Giuseppe Marotta tak mau berlama-lama larut dalam kesedihan. Di hari kepergian Antonio Conte, sang Chief Executive Officer (CEO) Internazionale Milano diam-diam bernegosiasi dengan Simone Inzaghi yang saat itu masih menjadi pelatih Lazio.
Tujuh hari berselang, pihak klub secara resmi mengumumkan adik dari Filippo Inzaghi tersebut sebagai suksesor Conte.
Keputusan yang terkesan serba cepat memang diperlukan manajemen La Beneamata mengingat posisi juru latih merupakan sektor yang esensial.
Namun bukan sekadar cepat, Don Beppe, sapaan akrab Marotta juga memastikan segalanya tepat. Inzaghi adalah pilihan terbaik yang tersedia.
Pembatasan investasi luar negeri oleh pemerintah Cina dan juga krisis ekonomi akibat pandemi telah memaksa pemilik klub, Suning Holding Group mengatur ulang proyeknya di Inter.
Manajemen diminta berhemat namun tetap wajib membikin tim yang kompetitif. Apalagi mereka berstatus sebagai juara bertahan Serie A.
Marotta menjawab tantangan tersebut dengan menghadirkan Inzaghi sebagai pemimpin proyek yang baru.
Sekali lagi, proyek yang lebih ekonomis ketimbang sebelumnya. Suatu hal yang selama ini tidak disukai Conte.
Inzaghi dipilih karena bergaji jauh lebih murah. Ia pun rela kehilangan pemain bintang sekaliber Achraf Hakimi dan Romelu Lukaku demi mendukung stabilitas keuangan klub.
Di luar aspek ekonomis, Marotta juga punya alasan kuat untuk buru-buru mengangkutnya ke kota Milano. Apalagi kalau bukan kemiripan ide sepakbolanya dengan Conte.
Seperti halnya Conte, Inzaghi memang seorang penganut pakem tiga bek. Dengan sistem tersebut, Lazio besutannya selalu tampil menyerang dan atraktif.
ia mampu membuat I Biancoceleste kompetitif meski kerap kehabisan bensin di akhir musim karena kurangnya kedalaman skuad.
Di Inter, ia punya kemewahan tersebut. Selain kepergian Lukaku dan Hakimi serta hilangnya Christian Eriksen dari jajaran tim karena masalah jantung, materi pemain Inter sebetulnya tak banyak mengalami perubahan. Inzaghi mewarisi skuad juara warisan Conte.
Pada permulaan musim ini, Inter versinya sekilas tak jauh berbeda dengan kepunyaan Conte. Inzaghi mengusung formasi yang identik dengan mantan pelatih Tim Nasional Italia tersebut yaitu 3-5-2.
Deretan langganan starter Don Antonio pun masih menjadi andalan Inzaghi semisal trio bek tengah, Milan Skriniar, Stefan de Vrij, dan Alessandro Bastoni.
Juga nama-nama seperti Nicolo Barella, Marcelo Brozovic, Ivan Perisic, serta Lautaro Martinez yang mengisi sektor tengah dan depan.
La Beneamata juga masih memainkan bola di area pertahanannya sendiri, terutama ketika berada dalam situasi tendangan gawang.
Tujuannya untuk memancing naik sejumlah pemain lawan demi menciptakan ruang-ruang kosong di daerah pertahanan musuh. Set play yang relatif sama dengan Inter pada dua musim terakhir.
Namun setelah separuh musim dilewati, Inzaghi perlahan mulai memperlihatkan perbedaan mencolok antara ideologi sepakbolanya dengan Conte.
Pada musim lalu, Conte memimpin kampanye perebutan Scudetto Inter dengan mengusung pendekatan low possession football.
Rataan penguasaan bola Inter hanya mencapai 52% atau cuma berada di urutan kesembilan di akhir Serie A musim 2020/2021.
Uniknya, ketika bermain di kandang sendiri, entah bagaimana statistik penguasaan bola mereka malah jauh lebih sedikit, atau berada di bawah 50%.
Namun, Inter besutan Conte justru tercatat lebih sering menang ketika sedikit memegang bola.
Sementara itu, di tangan Inzaghi, Inter menggunakan perspektif yang berbeda. Skriniar dan kawan-kawan musim ini begitu dominan dalam penguasaan bola.
Juara Italia 19 kali tersebut juga menguasai bola di area lawan lebih lama dibandingkan era Conte.
Setengah musim berjalan, rataan ball possession Inter tercatat telah mencapai 56% atau lebih tinggi dari torehan Inter-nya Conte di keseluruhan kompetisi musim lalu.
Dalam aspek menyerang, isi kepala Inzaghi dan Conte ternyata juga saling bertolak belakang.
Conte memilih mengombinasikan gaya calcio verticale alias direct football dengan tiki-taka selama menangani La Beneamata. Umpan cepat satu-dua sentuhan yang progresif dan bola-bola daerah jadi andalannya.
Pada musim lalu, Conte memang memiliki pemain beratribut kuat nan cepat seperti Lukaku dan Hakimi yang mendukung gaya sepakbolanya yang cenderung pragmatis.
Sedangkan Inzaghi lebih senang timnya mengisi seluruh koridor serangan mulai dari area tepi, ruang apit, serta area tengah dengan mengurung pertahanan lawan secara perlahan.
Inter kini memang tak secepat musim lalu. Edin Dzeko contohnya, ia jelas tak sekencang Lukaku. Namun striker yang satu ini cakap menahan bola lebih lama. Karakteristik yang sesuai dengan ide sepakbola Inzaghi.
Dari segi pertahanan, Conte gemar menggunakan pendekatan blok rendah. Hal ini juga menjawab mengapa angka penguasaan bola Inter versinya tak pernah begitu tinggi.
Conte sengaja membiarkan lawan lebih banyak memegang bola untuk kemudian memukul balik dengan contropiede yang terencana dan cepat.
Sebaliknya Inzaghi lebih suka memakai pendekatan high pressing. Ketimbang menunggu lawan datang ke area berbahaya, Inter musim ini lebih memilih untuk sesegera mungkin merebut bola dengan membuat garis pertahanan yang tinggi.
Perbedaan lain yang dapat ditemui di antara kedua allenatore berkebangsaan Italia ini adalah cara mereka merespons kebuntuan.
Conte telah lama dikenal sebagai pelatih yang tak punya rencana cadangan. Ia dianggap tak punya alternatif strategi ketika berada dalam situasi mandek.
Juru taktik yang kini membesut Tottenham Hotspur ini juga sering kali terlambat dalam melakukan pergantian pemain.
Sedang Inzaghi sejauh ini terlihat lebih responsif dalam mengubah situasi. Legenda Lazio ini tidak ragu melakukan pergantian pemain sejak dini.
Tak jarang strategi pergantian pemainnya sukses mengubah jalannya permainan seraya mendatangkan hasil positif buat Inter.
Laga tandang melawan Hellas Verona di pekan kedu Serie A musim ini contohnya. Keputusannya memasukan Joaquin Correa untuk menggantikan Dzeko dalam situasi imbang 1-1 sukses mengubah situasi.
Correa tampil cemerlang dengan mencetak brace sekaligus memastikan kemenangan Inter.
Juga laga pekan ketujuh menghadapi Sassuolo. Inter yang tertinggal 0-1 dari tuan rumah kali ini memainkan Dzeko pada menit untuk menggantikan Correa di awal babak kedua.
Dalam tempo singkat, Dzeko mampu mencetak gol penyeimbang. Pada akhir laga, Inter menang 2-1 lewat tambahan gol dari Lautaro.
Kita juga dapat menemukan perbedaan yang cukup kontras, bila membandingkan Conte dan Inzaghi dari sisi personal.
Meski sama-sama dianggap berkarisma dan dihormati anak buahnya, sejatinya mereka adalah figur yang berbeda.
Pernyataan Skriniar bisa dijadikan acuan. Kepada Corriere della Sera, bek internasional Slovakia ini mengatakan bahwa Conte adalah seorang sosok yang keras dan mampu menanamkan mentalitas juara.
Sedangkan Inzaghi lebih seperti rekan setim yang pengertian dan bisa diajak bicara, bercanda, serta tertawa bersama-sama.
“Bersama Conte para pemain juga bisa bercanda, tapi lebih banyak terjadi ketika kami telah memastikan Scudetto”, ujar Skriniar setengah bercanda.
Perdebatan tentang biru-hitam versi siapa yang lebih baik tentu masih sulit terjawab. Conte jelas-jelas telah memberikan Scudetto yang sudah dirindukan.
Tak hanya itu, Don Antonio juga telah mewariskan banyak hal. Mulai dari identitas permainan, hingga menularkan mentalitas pemenang yang lama hilang dari tubuh La Beneamata.
Di sisi lain, Don Simone telah mencatatkan rekor yang impresif selama setengah musim pertamanya bersama Inter.
Inter dibawanya menduduki puncak klasemen hingga paruh pertama selesai. Skriniar dan kolega untuk sementara unggul empat angka atas rival sekota, AC Milan.
Inter sejauh ini juga mencetak 10 gol lebih banyak dan kemasukan 7 gol lebih sedikit dibandingkan catatan mereka pada periode yang sama musim lalu.
Sebagai perbandingan, Inter racikan Conte hanya berada di posisi kedua di bawah Milan pada papan klasemen jeda musim dingin yg lalu.
Lebih lanjut, Inzaghi telah berhasil membawa Inter lolos ke babak 16 besar Liga Champions. Sesuatu yang gagal digapai Conte selama memimpin Inter.
Pelatih yang memulai karier kepelatihannya di akademi Lazio ini memang masih harus membuktikan diri di separuh musim yang kedua.
Namun harus diakui bersama ide-ide sepakbola dan angka-angka yang telah disajikannya sampai hari ini, ia punya peluang buat melampaui pencapaian Conte bersama La Beneamata.
Keduanya memang memiliki beberapa kesamaan seperti profesionalisme, karisma, formasi favorit, hingga kebiasaan berdiri, berteriak, mengumpat, dan merapal mantra sepanjang laga.
Namun mereka juga punya segudang perbedaan. Filsafat sepakbola Inzaghi dan Conte jelas bertolak belakang.
Satu hal yang pasti, ideologi sepakbola keduanya sama-sama telah berhasil memberi simfoni pada permainan Inter beberapa musim terakhir ini.
Hal yang tak Interisti temui di Inter selepas kepergian Jose Mourinho satu dasawarsa silam. Inter ala Inzaghi dan Inter edisi Conte memang seperti kembar tapi beda.