Mustahil memisahkan sepakbola dengan politik. Sementara politik akan selalu lekat dengan pembentukan citra untuk memenangkan hati dan suara publik. Namun, praktik pencitraan fun football yang dilakukan oleh PSSI dan FIFA salah kaprah. Alih-alih mendulang simpati, aksi mereka pantas mendapat kecaman sebab federasi sepakbola negeri ini sedang dalam proses investigasi dan mengalami krisis moral di dalam institusi.
Andi Setiawan, baru saja merenggut nyawa dan menjadi korban ke-133 tragedi Kanjuruhan pada Selasa, pukul 13.20 WIB. Beberapa jam setelahnya, nalar dua institusi pemegang otoritas sepakbola dalam negeri dan dunia putus. Moral mereka dipertanyakan oleh publik sepakbola Indonesia setelah akun resmi PSSI mengunggah foto dengan caption mengandung kata “keseruan” untuk menggambarkan aktivitas Presiden FIFA, Gianni Infantino dan Ketua Umum PSSI, Iwan Bule beserta jajaran yang asyik bermain bola di Stadion Madya Jakarta.
Jum’at (21/10) pagi, Reyvano Dwi Afriansyah dinyatakan meninggal dunia dan menjadi korban jiwa ke-134 setelah mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang sejak 1 Oktober lalu.
Postingan yang mengandung lebih dari satu foto itu kemudian dihapus, tapi kemudian diunggah kembali pada Rabu (19/10) pagi dengan komposisi foto yang sama, hanya menghilangkan kata “keseruan” pada caption. Belakangan diketahui, bahwa Infantino yang mengajak Iwan Bule beserta jajaran untuk menuju Stadion Madya dan mengolah si kulit bulat bersama.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan juru bicara FIFA kepada The Athletic yang mengatakan bahwa fun football tersebut diagendakan secara spontan saat kedua belah pihak menggelar rapat bersama sebelumnya. Infantino, juga dikenal sering menyempatkan bermain bola di tengah agenda kunjungan lain.
Aktivitas yang sama sekali tidak bisa diterima, mengingat pada hari itu, Iwan Bule juga dikabarkan mangkir dari agenda pemeriksaan oleh Polda Jatim terkait tragedi Kanjuruhan. Dilihat dari sisi manapun, apa yang dilakukan FIFA dan PSSI merupakan sebuah aksi nir empati dan bertolak belakang dari ungkapan duka serta tanggung jawab yang seharusnya mereka jalankan.
Dalam kata lain, keduanya inkonsisten dalam bersikap, mengutamakan citra semata yang justru semakin membuka tabir jati diri institusi. Soal inkonsistensi sikap, FIFA sudah akrab sejak lama. Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana induk sepakbola dunia itu juga terjangkit masalah serupa di dalam institusinya.
September lalu, Sergei Palkin, CEO Shaktar Donetsk mengeluarkan tuduhan serius terhadap FIFA yang dinilai mengkhianati upaya Ukraina dalam meraih keadilan atas invasi Rusia. FIFA memang mengutuk keras tindakan invasi Rusia dan menjatuhkan sanksi larangan bermain Rusia di Piala Dunia 2022 Qatar.
Shakhtar Donetsk's chief executive has accused FIFA of betraying Ukraine's war effort by maintaining lucrative TV deals with Russian broadcasters.
"It feels like FIFA ignored us. They destroyed our football because of the decisions they made."
Exc by @AdamCrafton_
— The Athletic UK (@TheAthleticUK) September 28, 2022
Namun di sisi lain, FIFA disinyalir tetap melanjutkan kesepakatan dengan tiga stasiun televisi asal Rusia terkait hak siar Piala Dunia 2022. Ketiga stasiun televisi tersebut di antaranya VGTRK, Perviy, dan Match TV. Daftar terakhir merupakan sebuah stasiun televisi milik Gazprom Media yang bernaung di bawah Gazprombank. Presiden Rusia, Vladmir Putin memerintahkan Match TV untuk beroperasi pada 2009.
Sikap FIFA yang melanjutkan kesepakatan hak siar tersebut bertentangan dengan pernyataan mereka yang mengutuk tindakan invasi Rusia dan mengumumkan donasi kemanusiaan senilai 1 juta dolar untuk Ukraina beberapa bulan sebelumnya.
Menilik kesepakatan di federasi lain, Premier League bahkan telah menangguhkan kontrak enam tahun dengan Match TV dengan total nilai kontrak berada di kisaran 43 juta paun. Dilansir The Athletic, FIFA tak mau berkomentar terkait pertanyaan apakah FIFA tetap menerima pendapatan dari stasiun televisi Rusia tersebut.
Sebelumnya, pada Juli 2022, Shaktar sebagai langganan Liga Champions menuntut ganti rugi senilai 50 juta euro terhadap FIFA. Hal ini merupakan imbas dari kebijakan FIFA yang memutuskan bahwa pemain asing di klub Ukraina dapat menangguhkan kontrak secara sepihak sebagai imbas dari situasi perang di negara tersebut.
Shaktar telah mengajukan banding ke lembaga pengadilan abitrase olahraga, CAS terkait kerugian yang mereka alami. Palkin memberi tahu The Athletic pada September lalu, bahwa mereka telah meminta bantuan UEFA untuk memediasi pertemuan Shaktar dengan Infantino guna melakukan negosiasi dan mencari solusi. Tapi, inisiatif itu bertepuk sebelah tangan setelah tak menuai tanggapan apapun dari pihak FIFA.
Lagi polemik soal Piala Dunia 2022 Qatar, FIFA telah mendapat label “memalukan” dari sejumlah organisasi pejuang HAM seperti Human Rights Watch, Amnesty International, dan FairSquare. Label tersebut bukannya tak berdasar. Pasalnya, FIFA dinilai gagal menjalankan komitmen untuk memberikan dana kompensasi bagi para pekerja migran yang dirugikan dan meninggal selama persiapan Piala Dunia di Qatar.
https://twitter.com/amnesty/status/1583140991007006723
Sejumlah kelompok pejuang HAM tersebut telah menuntut FIFA untuk memberikan dana kompensasi dengan menyisihkan sebagian hadiah uang Piala Dunia senilai 440 juta dolar kepada para pekerja migran. FIFA mengatakan akan mempertimbangkan proposal tersebut, namun belum ada jawaban hingga sekarang.
Kedatangan Infantino ke Indonesia merupakan salah satu agenda yang bertujuan untuk mengungkapkan belasungkawa dan memberikan dukungan terkait transformasi sepakbola Indonesia. Tujuan itu seakan berubah 180 derajat saat foto-foto riang Infantino bersama Iwan Bule tersebar luas hingga menjadi sorotan media luar negeri. Apa yang mereka lakukan bukan sebatas bad PR, melainkan gejala awal atas ketidakseriusan dan inkompetensi institusi dalam menyikapi sebuah tragedi kemanusiaan.