Buku The Inside Wing hadir di tengah hingar-bingar buku non taktik yang berseliweran di jagat buku indie. Fandom Football Indonesia, selaku penerbit, bersama rekan-rekan seller-nya sudah membuka pre-order The Inside Wing per akhir Juni 2018 lalu. Bagi teman-teman yang belum mengetahui apa itu The Inside Wing, silakan baca pengantar singkat yang ditulis oleh Sirajudin Hasbi, pemilik fandom, di sini.
Kenapa The Inside Wing
Ada seorang kawan yang berasumsi bahwa inside wing merupakan judul yang terinspirasi dari posisi pemain. Ada juga yang mengira buku ini mengupas habis khusus satu posisi tersebut (inside wing) sampai ke akar-akarnya hahaha. Dan, bahkan, ada yang mengira The Inside Wing sebagai buku sepakbola berbahasa Inggris.
Tidak, tidak seperti itu, kawan-kawan. Judul The Inside Wing disarikan dari sesuatu yang sejatinya sederhana sangat. The Inside Wing benar-benar terinspirasi dari sayap. Iya, sayap beneran. Sayap yang Anda dan kita semua kenal. Sayap burung, sayap pesawat, dan semua yang ada sayapnya.
Manusia mempelajari anatomi sayap burung dan mengadaptasinya menjadi sebuah teknologi yang kita kenal sebagai pesawat udara yang mampu terbang tinggi ke angkasa.
Bagaimana sebuah pesawat bisa terbang sangat dipengaruhi oleh desain sayapnya yang memanipulasi daya angkat oleh aliran udara di bagian depan di sekitar sayap. Kuncinya terletak pada bentuk sayap yang melengkung di bagian atas dan relatif rata di bagian bawah. Bukan hanya itu, kehadiran aileron, elevator, dan komponen-komponen lain memungkinkan pesawat berdefleksi horisontal dan vertikal; ikut menjaga kestabilan dan kenyamanan terbang.
Sayap menjadi bagian penting pesawat dan, sekaligus, ia merupakan bagian tubuh burung yang paling eye-catching. Seiring fungsi dan berbagai cerita akannya, makna sayap burung terus berkembang dan terasosiasi sebagai komponen tubuh yang dipercaya memegang kendali dalam banyak narasi. Romantisme sayap, bahkan, melebihi fungsi alaminya sebagai alat untuk terbang selayaknya sayap pada burung.
Bung Karno menggunakan sayap untuk menggambarkan kekuatan hubungan cinta antarmanusia:
“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.”
Plato menggunakan sayap dalam ujarannya tentang kekuatan musik:
“Musik adalah hukum moral. Ini memberi jiwa ke alam semesta, sayap untuk pikiran, terbang ke imajinasi, dan pesona dan keceriaan untuk hidup dan untuk semuanya.”
Sebuah pepatah yang mengatakan, “sayap singkat, terbang hendak jauh” yang artinya adalah hendak berbuat sesuatu yang melebihi kemampuan, cukup memberikan ilustrasi betapa sayap telah menjadi simbol kemampuan. Kalau sayapmu tidak besar dan kuat, mendingan jangan berbuat yang nggak-enggak. Begitu kira-kira.
Kekuatan yang sama tentang sayap juga dapat kita temukan dalam frasa “membentangkan sayap” yang bermakna memperluas atau memperbesar jaringan, kekuasaan, atau bisnis.
Sayap adalah koentji.
Betapa sayap menjadi simbol kekuatan, kebisaan, dan kemampuan telah berhasil menempatkannya di atas singgasana terhormat. Namun, yang patut diperhatikan dan dipahami adalah sayap, betapa pun besar dan kuatnya ia, tidak lebih merupakan tampak luar dari sebuah komponen yang bekerja harmonis karena berbagai mekanisme di dalamnya.
Ada kerja yang terstruktur dan detil di dalamnya yang memungkinkan sepasang sayap mampu terbang untuk menyampaikan pesannya. Ada kekuatan dari dalam yang merupakan sebenar-benarnya kekuatan dari sebuah sayap sampai ia mampu terbang tinggi ke manapun ia berkehendak.
Inilah intisari The Inside Wing. Sebuah wujud nyata dari pemikiran yang berusaha menguliti istilah-istilah taktik. Kenapa taktik? Karena taktik sangat pantas dan logis untuk ditempatkan pada hirarki teratas guna membangun model permainan. Karena dengan eksekusi taktik yang tepat-guna sebuah tim dapat memainkan sepakbola fungsional tepat sasaran demi memenangkan pertandingan.
Tetapi, yang juga patut diperhatikan dan dipahami adalah, di dalam taktik, seperti juga cara kerja sayap, ada sangat banyak elemen yang bekerja sebagai sebuah unit yang saling berkaitan. Elemen-elemen inilah yang mengonstruksi berbagai detil menjadi taktik yang kita saksikan.
Di dalamnya ada kopel persep-aksi, affordance, waktu (timing), kebugaran (fitness), eksekusi (technique), pengambilan keputusan (decision), dan komunikasi (communication). Di dalamnya ada rencana bangunan serangan, rancangan pressing dan counterpressing, dan skema eksekusi akhir.
Di dalamnya ada kajian-kajian strategis mengenai line-up, formasi, ruang sayap, ruang tengah, dan ruang apit (half -space). Di dalamnya ada penugasan, peran, dan berbagai regulasi yang digunakan sebagai panduan aksi.
Bagi tim pelatih, memahami untuk kemudian menggunakan detil-detil tersebut guna membangun taktik dapat menjadi langkah awal dalam membangun sayap bagi timnya agar dapat terbang setinggi mungkin.
Menjadi penonton yang memberikan dukungan tanpa pamrih yang selalu mampu menjaga api semangat bagi timnya untuk bertarung sampai keringat terakhir merupakan nikmat sebagai pendukung fanatik. Menjadi penonton-taktik memiliki nikmat tersendiri.
Penonton-taktik dapat menilai sisi “rahasia” dari sebuah tim. Ia bisa membantu tim kesayangannya dengan cara memberikan kritik konstruktif yang sifatnya “lebih teknis”. Ngeh taktik dan semua tetek-bengeknya dapat membuat kita semua menjadi penonton-taktik yang (semoga) berperan dalam menerbangkan tim kecintaan kita masing-masing ke level yang kita harapkan.
The Inside Wing hadir dengan harapan agar mampu menjembatani hal tersebut.
Buku ini hadir sebagai sebuah usaha untuk berdiri di sebuah kapal yang bermuara ke sebuah harapan besar. Sebuah harapan tentang membaiknya kualitas sepak bola yang anda, saya, dan kita semua nikmati. Sebuah harapan agar sepakbola Indonesia mampu terbang tinggi menerobos langit sepakbola dunia menggunakan sayap-sayap yang solid, tangguh, dan bandel.
Terdengar mulia dan keren sekali, ya. Padahal ngga gitu-gitu amat.
Sampai sebelum The Inside Wing muncul begitu saja, memikirkan apa judul yang pas, bikin mumet. Yamadipati Seno, si koki @arsenalskitchen, sampai berkata: “Kayaknya sampeyan stress mikir judul wkwkwkwk.”
Dari banyak opsi yang berseliweran, dua judul yang sejak awal terlintas adalah Glosarium Taktik atau Buku Saku Taktik. Tetapi, pada proses hearing dengan para pakar, dua opsi tersebut mentah tanpa bekas.
Kenapa? karena keduanya kok ya tampak jumawa dan terlalu formal. Glosarium taktik, bieuh macam sudah jadi pakar taktik saja. Buku saku taktik? Om Hasbi langsung auto-NO. Jijik mungkin beliaunya.
Sampai akhirnya, tibalah hari tersebut, di sebuah siang di pinggir sawah pinggiran Yogyakarta, saya bersama 5 laki-laki lain.
Saya dengan iseng nyeletuk: “Di luar negeri, half-space kadang disebut sayap dalam. Inside wing.” Begitu kata saya. Hasbi, si empunya fandom.id, langsung bereaksi sangat cepat. Beliau berkata: “Keren itu, mas, The Inside Wing”.
Rupanya, omongan ini berdampak sistemik. Begitu besar ujarannya berpengaruh, menyebabkan tiga laki-laki lainnya, yaitu Pemred FootballTribeId, redaktur Mojokdotco, dan asisten pelatih Timnas U-19 secara spontan ikut-ikutan sepakat dan memaksakan kehendaknya. Judul buku adalah The Inside Wing! Saya kalah suara.
Detik terus berlari dan hari terus berjalan. Untungnya, meminjam (sekaligus mengedit sedikit) omongan Fontaine: “kesedihan ketidakrelaan hati pun akan terbang menjauh seiring kepakan sayap waktu”.
Pikir punya pikir, saya semakin klik dan setuju dengan opsi The Inside Wing. Dia ini, kalau dipikir-pikir, punya benang merah dengan kenapa selama ini saya dan banyak rekan sering menulis di berbagai situs sepakbola (fandom.id, panditfootball, tribeid, kickoff, dan lain-lain).
The Inside Wing, kalau dicari-cari filosofinya, memang sesuai dengan mimpi hati kami akan prestasi sepakbola Indonesia. Pun, ia sesuai dengan filosofi kenapa buku disusun. Itu sudah.
Indonesia Piala Dunia 2030.