Seorang pria berdiri setengah lesu di pinggir lapangan kecil bernama Melwood. Ia tak mengerti mengapa ia lebih sering berdiri disini. Glass-player, kata orang-orang di luar sana yang mendaku dirinya sebagai fans sepak bola. Ia hanya bisa melihat gelak tawa dari rekan-rekannya tiap sesi latihan diadakan.
Rasa iri terpacu ketika ia menyaksikan Roberto Firmino dan Phillipe Coutinho tampak memandu tawa bersama manajer berkacamata itu –Jurgen Klopp. Di saat bersamaan, ia meratapi kondisi fisiknya kini yang tidak berbeda jauh dengan Abou Diaby. Dalam hatinya timbul sebuah pertanyaan: “Kapan aku bisa bermain lagi bersama mereka?”
Bait paragraf di atas mungkin menjadi gambaran kerisauan hati seorang Daniel Sturridge ketika mengalami cedera. Pemain mana yang tidak kecewa saat berulang kali divonis cedera dan hanya bisa menyaksikan rekan-rekannya berlatih serta bertanding?
Sebagai salah satu pemain yang dicintai Kopites –suporter Liverpool, nasib Daniel Sturridge saat ini berada di ujung tanduk. Bukan karena ia berkhianat berpindah klub ke rival laiknya Michael Owen atau Fernando Torres.
Sturridge membuat Kopites begitu dilema akan situasi yang sedang dihadapinya sekarang. Cedera membuatnya sering absen membela The Reds. Ia pun mulai dianggap tidak merupakan bagian penting lagi dari skuat Si Merah.
Padahal, sejak kedatangannya ke Anfield, Sturridge tak butuh waktu lama untuk meluluhkan hati para pendukung Liverpool. Sebuah gol di laga debut kontra Mansfield Town membuat para fans memiliki ekspektasi tinggi padanya.
Hasilnya terbukti. Selang beberapa tahun Sturridge menjelma menjadi salah satu striker mematikan di ranah Inggris. Berduet dengan Luis Suarez pada musim 2013/2014, ia nyaris membawa The Reds meraih gelar Liga Primer Inggris untuk pertama kalinya. Setelahnya, kita sendiri tahu bagaimana nasib Sturridge sampai saat ini.
Entah masih sakit hati lantaran ditinggal pergi Suarez atau kakinya memang benar-benar terbuat dari kaca, Sturridge jarang tampil membela The Reds. Sejumlah cedera menyerang beberapa lokasi di sekujur kakinya.
Puncaknya musim ini, di mana mantan pemain Manchester City terlalu sering memberi harapan palsu kepada Kopites. Mungkin “Sturridge” adalah sebuah anonim lain dari kata pulih sehingga melihat ia tidak cedera dalam satu musim adalah kemustahilan.
Lantas, pantaskah Kopites kecewa kepada Sturridge?
Beberapa hari yang lalu saya melihat kicauan dari salah satu akun twitter yang mengaku sebagai fanbase Liverpool. Kicauannya mengenai Sturridge cukup pedas, berharap mantan pemain Chelsea itu dijual oleh Liverpool.
Indikatornya karena ia merupakan pemain dengan gaji termahal yang ada di skuat The Reds saat ini. Mempertahankannya hanya akan membuang uang klub secara mubazir.
Bisa diterima? Tentu saja, bagi saya semua fans punya hak untuk menyuarakan opininya baik itu negatif maupun positif. Tapi, opini tersebut harusnya mesti disertai data yang kuat.
Jika berharap Sturridge dilepas hanya karena gajinya terlalu membebankan klub saya rasa terlalu naif. Sturridge adalah pemain yang sangat vital bagi Liverpool dan Kopites tahu ia selalu membuktikan kualitasnya ketika berada di lapangan.
Lebih lanjut lagi, mana ada pendukung yang tidak merasa bahagia ketika Sturridge mencetak gol dan melakukan selebrasi khasnya?
Soal pemotongan gaji itu adalah hak otoriter manejemen klub, sebagai fans sepatutnya terus memberikan dorongan motivasi agar moral Sturridge tidak menjadi drop kala cedera menerjang tubuhnya kembali.
Fakta bahwa Sturridge merupakan pemain yang vital bagi The Reds sudah terbukti lewat rasio golnya. Ia menjadi yang paling tajam di antara striker Liverpool lain pada era Premier League. Rasio golnya lebih tinggi ketimbang mantan penyerang top Liverpool seperti Dirk Kuyt, Fernando Torres bahkan Luis Suarez sekalipun di masa jayanya saat membela The Reds.
Lalu hanya itu sajakah alasan untuk mempertahankan Sturridge?
Belum selesai. Jika Sturridge dianggap “merugikan” klub lalu apa kabar dengan Steven Gerrard yang sudah (secara tidak sengaja) bertindak konyol saat Liverpool nyaris meraih gelar juara Premier League pertamanya?
Musim 2013/2014 juga adalah bukti sahih kualitas Sturridge saat ia berada dalam masalah cedera. Duetnya bersama Luis Suarez adalah salah satu mahakarya terbesar Brendan Rodgers sebelum pelatih asal irlandia Utara itu berevolusi menjadi seorang medioker.
Lalu, jika Gerrard yang sudah berulang kali melakukan lawakan (yang terkadang merugikan tim) masih patut dicintai mengapa tidak ada ruang yang sama bagi Sturridge di hati para Kopites? Kesampingkan dahulu soal status legenda Gerrard, jika harus objektif semua pemain yang berada di Liverpool patut mendapatkan perlakuan yang sama dari para fans.
Baru-baru ini Sturridge melakoni debutnya di bawah asuhan Jurgen Klopp saat Liverpool menundukkan Swansea. Selalu ada harapan untuk melihat ia tetap fit sampai akhir musim.
Mengandalkan Christian Benteke dan (oh my God) Divock Origi terus menerus sampai akhir musim jelas bukan pilihan yang bagus bagi Klopp. Kehadiran Sturridge akan memberikan variasi serangan berbeda di lini depan. Apalagi ia dapat bermain melebar dan menjadi tandem yang ideal bagi Benteke.
Kini, mari coba berkhayal apabila di masa depan jika Sturridge akhirnya benar-benar dijual Liverpool karena alasan yang disebutkan di atas tadi. Apakah Sturridge akan diingat sebagai glass-player atau SAS (julukan duetnya dengan Suarez dan Raheem Sterling) saat membela Liverpool? Ata justru akan terlupakan?
Semua tergantung seberapa kuat Anda sebagai Kopites menunggu Sturridge untuk pulih saat kembali cedera.
“Waiting is painful. Forgetting is painful. But not knowing which to do is the worse kind of suffering,” Paulo Coelho.