  Para Mursyid di Lapangan Hijau

Sekali lagi, level Bayern berbeda dengan klub-klub Jerman lainnya. Kalau pada akhirnya para pemain mau bergabung ke kota Munchen, maka alasannya jelas.

Andai para rival ogah pemainnya dipreteli, ya, sederhana saja. Naikkan kualitas dan level guna bersaing dengan sang raja di Negeri Panser.

Kekalahan dari Borussia Monchengladbach akhir pekan kemarin (8/1), tentu menyesakkan. Namun yakinlah, hasil minor tersebut justru melecut Bayern untuk tampil lebih superior ke depannya.

Klub yang bermarkas di Stadion Allianz Arena ini sangatlah percaya akan dirinya sendiri. Saya rasa itu adalah faktor penting kesuksesan selain kerja keras yang dilakukan mereka.

Mia San Mia yang berarti Kita Adalah Kita dan menjadi slogan klub bukanlah ucapan semu.

Bayern jika digambarkan dengan frasa yang paling sesuai adalah visualisasi dari walk the talk.

Thomas Muller, penyerang andalan tim pernah menyampaikan bahwa Mia San Mia adalah keinginan penuh untuk sukses.

Mia San Mia hanya terlihat dari mereka yang bermental pemenang, penuh percaya diri tetapi jauh dari sifat angkuh. Prinsip itulah yang membuat Bayern sangat konsisten sebagai klub, di ajang apapun.

Bayern memang bukan kesebelasan yang sempurna. Meski digdaya di Bundesliga atau Piala Jerman, mereka tak setiap tahun menjuarai Liga Champions. Namun presensi mereka pada ajang tersebut selalu menembus babak-babak krusial.

Bayern didirikan bukan untuk bersenda gurau. Mereka ada karena hasrat besar meraih kesuksesan.

Jika Barcelona merasakan pahitnya kejatuhan, Bayern rasanya jauh sekali dari hal semacam itu. Tatkala mereka ada dalam keadaan sulit sekalipun.

Bayern adalah sejatinya raksasa yang tangguh dan sukar dikalahkan. Semua klub bisa dijadikan unggulan, tetapi yang piawai menjawab status itu dengan paripurna, mungkin hanya Die Bayern.

31 gelar Bundesliga, 20 Piala Jerman, 9 trofi DFL Supercup, 6 titel Liga Champions, 1 Piala UEFA/Liga Europa, 1 Piala Winners, 2 Piala Super Eropa, 2 Piala Interkontinental, dan 2 Piala Dunia Antarklub adalah bukti keperkasaan mereka.

Gelar-gelar itu sendiri, pasti akan terus bertambah di masa yang akan datang.

Komentar