Edy Rahmayadi terpilih menjadi ketua umum PSSI periode 2016-2020 setelah memperoleh 76 suara dari total 107 voter. Dia jauh meninggalkan pesaing terdekatnya, Moeldoko yang “hanya” memperoleh 23 suara.
Calon lain seperti Edi Rumpoko hanya mendapat satu suara dan mantan pemain nasional, Kurniawan Dwi Yulianto, bahkan tak memperoleh satu suara pun. Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) pun tak memberikan suara pada satu-satunya legenda hidup sepak bola negeri ini yang mencalonkan diri.
Tapi, hasil ini semestinya tak membuat kita terkejut. Termasuk dengan terpilihnya nama Joko Driyono dan Iwan Budianto sebagai wakil ketua umum PSSI. Semua sudah tampak sejak jauh-jauh hari.
Sempat ada dugaan bahwa Moeldoko yang akan terpilih. Mantan Panglima TNI tersebut dinilai sebagai pesanan istana. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan majunya “pesanan istana” lain, Wiranto yang makjegagik (tiba-tiba) terpilih sebagai ketua umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Namun, jika memperhatikan konstelasi politik sepak bola Indonesia, maka nama Edy Rahmayadi sebenarnya tiada tanding. Jejak masa lalu dan apa yang dia lakukan dua tahun terakhir sudah mempersiapkan pencalonannya dengan sangat matang.
Dekat dengan sepak bola
Pria kelahiran Sabang, Aceh, 10 Maret 1961, ini dikenal publik karena memiliki karier cemerlang di militer. Sejak lulus dari Akademi Militer tahun 1985, kariernya mulus hingga kini menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Jabatan yang diembannya sejak 25 Juli 2015.
Jejak sepak bola Edy Rahmayadi bisa ditengok ketika dia masih menjadi Panglima Kodam 1/Bukit Barisan. Di Medan, tepatnya di Kebun Bunga, Edy sempat menginisiasi pembicaraan mengenai usaha untuk membangkitkan kembali PSMS Medan.
Jenderal yang berpengalaman di bidang infanteri ini memang punya keterkaitan erat dengan sepak bola dan PSMS. Dia pernah bermain di PSMS Junior hingga akhirnya dia memilih mengikuti jejak ayahnya, alm. Kapten TNI Rachman Ishaq menjadi prajurit.
PSMS pun tahun 2015 itu kembali berlaga. Ayam Kinantan tidak hanya ikut serta Piala Kemerdekaan, tapi juga mampu menjuarainya dengan menekuk Persinga Ngawi 2-1 di Gelora Bung Tomo, Surabaya.
Selanjutnya, PSMS pun sempat “dipaksakan” untuk menjadi peserta Piala Jenderal Sudirman (PJS) yang diikuti oleh klub-klub Indonesia Super League (ISL) dengan alasan sejarah. Ide itu tak terealisasi tapi publik mencatat bahwa PS TNI yang akhirnya menjadi peserta ke-15 itu beraroma PSMS.
Mendapat simpati publik, PS TNI tidak mau kembali ke barak. Dengan bermodalkan penampilan lumayan di PJS dan pemain eks timnas U-19 yang memilih bergabung ke dinas militer, secara komposisi tim PS TNI punya skuat mumpuni untuk bersaing di kancah sepak bola Indonesia.
Tidak butuh waktu lama untuk kemudian PS TNI mengantongi lisensi berlaga di divisi teratas setelah ada akuisisi Persiram Raja Ampat. Tentunya sebuah proses yang bisa diperdebatkan keabsahannya.
Sepenggal pengalaman Edy di sepak bola itu menjadikan kita mafhum bahwa dia memang sudah mempersiapkan diri untuk menjadi PSSI 1. Tapi, apakah semua itu cukup untuk membuatnya melenggang dengan mudah menjadi ketum PSSI dan mampu menjalankan roda organisasi dengan baik?
Tentu itu persoalan lain.
Rajin silaturahmi politik
Pengalaman Edy hanya satu bagian. Edy Rahmayadi yang berpengalaman di militer, sadar betul bahwa dia membutuhkan dukungan politik yang menyeluruh. Dia sadar bahwa politik itu adalah kerja silaturahmi, makanya dia memilih untuk berkeliling nusantara dibanding hanya terlibat debat di televisi yang disiarkan secara streaming.
Jika Anda sempat memperhatikan sepak bola lokal di daerah tempat Anda tinggal, maka hampir dipastikan Edy sempat sowan. Di Yogyakarta, Edy Rahmayadi hadir di final Liga Nusantara Provinsi DIY yang mempertemukan PS Gama dengan PS Universitas Ahmad Dahlan. Spanduk dukungan pun membentang di beberapa sisi stadion.
Wajar jika kemudian, sebulan sebelum Kongres, Edy menyatakan telah memperoleh dukungan dari 96 voter. Dia rajin bersafari politik menemui stakeholder sepak bola yang mengantongi hak suara.
Jikalau kemudian muncul nama Joko Driyono dan Iwan Budianto rasanya tak perlu dijelaskan panjang lebar bahwa keduanya punya andil dalam tim pemenangan Edy Rahmayadi. Kedua orang yang sudah malang melintang lama di sepak bola lokal itu tentu jadi pintu masuk Edy untuk bisa dekat dengan para voter.
Joko Driyono adalah CEO PT Liga Indonesia dan dia tetap jadi CEO ketika operaror ISC PT Gelora Trisula Semesta (GTS). Apa pun operatornya, Jokdri CEO-nya. Begitu pula denan IB yang sudah kenyang pengalaman di sepak bola dengan mengurusi Persik Kediri dan Arema.
Lalu, apakah tridente PSSI ini bisa membawa sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik?
Supremasi hukum sepak bola
Saya tidak ingin berekpektasi terlalu besar pada tiga pejabat PSSI ini. Tidak meminta langsung membawa timnas menjuarai Piala AFF tahun ini atau tahun depan. Empat tahun ini fokuslah pada pembenahan tata kelola sepak bola nasional.
Sebagai orang yang berdinas di militer, Edy Rahmayadi tentu paham betul bahwa supremasi hukum dan ketaatan pada aturan itu adalah syarat mutlak semua hal berjalan sebagaimana semestinya. Nah, supremasi hukum sepak bola inilah perlu menjadi fokus utama.
Wakilnya, Iwan Budianto, kerap dikritik lantaran sebagai CEO dia duduk di bench pemain, sesuatu yang dilarang oleh regulasi pertandingan. Mulailah dari hal-hal kecil seperti ini. Jika aturan bisa ditegakkan, rasanya Edy akan bisa mengambil respek awal dari pencinta sepak bola negeri ini.
Baru selanjutnya, yang perlu dipikirkan masak-masak dan segera adalah tentang pemulihan klub yang disanksi (Persebaya Surabaya, dkk) dan sanksi individu pelaku sepak bola gajah kembali didiskusikan. Semua ini mesti selesai sebelum federasi menggelar kompetisi resmi pasca-dua tahun vakum.
Ada setumpuk pekerjaan di sepak bola Indonesia. Tapi, ada baiknya Edy Rahmayadi segera menentukan prioritas dan saya kira penegakkan aturan itu adalah kunci dari segala perbaikan di sepak bola kita.
Selamat bekerja Edy Rahmayadi. Ada setumpuk pekerjaan di sepak bola nasional, ada baiknya bapak segera mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari militer, karena tidak mungkin bisa menyelesaikan persoalan sepak bola jika masih rangkap jabatan.
Koreksi: APPI datang ke KLB tapi tidak memiliki hak suara.