Elegi Manchester United, Sebuah Fakir Identitas

Saya ingat betul awal musim lalu menonton laga pertama Louis Van Gaal di Liga Inggris. Kalau ingatan tak salah, partai itu adalah melawan Swansea City di Old Trafford. Van Gaal memulai karier filosofis nan sophisticated-nya dengan sebuah kekalahan memalukan di kandang usai penampilan brilian selama pramusim saat itu.

Sebagai salah satu garda depan dalam deretan pembenci Manchester United, terkadang alasan saya menonton mereka adalah mencari bahan untuk tertawa dan mengolok-olok. United tanpa Sir Alex Ferguson adalah sebuah parodi sirkus yang humoris.

Mampu mengocok perut tidak hanya pendukung mereka sendiri, namun juga para pembencinya. Saya menikmati betul sajian komedi itu, hingga berujung pada artikel filosofi Van Gaal.

Tapi laga akhir pekan lalu (19/12) mengubah stigma tersebut. Saya mulai tidak benar-benar menikmati busuknya United. Kekalahan di kandang atas Norwich City membuat saya menemukan ada beberapa anomali dalam permainan United.

Saya bukan jagoan taktik, pun bukan analis yang hebat. Namun saya mengoleksi season review Manchester United sejak 2007/2008 hingga 2012/2013. Untuk apa? Karena saya tak mampu mengolok-olok United tanpa melihat cara mereka bermain. Saya tak mampu bilang mereka sampah tanpa melihat apa benar mereka bermain layaknya pecundang.

Tak adil mengolok United sampah kala mereka bermain atraktif, walau kemudian kalah. Bagi saya, permainan menarik dalam sepak bola jauh lebih layak diapresiasi daripada gelar juara. Dan United tahu benar cara menggabungkan dua premis itu. Bermain menarik dan juara. United era Ferguson, bukan United si komedian saat ini.

**

Menit 75 saat itu, sepuluh menit usai gol balasan Anthony Martial yang membuat United memperkecil skor menjadi 1-2. Saya melihat para gelandang United menggulirkan bola dengan putus asa di lapangan tengah guna membongkar pertahanan Norwich yang sebetulnya tak hebat-hebat betul saat itu.

Beratnya upaya United membongkar pertahanan Norwich seolah seperti mereka sedang melawan AC Milan era Paolo Maldini dan Alessandro Nesta.

Ada kebingungan di situ. Ada kepanikan. Ada urgensi mencetak angka yang membuat mereka menggulirkan bola dengan kaki-kaki yang berat. Tentu saja, ini bukan United yang biasa saya tonton bertahun-tahun lalu.

Jelas ada satu yang benar-benar hilang dari United selain pensiunnya Si Tua Pengunyah Permen Karet itu. United kehilangan identitas. Setan Merah mulai lupa cara menjadi tim hebat.

David Moyes datang mewartakan derita dan rasa malu. Van Gaal datang melatih otak pemain tanpa membentuk karakter tim. Jelas dua nama tersebut lupa menanamkan identitas yang baku untuk karakter United sebagai sebuah tim besar pasca-Ferguson.

Fergie bukan penggemar sepak bola kreatif ala Juan Roman Riquelme yang penuh tipu daya dan kreatifitas. United tak pernah betul-betul seperti itu. Kalau iya, tentunya nama-nama seperti Ronaldinho dan Zinedine Zidane akan berlaga membela panji Si Setan Merah.

Tapi United bukan tim seperti itu. Mereka membuat standar pribadi tentang cara bermain menarik ala United. Fergie tahu benar itu. Identitas United adalah nafas revivalis dan determinasi.

Saya tak mengamati United era Paul Ince atau Dennis Law, tapi saya mengikuti era United dengan Roy Keane. Orang Irlandia brengsek itu tahu benar cara memimpin bocah-bocah alumnus 1992 kreasi Eric Harrison yang disempurnakan Fergie dengan mental baja dan kaki kuat laiknya besi.

Tengok deretan gelandang United. Dari Nicky Butt, Roy Keane hingga si pohon beringin berjalan, Marouane Fellaini. Hampir tidak ada kreatifitas yang ditonjolkan kecuali apa yang ditawarkan Paul Scholes dan mungkin, Michael Carrick. Bastian Schweinsteiger pun datang dengan semangat Panser tua yang mulai padam.

Bermain dengan visi ala Barcelona tidak pernah menjadi pilihan United. Fergie membangun identitas United dengan determinasi yang tinggi. Bermain spartan dan menarik. Menggulirkan bola dengan kuat dan percaya diri. Berlari dengan gigih. Menerjang lawan tanpa takut.

United menjadi tim besar dengan cara itu. United dibenci dan dicintai dengan semangat spartan dan revivalisnya yang luar biasa.

**

Saya tidak suka komentar orang yang lantang perihal “Ini era bla bla bla, bukan era Sir Alex”. Barcelona walau berganti pelatih pun tak pernah benar-benar kehilangan kultur sepak bola menyerang mereka, lalu kenapa United tak berusaha melakukan itu?

Tim hebat selalu punya identitas dan pelatih jelas punya andil untuk membentuk itu. Beban sejarah hebat Fergie tentu menyebalkan, namun bukankah kenikmatan duduk di kursi manajerial United adalah impian terindah para pelatih di dunia?

Bayangkan Anda menjadi pelatih Manchester United. Tim terhebat dalam era sepak bola modern di Inggris. Sejak 1992/1993, United menjuarai liga 13 kali. Sudah sewajarnya pelatih setelah Fergie tahu apa yang harus mereka lakukan. Mempertahankan identitas spartan dan determinan United untuk digabungkan dengan pola main para pelatih baru.

Barcelona pun melakukan itu. Transisi pasca-Pep Guardiola, mendiang Tito Villanova, Gerardo Martino hingga Luis Enrique begitu terasa. Barcelona tetap menyerang, hanya lebih sedikit mengurangi kegilaan akan penguasaan bola. Barcelona tak melulu menjadi masokis yang memuja penguasaan bola. Mereka lebih efektif. Lebih tajam. Lebih menakutkan. Treble winners musim lalu jelas sudah menjadi bukti sahih akan itu.

Manchester United dalam perjalanan mereka pada musim ketiga tanpa Fergie jelas nyata kehilangan identitas. United lupa cara menjadi United.

Wayne Rooney lupa cara menjadi efektif di depan gawang. Michael Carrick tak sanggup membendung lari-lari para gelandang lawan. Ashley Young sudah kadaluarsa kemampuan menyelamnya. Dan anak-anak baru yang datang sudah terlalu muak dijejali filsafat ketimbang dibimbing untuk membentuk karakter diri mereka.

United saat ini pandai memasang kuda-kuda untuk menyerang lawan, tapi lupa cara menghunus belati untuk ditikamkan. Terlalu asyik dengan kuda-kuda, justru lawan mendahului menghunus pedang tajamnya tepat ke jantung. Alih-alih membalas lawan, justru United tersungkur laiknya pecundang.

**

Saya tentu berharap Van Gaal menyadari hal-hal klise seperti ini. Laiknya makhluk hidup, klub sepak bola pun didirikan dan kemudian dijalankan dengan sebuah semangat dan identitas.

Anda tidak melatih otak sebelum punya jati diri yang baku. Apa logis anak kecil berumur 3 tahun Anda ajarkan filsafat Plato tanpa lebih dahulu membentuk mental dan identitas mereka untuk menuju remaja hingga dewasa? Sayangnya, (mungkin) peluang bagi Van Gaal semakin besar untuk segera menyusul Jose Mourinho yang dilengserkan paksa dari kursinya.

Jose tentu tahu cara bermain dengan identitas. Tapi bagi pelatih yang mencondongkan dirinya menjadi seorang pragmatis, kehadiran Jose belum tentu menjadi apa yang dibutuhkan United.

Tidak banyak rekam jejak pragmatis United di era Fergie atau era sebelum Fergie. Saya lebih menantikan United yang menemukan kembali mentalitas juara mereka. Saya merindukan mengumpat tengah malam kala United bermain sporadis saat menggempur lawan dengan determinasi mereka.

Jangan salah paham, walau membenci United, tapi melawan musuh dengan keadaan mental yang tak sehat tidak pernah menyenangkan bagi saya. Kalaupun tim favorit saya harus dihajar 8-2 sekalipun, saya rela, asalkan tontonan itu menarik. Saya masokis sejati untuk sepak bola menarik. Kekalahan dengan skor besar tetap saya puja daripada hasil 0-0.

**

Andai suatu saat Van Gaal dipecat, tentunya saya berharap hal yang lebih dari jajaran direksi Manchester United untuk menemukan pelatih yang benar-benar tahu apa yang harus dia lakukan di tim medioker yang kehilangan mentalitas ini. Pep Guardiola tentu nama yang seksi, dibanding pemuja obat tidur seperti pria flamboyan dari Lisbon itu.

Tapi, jika Van Gaal masih terus diberi kepercayaan melatih, ada baiknya Anda berhenti mendukung United sementara waktu. Pria aristokrat Belanda itu paling paham cara menjadi keras kepala dibanding Arsene Wenger.

Arogansi khas orang Belanda hanya bisa kalah dan luluh lantak oleh hantaman telak ke rahang. Sudah waktunya (mungkin) bagi Louis Van Gaal untuk memilih mengundurkan diri dan pensiun. Zinedine Zidane pun pensiun dengan diiringi tangis Prancis di final Piala Dunia 2006 dan berhias sebuah kartu merah sensasional.

Sudah sewajarnya seseorang yang mendaku filsuf paham akan hal-hal sederhana seperti ini, tapi, seorang filsuf tak benar-benar suka hal yang sederhana, bukan? Karena pemecatan adalah hal yang teramat sederhana.

 

 

Komentar

This website uses cookies.