Gemerlap

Gianni Agnelli adalah sosok yang mengagumi keindahan dalam bentuk apapun. Tampilannya selalu modis dan necis. Selain itu, meski sudah memiliki istri yang cantik dalam diri Marella Caracciolo, sulit rasanya memisahkan sosok L’avvocato dari wanita-wanita cantik. Anita Ekberg, Pamela Churchill, sampai Jackie Kennedy, semua pernah mewarnai hidup sang raja kecil dari Turin. Namun, pada akhirnya, hanya Marella-lah, seorang bangsawan dari Napoli, sosok yang mampu menjadi tambatan hati Gianni Agnelli.

Bello di notte. Keindahan di malam hari. Begitulah Gianni Agnelli menyebut Zbigniew Boniek. Frasa “bello di notte” sendiri aslinya apabila diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti “wanita malam” alias pelacur. Agnelli mengambil nama ini dari film berjudul “Belle de Jour” yang dibintangi bidadari layar perak Prancis, Catherine Deneuve. Pada film tersebut, Deneuve berperan sebagai seorang pecandu seks yang memilih untuk menjadi pelacur pada siang hari ketika suaminya sedang bekerja. Maka dari itu, frasa “belle de nuit” atau “bello di notte” pun diubah menjadi “belle de jour” oleh sang sutradara, Luis Bunuel.

Bagi sang patron, penampilan cemerlang Boniek pada laga-laga antarklub Eropa benar-benar mampu membuat malam yang sudah gemerlap di Communale semakin benderang. Zibi – sapaan akrab Boniek – merupakan pemain Juventus paling konsisten di kompetisi Eropa kala itu. Tak salah memang bila Gianni Agnelli sampai memberinya julukan macam itu, dan menilik rekam jejaknya, siapa yang berani meragukan kemampuan Agnelli mengapresiasi keindahan?

Gemerlap Liga Champions memang tak ada duanya. Ada rasa aneh yang menjangkiti diri ketika menyaksikan laga-laga pada ajang tersebut. Level ketegangan yang berbeda, prediksi yang tiba-tiba bisa terobrak-abrik begitu saja, sampai anthem karya Hendel yang jarang gagal menegakkan bulu roma tersebut, semua menjadi alasan tersendiri mengapa Liga Champions menjadi tak ada duanya.

BACA JUGA:  Sleman Football dan Masa Depan Literasi Sepak Bola Indonesia

Ada pula keangkuhan di sana. Keangkuhan yang hanya bisa dirasakan dan sulit dijelaskan. Keangkuhan dari klub-klub tradisional yang sudah sedari awal diselenggarakannya kompetisi ini turut serta di dalamnya. Keangkuhan dari mereka yang punya koleksi Kuping Besar di kabinet trofi milik mereka. Keangkuhan yang membuat mereka, anak-anak keren itu, selalu berjalan dengan dada membusung.

Gemerlap dan keangkuhan itulah yang kemudian membuat penampilan memukau Boniek terasa lebih spesial. Liga Champions adalah arena yang tak bisa dimasuki oleh sembarang orang, apalagi ditaklukkan. Maka dari itu, tanpa mengurangi rasa hormat pada Pele dan Diego Maradona serta para legenda lain yang kurang beruntung, berjaya di Liga Champions sudah menjadi seperti sebuah keharusan. Ada yang kurang rasanya jika belum pernah mengangkat trofi kejuaraan ini.

Akan tetapi, rasanya tak adil memang menggunakan tolok ukur ini untuk menentukan status seorang pemain di buku sejarah. Djimi Traore memang pernah memenangi ajang ini, namun akal sehat akan berontak jika ada seseorang yang mengatakan Traore lebih baik dibanding Lilian Thuram hanya karena Traore pernah menjuarai ajang ini. Bagaimanapun juga, meski belum pernah menjuarai Liga Champions, Thuram adalah pemenang Piala Dunia dan Piala Eropa yang boleh dibilang sebagai salah satu bek terbaik sepanjang masa.

Musim ini, Liga Champions sudah mendekati garis finis dan masing-masing pihak menyikapinya dengan berbeda. Gianluigi Buffon yang belum kunjung hilang rasa penasarannya, tentu akan berjuang sekuat tenaga untuk memotivasi dirinya serta rekan-rekannya untuk tampil mati-matian demi membawa pulang Si Kuping Besar.

Kemudian, ada Josep Guardiola yang menganggap dirinya dan tim asuhannya gagal apabila tak mampu membawa pulang trofi Liga Champions. Lalu ada pula Andrea Pirlo yang sudah mengatakan bahwa jika ia berhasil mempersembahkan gelar Liga Champions bagi Juventus, maka ia akan pergi untuk menikmati senjakala karier di Amerika Serikat. Selain itu, semua pihak yang tersisa dalam perebutan Liga Champions kali ini tentu memiliki keinginan dan cara menyikapi berbeda pula.

BACA JUGA:  Corona, Dunia Olahraga dan Nyawa Manusia

Sembilan puluh menit menjadi waktu yang dibutuhkan keempat tim tersisa, Barcelona, Real Madrid, Juventus, dan FC Bayern. Kesempatan belum tertutup bahkan untuk Bayern yang sudah memiliki defisit tiga gol sekali pun. Bukan cuma sekali tim yang memiliki defisit tiga gol mampu membalikkan keadaan. Deportivo La Coruna pernah melakukan hal tersebut pada masa jaya mereka terhadap AC Milan.

Sembari menanti kepastian siapa yang akan berlaga di atas rumputnya, Olympiastadion, Berlin sedang mempersiapkan dirinya untuk menjadi saksi sejarah terbaru. Ia memang hanya bangunan yang nantinya cuma jadi saksi bisu. Namun, ia adalah tempat di mana gemerlap itu akan terpancar dan ia sedang mengumpulkan tenaganya untuk itu, tentunya dengan bantuan seluruh harap-harap cemas para penggemar empat semifinalis.

 

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.