Final Piala AFF 2020 kembali berujung duka buat Indonesia. Bermain di sepasang laga puncak, tim asuhan Shin Tae-yong tumbang dari Thailand dengan agregat 6-2.
Mimpi merengkuh Piala AFF perdana sepanjang sejarah musnah begitu saja. Padahal, enam kali Indonesia menembus final.
Sebaliknya, dan kian menyesakkan, Thailand sukses merebut gelar keenamnya dari kejuaraan sepakbola antarnegara Asia Tenggara ini.
Tidak mengakui ketangguhan Negeri Gajah Putih adalah kemunafikan. Dalam dua leg final, kita betul-betul tak berkutik saat mereka ada dalam bentuk terbaik.
Para penggawa Indonesia dan Shin Tae-yong jelas kecewa dengan kegagalan ini. Hasrat memutus catatan buruk di Piala AFF tak terpenuhi.
Akan tetapi, kegagalan ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk Indonesia sehingga tampil lebih kuat lagi di masa depan.
Lebih jauh, jangan jadikan kegagalan di Piala AFF 2020 sebagai alasan untuk mendepak Shin Tae-yong seketika.
Sudah bukan rahasia lagi kalau pengurus federasi sepakbola Indonesia (PSSI) acap mengkambinghitamkan pelatih ketika Tim Nasional nirprestasi.
Seolah-olah, biang keladi jebloknya performa Timnas murni karena strategi pelatih. Padahal, semuanya terkait dengan kemampuan serta kemauan federasi mengelola sepakbolanya.
Pembinaan yang terstruktur, dukungan sarana dan prasarana yang memadai, hingga kompetisi yang berkualitas dan berjalan kontinyu dapat menyokong perkembangan serta penguatan Timnas.
Aspek-aspek tersebut sering alpa digarap oleh PSSI, sungguh menyedihkan. Alasannya apa? Hanya PSSI yang tahu.
Mengutip artikel yang ditulis Mas Ilhamzada, seorang Bambang Pamungkas yang lama menjadi andalan di Timnas sampai heran mengapa dalam rentang 11 tahun ia membela panji merah-putih, posisi pelatih berganti sampai 13 kali.
Artinya, tidak ada kontinuitas yang ingin dicapai PSSI. Para pengurus lebih berorientasi kepada gelar juara.
Pelatih A diangkat demi memuluskan ambisi menjadi juara di ajang X. Ketika gagal, pelatih A bakal digantikan pelatih B menyongsong gelaran Y yang segera dihadapi.
Mengerikannya, PSSI gemar memberi target juara kepada pelatih ketika dukungan dari mereka jauh dari kata proporsional. Siklus itu sendiri berjalan puluhan tahun dan terus berulang.
Motivasi mereka melihat Timnas juara pun abu-abu. Entah itu demi negeri tercinta atau sekadar nama baik diri sendiri.
Ini mirip dengan kebijakan khas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ganti menteri, ganti juga kurikulum pendidikannya. Tak ada kontinuitas.
Bersama Shin Tae-yong saat ini, ada banyak perubahan positif yang dihadirkan. Pria Korea Selatan itu memperlihatkan bahwa di balik banyaknya kelemahan pemain kita (ini juga menyangkut kompetisi dan pola latihan), terselip juga berbagai kelebihan yang dapat dimaksimalkan.
Saya pun yakin, ekspektasi publik kepada Timnas yang berlaga di Piala AFF 2020 tidak kelewat tinggi. Asa itu baru mengangkasa tatkala Ricky Kambuaya dan kolega masuk ke babak final.
Sebuah hal yang wajar tentunya karena final adalah laga penentuan untuk menjadi juara. Toh, euforia yang lahir diikuti dengan perasaan realistis fans.
Tak ada yang secara gila-gilaan menjagokan Indonesia bisa meraih titel. Mereka sadar kalau Thailand yang menjadi lawan di final bukan kesebelasan kemarin sore.
Persiapan mereka matang dan kekuatan mereka luar biasa. Pesatnya kemajuan sepakbola Negeri Gajah Putih juga didorong iklim sepakbola yang cukup sehat dan kompetitif. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Indonesia.
Saat Indonesia menyelesaikan dua pertandingan final Piala AFF 2020 dan kalah agregat 2-6 dari Thailand, publik bisa menerima keadaan tersebut.
Bahkan, mereka masih punya keyakinan jika di masa yang akan datang Indonesia dapat tampil lebih baik dan merengkuh titel bergengsi. Asalkan, Shin Tae-yong dipertahankan.
Ada banyak agenda yang menunggu Timnas setelah ini. Mulai dari kualifikasi Piala Asia 2023 yang dimulai pada Februari 2022, South East Asian (SEA) Games 2021 (baru dapat dihelat pada 2022) di Vietnam pada Mei mendatang, lalu Asian Games 2022 di Cina pada September, sampai Piala AFF 2022 di bulan Desember.
Berdasarkan data Transfermarkt, Shin Tae-yong masih terikat kontrak sampai Desember 2023.
Memercayakan skuad Garuda kepada lelaki berusia 51 tahun ini adalah hal mutlak. Biarkan ia bekerja dengan sebaik-baiknya dan beri dukungan semaksimal mungkin.
Di sisi lain, PSSI juga kudu berbenah dan lebih serius dalam bekerja. Segala pekerjaan rumah yang mereka miliki terkait pembinaan sampai kompetisi, mesti dibereskan.
Jangan cuma piawai menuntut atau menyalahkan pihak lain terkait hal-hal yang berkaitan dengan sepakbola Indonesia sementara pekerjaan sendiri tak pernah beres.
Sudah waktunya PSSI bercermin, melihat secara sungguh-sungguh bahwa bobroknya sepakbola nasional merupakan hasil tata kelola dengan gaya suka-suka yang mereka lakukan selama ini.