“The right man, on the right place, at the right time”. Erik ten Hag membawa ketenangan untuk para penggemar Manchester United yang selalu gusar satu dekade ke belakang. Romantisme Sir Alex Ferguson dan pandangan konservatif klub kini perlahan berubah dan proyek transformasi itu sepenuhnya diserahkan ke Ten Hag. United bersama Ten Hag meraup 15 dari 18 poin dalam 6 laga terakhirnya setelah mengawali dua laga perdana Premier League 2022/2023 dengan buruk.
Rapor Positif di 10 Laga Awal Premier League
Jika dihitung dari capaian 10 laga awal Premier League, Ten Hag sejauh ini menunjukkan progres yang cukup baik, dibandingkan dengan pelatih Setan Merah sebelumnya sepeninggal Ferguson. Dalam 10 laga awal dengan catatan masih menyimpan dua laga tunda, Ten Hag telah mengoleksi 15 poin dari 8 pertandingan. Ole Gunnar Solskjaer di musim penuhnya hanya mampu mendulang 13 poin, sementara Jose Mourinho mengumpulkan 15 poin di 10 laga awal pada 2016 lalu.
Jika head to head dengan eks pelatih asal Belanda di United, yakni Louis Van Gaal, Ten Hag juga masih unggul dengan Van Gaal yang hanya mampu membawa pulang 13 poin dari 10 laga pada 2014. Ten Hag hanya kalah dari David Moyes (sementara ini) yang mendapatkan 17 poin di 10 partai awal musim perdananya pada 2013 silam. Penilaian kuantitatif berdasarkan poin ini memang belum bisa menjadi patokan. Jadi, apakah Ten Hag bisa dikatakan sebagai orang yang tepat untuk United?
Perubahan Kebijakan Rekrutmen Pemain
Jose Mourinho pernah mengatakan bahwa United mendatangkan pemain yang sama sekali tidak ingin ia beli dan melepas pemain yang ingin ia pertahankan. Kebijakan itu terus bertahan hingga Setan Merah terjebak dalam keterpurukan. Ten Hag mulai mengubahnya musim ini. Rekrutmennya terbukti tepat sasaran, meski masih kurang dan gagal mendatangkan Frenkie de Jong, gelandang kepercayaan sebagai kunci agar sistemnya berjalan.
Terlepas dari kekurangan di lini tengah yang belum teratasi, kedatangan Christian Eriksen dan Casemiro membuktikan bahwa United telah berada pada jalur yang benar. Kemampuan elit keduanya mampu menjadi pembeda sekaligus menambah kepercayaan diri tim. Para penggemar sebelumnya selalu khawatir jika lini tengah United diisi oleh duet Fred-McTominay.
Perubahan yang sama juga terlihat pada posisi bek. Di saat kapten sekaligus bek 80 juta paun mereka tak berfungsi, Lisandro Martinez didatangkan guna menambal lubang pertahanan. Bersamaan dengan itu, Martinez juga mampu memberikan warna baru dengan kemampuan line breaking pass untuk membantu progresi serangan dan agresivitasnya dalam bertahan. Tyrell Malacia juga memberikan dampak positif untuk menjadi kompetitor Luke Shaw yang terlalu nyaman mengisi pos bek kiri. Lalu, Antony Santos juga langsung nyetel dengan kontribusi tiga gol dari tiga laga awal di Premier League musim ini.
Kebangkitan Fighting Spirit Skuad
Rekrutmen tepat tersebut kemudian menyelesaikan satu permasalahan, yakni tidak adanya atmosfer persaingan di dalam skuad. Sebuah kondisi buruk yang membuat pemain terus-terusan manja berada di zona nyaman. Ini juga mengakibatkan United memiliki beban gaji tertinggi di antara klub-klub Premier League melampaui sang juara bertahan, Manchester City. Tiap tahun mereka harus merogoh uang 184 juta paun atau setara 3,6 triliun rupiah.
Karena itu, sumber dari Daily Telegraph mengungkapkan bahwa kebijakan perpanjangan kontrak pemain saat ini harus melalui Ten Hag. Otoritas seperti demikian bertujuan untuk memastikan agar para pemainnya tidak terjebak dalam zona nyaman dan tidak mudah mendapat kontrak di klub sekaliber United. Ten Hag ingin melihat bagaimana pemain yang ada sekarang berjuang untuk tempatnya dan untuk klub yang mereka bela.
Penciptaan Sistem Permainan yang Ideal
Ten Hag kembali membawa kedisiplinan dan kesetaraan yang selama ini terasa kabur dalam skuad Setan Merah. Implikasinya terwujud dalam bentuk kepercayaan pemain terhadapnya. Jadon Sancho pernah menyampaikan kepuasannya terhadap Ten Hag dengan menyebut sang pelatih punya “clearer plan” di beberapa area dalam lapangan.
Ten Hag memang belum bisa menunjukkan permainan dominan yang menjadi trademark-nya karena keterbatasan kemampuan skuad yang sekarang. Di sisi lain, hal itu menunjukkan bahwa Ten Hag tidak keras kepala. Ia tetap mengincar kemenangan demi menumbuhkan mental dan kepercayaan diri para pemain.
Ia merasa lebih nyaman ketika memegang kendali dalam permainan. Ten Hag ball terkenal dengan cara bermain pro aktif yang selalu ingin mendominasi laga. Ten Hag belum menemukan cara penerapannya dengan memperoleh penguasaan bola lebih rendah saat kontra Leicester City, Arsenal, dan Liverpool awal musim ini. Meski begitu, para pemain terlihat lebih nyaman dalam fase build up.
Eriksen punya kemampuan teknikal tinggi yang dapat melakukan progresi bola dari bawah. Diogo Dalot menemukan performa terbaiknya dalam aspek ofensif maupun defensif. Sementara di lini serang, Marcus Rashford dan Anthony Martial menjadi andalan untuk menciptakan permainan yang lebih cair di lini depan.
Karena itu, pada akhirnya United mampu mengalahkan Liverpool dan Arsenal dengan permainan pragmatis yang sangat mengandalkan transisi. Kekalahan atas rival sekota merupakan sebuah pembelajaran dan bagian dari proses.
Ten Hag dan skuadnya seakan ditampar dengan keras bahwa lubang besar di lini tengah mereka belum terselesaikan dan persoalan keyakinan di antara para pemain yang belum kembali pasca mengalami musim buruk. Ten Hag juga tak menampik, ia bahkan mengatakan bahwa terkadang kita akan mengalami kemunduran saat ingin berusaha maju.
Sepakbola modern sangat bergantung pada sistem daripada kemampuan individu pemain. Ten Hag juga dikenal dengan kolektivitas permainannya. Meski belum bisa sepenuhnya menerapkan di skuad United yang sekarang, di balik layar proses itu masih berjalan sehingga Ten Hag secara simultan sedang menjalankan rencana jangka pendek sembari membangun fondasi ke depan selama 3+1 tahun kontraknya.
Di Ajax Amsterdam, ia membutuhkan dua musim untuk mencapai musim terbaiknya. Bersama Setan Merah, kira-kira berapa lama Ten Hag bisa mengembalikan United ke puncak kejayaan?