Sepakbola Indonesia sedang menuju jalan yang cerah. Ditunjuknya lelaki asal Korea Selatan, Shin Tae-yong, menjadi pelatih seperti cahaya di tengah gelapnya sepakbola nasional.
Berbekal rekam jejak yang mentereng, suporter tidak ragu menitip asa kepada pelatih berumur 51 tahun tersebut.
Shin Tae-yong datang dengan label pelatih Tim Nasional Korsel di Piala Dunia 2018. Salah satu momen yang diingat publik Indonesia tentang dirinya adalah keberhasilan Taeguk Warriors menumbangkan Jerman di fase grup dengan skor 2-0.
Bukan sekedar keberhasilan Negeri Ginseng dan Shin Tae-yong semata, hal itu juga menandakan bahwa sepakbola Asia bukan lagi tim penggembira di gelaran akbar sekelas Piala Dunia.
Sebuah kontrak jangka panjang langsung diberikan kepada lelaki yang populer dengan sapaan STY di media-media nasional untuk menukangi Timnas, mulai dari kelompok umur (U-19) sampai senior.
Sebuah tugas yang berat memang, tapi perlahan, dirinya mampu menata skuad Garuda menuju arah yang diharapkan jutaan penggila sepakbola tanah air.
Di tengah usaha dan kerja keras Shin Tae-yong memperbaiki timnas, muncul sebuah komentar negatif dari salah satu anggota Komite Eksekutif alias Exco PSSI, Haruna Soemitro.
Melihat dari wawancara beliau dalam podcast bersama JPNN, ada beberapa poin yang disorot dan malah menimbulkan kebencian kepada Haruna.
Haruna mengatakan bahwa proses dalam sepakbola bukanlah hal yang paling penting. Orang akan menilai itu bagus atau tidak berdasarkan dari hasil yang kita capai. Ini adalah ungkapan janggal yang paling awal.
Padahal mengharapkan hal instan pada sepakbola Indonesia dengan kompetisi yang masih semrawut adalah kemustahilan.
Bagaimana mungkin bisa membuat prestasi Timnas melesat ke angkasa kalau PSSI, termasuk Exco, tidak bertanggung jawab atas jebloknya kualitas kompetisi.
Sebelum bicara tentang ketidakmampuan Shin Tae-yong, ada baiknya Haruna bercermin bahwa dirinya punya tugas memonitor jalannya kompetisi.
Jika kompetisi dalam sepakbola nasional saja masih punya sejuta masalah, bahkan masalahnya itu-itu saja, lalu apa fungsi Exco? Bukankah seharusnya permasalahan itu sudah teratasi? Atau selama ini Haruna pura-pura tidak tahu bila kompetisi nasional ada masalah?
Haruna juga secara lantang menyebut kalau dirinya cuma menyampaikan kritik kepada Shin Tae-yong sebab Indonesia lagi-lagi menjadi runner up Piala AFF.
Bagi saya pribadi, pernyataan itu mirip seperti punchline sebuah komedi. Tak perlu ditanggapi karena mencerminkan pribadi yang mengucapkan.
Dulu di era Luis Milla, menurut Haruna, suporter begitu mengagungkan pelatih asal Spanyol itu. Mereka bereuforia. Sekarang hal sama juga muncul pada era kepelatihan STY. Padahal ada banyak orang yang berjasa dalam perkembangan sepakbola Indonesia, bukan cuma pelatih.
Sebenarnya, apa yang disebut euforia tersebut adalah harapan bagi jutaan pencinta sepakbola Indonesia. Publik merasa, Timnas kita berada di tangan yang tepat dan besar kemungkinan akan menyamai level Thailand di Asia Tenggara atau bahkan menyusul Jepang di regional Asia.
Nahas, Milla dipecat di tengah jalan setelah membangun fondasi awal bagi Timnas. Alhasil, Indonesia kudu membangun ulang Timnasnya. Dan hal itulah yang sebetulnya sedang diperbuat Shin Tae-yong.
Andai hal serupa terulang kembali, entah apa alasan penggila sepakbola nasional buat terus mengikuti perkembangan Timnas.
Bukan karena benci, tapi lelah dan muak karena progres yang terlihat dari Timnas selalu dirusak oleh PSSI sendiri, utamanya dari tingkah pengurusnya. Selalu saja begitu.
Kemudian, terdapat kritik yang sangat mengejutkan dari Haruna tentang cara bermain Timnas ala Shin Tae-yong. Ia mengatakan bahwa sang pelatih gemar bermain dengan bola-bola panjang.
Sebaliknya, gaya seperti itu tidak dipraktikkan oleh klub-klub Indonesia yang bermain dari kaki ke kaki.
Tidak perlu dijelaskan dengan rumit persoalan ini. Saya malah tergelitik. Benarkah Haruna menonton laga-laga Timnas selama ini sehingga mengatakan hal tersebut?
Saya percaya bahwa suporter pada masa sekarang sudah melek akan taktik. Menyebut Shin Tae-yong menerapkan gaya direct ball rasa-rasanya seperti bualan belaka. Pasalnya kenyataannya justru berbeda.
Belum cukup sampai di situ. Ada persoalan naturalisasi yang disorot Haruna. Ia mengatakan bahwa hal itu malah mematikan kesempatan anak bangsa untuk membela Timnas.
Padahal Indonesia tidak gencar melakukan naturalisasi. Nama-nama yang digodok PSSI untuk diajukan proses kewarganegaraan Indonesia-nya adalah pemain yang memiliki darah Indonesia.
Lucunya lagi, pada masa lalu, Haruna adalah sosok yang paling gencar melontarkan kebutuhan Indonesia akan naturalisasi. Tak percaya, ada banyak jejak digital yang memperlihatkan hal itu.
Menolak lupa, arsip ada banyak di media online kok, salah satunya di Jawapos.
Siapa nih dulu yang mau naturalisasi anak-anak muda dari Brasil?
Baca lengkapnya di sini https://t.co/ORRBmIfMXD pic.twitter.com/6kw9x7icki
— Football Fandom (@Fandom_ID) January 17, 2022
Tak perlu mencampuri terlalu dalam kinerja Shin Tae-yong dan jajarannya. Percayalah, mereka sedang mempersiapkan sepakbola kita ke arah yang diimpi-impikan selama ini.
Jangan sampai, kasus Milla kembali terjadi pada Shin Tae-yong. Selama ini, publik memang dibutakan oleh cinta kepada Timnas Indonesia.
Bukannya tidak mengetahui kebobrokan federasi, hanya saja, cinta tersebut mampu mengalahkan segalanya. Mirip dengan lirik lagu Happy Asmara, “tak coba goblok, tetep mencintai, sepenuh hati”, itulah gambaran publik selama ini dalam mendukung Timnas.
Ada baiknya, Haruna fokus dengan tugasnya sebagai Exco PSSI yakni memonitor kompetisi seraya mencari solusi atas segala permasalahan yang timbul.
Kompetisi yang paripurna tentu bisa menelurkan Timnas yang hebat. Apa yang dilakukan Haruna seolah menyalakan alarm bagi kita. Tidak perlu menjadi bodoh dalam mencintai karena sikap seperti itu akan membuat kita mudah diperdayai mereka yang berkuasa.