Sepak bola tanpa rivalistas jelas merupakan tontonan yang hambar. Menjadi maklum kemudian ketika almarhum Ayi Beutik mengatakan rivalitas Viking dengan The Jak biar tetap abadi. Hanya saja, manajemen konflik perlu dilakukan dengan serius agar rivalitas tak memakan korban nyawa. Juga tak merugikan mereka yang tak terlibat dalam pusaran konflik.
Dalam sepak bola dunia mengenal begitu banyak rivalitas. Salah satu yang menarik adalah rivalitas antardua tim yang berada satu kota, yang kemudian populer disebut sebagai derby.
Kata ini kemudian juga digunakan untuk merujuk laga super panas yang terjadi antarklub yang tak berasal dari satu kota, seperti laga bertajuk Derby d’Italia antara Juventus dengan FC Internazionale atau Derby Del Sole antara AS Roma melawan Napoli.
Laman Wikipedia menjelaskan bahwa derby bisa diartikan sebagai rivalitas yang terbangun berdasarkan daerah (kota dan region), politik, dan alasan lainnya yang masih dalam koridor olahraga.
Di Italia, ada begitu banyak pertandingan yang diberi tajuk derby. Ada yang merupakan laga antardua tim yang satu kota, bahkan satu stadion, tapi ada pula yang tidak. Setidaknya ada 14 pertandingan yang diberi tajuk sebagai laga derby, baik yang major maupun minor. Berikut ini lima laga derby yang bisa memberi gambaran mengenai rivalitas klub di Italia.
Derby della Madonninna
Laga antara AC Milan dengan FC Internazionale merupakan salah satu derby paling panas di Italia. Kedua klub asal kota Milan yang berbagi stadion, Giuseppe Meazza, menjalani laga derby pertamanya pada 18 Oktober 1908 di ajang Chiasso Cup yang berlangsung di Canton Ticino, Swiss. Laga itu dimenangi oleh Rossoneri dengan skor 2-1.
Seiring berjalannya waktu, pertemuan keduanya berjalan panas. Keduanya ingin menunjukkan sebagai klub terbaik di kota Milan. Apalagi kekuatan keduanya relatif berimbang dan sama-sama memiliki prestasi segudan.
Nama Madonnina sendiri digunakan sebagai bentuk penghormatan pada salah satu landmark bersejarah yang ada di Milano, yakni patung Bunda Maria.
Oleh generasi sekarang, laga panas pada 2005 di perempat final Liga Champions dikenang sebagai yang terpanas. Ketika itu, Nelson Dida, penjaga gawang Milan terkena lemparan flare dari fans FC Internazionale. Pertandingan pun dihentikan dan hingga kini foto-foto laga itu direproduksi untuk menunjukkan betapa panasnya rivalitas keduanya.
Derby d’Italia
Meski FC Internazionale dengan Juventus tak berada di satu kota. Satu berada di kota Milan dan yang satunya bermarkas di Turin. Tapi, laga keduanya disebut sebagai Derby d’Italia.
Rivalitas keduanya bermula pada musim 1960/1961, ketika itu I Nerazzuri sedang bertamu ke Turin dan laga ini bisa jadi penentuan siapa yang jadi juara liga. Ketika pertandingan terhenti karena ada insiden, wasit memutuskan Internazionale diberi kemenangan walk out (WO). Tapi, pada 3 Juni 1961 keputusan tersebut dianulir dan diharuskan ada pertandingan ulangan.
Angelo Moratti menuduh Umberto Agnelli yang memiliki pengaruh di federasi melakukan kecurangan yang menguntungkan Juventus. Kesal dengan keputusan tersebut, tim Primavera-lah yang dimainkan yang akhirnya dibantai Si Nyonya Tua dengan skor 9-1.
Keduanya pun terus berseteru setelahnya. Oleh Gianni Brera, seorang jurnalis Italia, mulai menyebut laga ini debgai Derby d’Italia dengan alasan kedua klub ini dianggapnya sebagai yang terbaik di Italia.
Oleh banyak orang kini, label Derby d’Italia tak pantas disematkan. Pertama, kedua klub tak lagi memiliki embel-embel “tidak pernah degradasi” karena Juventus pernah ke Serie B dan raihan gelar Serie A mereka pun kini sudah jauh mengungguli FC Internazionale.
Derby di Sicilia
Di jalanan kota Palermo, terdapat banyak sekali coretan dinding yang bertuliskan “Forza Etna”. Forza yang berartikan “Ayo” dan Etna yang merujuk ke nama gunung di daerah Catania. Hal itu merupakan sindiran atau keinginan fans Palermo untuk melihat gunung Etna meletus dan meluluhlantahkan Catania.
Rivalitas keduanya tersaji di Catania, daerah paling selatan Italia. Daerah yang merupakan paling miskin sekaligus terkorup di Italia. Rivalitas nyata keduanya tersaji ketika Catania promosi ke Serie A pada 2006. Satu ketika di tahun 2007 ketika Palermo bertamu ke Catania, terjadi kerusuhan besar di luar Stadio Angelo Massimino.
Pihak kepolisian yang kesulitan menghentikan pertikaian sampai menyebut kerusahan ini menyerupai yang terjadi di lokasi perang Lebanon. Situasi yang amat panas tentunya.
Derby del Tirreno
Ini merupakan salah satu derby minor di Italia. Tapi, bukan berarti bisa dilewatkan begitu saja. Media Forza Italia menyebutkan bahwa sejarah rivalitas kedua kota ini dimulai sejak abad ke-13 ketika terjadi battle of Meloria. Peperangan yang menyebabkan Pisa kehilangan kekuatan militer kelautan dan menguntungkan Livorno menjadi kota laut utama di bawah kekuasaan Medici.
Pada kemudian hari, Pisa dikenal sebagai salah satu kota yang unggul dalam bidang akademik dan seni. Sedangkan, Livorno diketahui jadi kota kelahiran komunis pada tahun 1921.
Oleh karenanya, hingga kini Livorno dan suporternya kenal dengan aliran kiri. Ultras Livorno bahkan memiliki hubungan erat dengan suporter lain yang sama-sama beraliran kiri, seperti Marseille dan AEK Athens.
Derby della Capitale
Laga antardua klub yang berada di ibukota Italia, Roma, ini selalu berlangsung panas. Derby ini bermula ketika Italo Foschi pada tahun 1927 berencana menyatukan kota Roma melalui sepak bola dengan membentuk AS Roma sebagai klub yang menggabungkan empat klub yang sudah ada, yaitu Roman, Alba, Fortitude, serta Lazio. Tapi, nama terakhir enggan bergabung dan memilih menjadi rival. Di sinilah awal mula permusuhan kedua klub.
Laziale –sebutan untuk kelompok suporter Lazio—selalu mengatakan bahwa Lazio adalah klub asli kota Roma. Tapi, hal itu disangkal oleh Romanisti –basis suporter AS Roma—karena beranggapan bahwa AS Roma-lah yang asli sebab berdiri hasil merger tiga klub kota Roma.
Menurut YoungSportWriter, klaim Romanisti ini diperkuat dengan dipakainya warna kota Roma ke dalam warna kebesaran AS Roma, yakni merah dan kuning emas.
Tapi, laga panas keduanya tak sekadar sejarah pendirian, melainkan juga pertarungan kelas dan politik. Lazio mewakili kelompok pemilik modal, sedangkan Roma menjadi representasi kelas pekerja.
Ultras Lazio juga dikenal sebagai simpatisan aliran sayap kanan, seperti Irricudibili dan Banda Noantri, yang memiliki hubungan erat dengan fasis dan nazi. Paolo Di Canio, pemain Lazio, pernah memberi salam ala Nazi di Olimpico ketika keduanya bertemu.
Ultras Lazio bahkan pernah membentangkan simbol swastika dan mendukung perang Serbia pada tahun 2000. Sementara Romanisti berada di tempat yang berseberangan. Mereka adalah aktivis sayap kiri.
Ada dua kejadian yang bisa menggambarkan panasnya pertemuan keduanya. Pertama, ketika pada tahun 1979 dilaporkan Vincenzo Paparelli, seorang Laziale, meninggal karena lemparan flare dari tribun dan disebut sebagai korban pertama dalam sejarah perseteruan antarsuporter di Italia.
Kedua, ketika pada 2004, laga Derby della Capitale dihentikan setelah Ultras Roma memprotes pertandingan tersebut akibat adanya Romanisti yang terbunuh oleh polisi jelang derby berlangsung.
Ada tiga orang Ultras Roma yang mendatangi oleh Francesco Totti ketika laga baru berjalan setengah babak yang kemudian membuat sang kapten mengatakan pada Fabio Capello “If we play-they will kill us.” Akhirnya, laga pun dihentikan.
Meski demikian, ada kalanya Laziale dan Romanisti satu pemikiran. Ketika walikota Roma melarang ada bendera dan flare di stadion, keduanya sepakat menolak dan akan memboikot laga Derby Della Capitale yang berlangsung pada 8 November 2015 dengan mengosongkan tribun curva nord dan curva sud.
Rivalitas klub-klub Italia ini akan terus terjaga. Tidak ada pesohor yang berusaha untuk mendamaikan.
Pihak keamanan sendiri alih-alih meminta ada perdamaian antarkedua kubu suporter yang memiliki sejarah rivalitas panjang, lebih fokus untuk memilah cara terbaik demi laga yang berlangsung aman baik sebelum pertandingan dimulai, saat kedua tim berlaga, dan setelah pertandingan usai.