European Super League adalah Ide Brilian

Beberapa hari lalu, 12 klub elite Eropa yang terdiri dari enam kesebelasan asal Inggris, tiga dari Italia dan tiga lainnya bermukim di Spanyol mengumumkan bahwa mereka siap menggelar kompetisi bertajuk European Super League.

Kedua belas tim itu adalah Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, Tottenham Hotspur, AC Milan, Internazionale Milano, Juventus, Atletico Madrid, Barcelona, dan Real Madrid. Mereka menamakan dirinya sebagai Founding Clubs atau Klub Pendiri.

Di tengah gegap gempita bahwa European Super League bisa menjadi kompetisi elite karena dihuni tim-tim nomor wahid serta berpotensi menghasilkan banyak uang, UEFA dan federasi sepakbola negara di mana klub-klub itu bernaung menunjukkan resistensinya.

Usai bersitegang selama kurang lebih dua hari, pelan tetapi pasti, nasib European Super League kian tak jelas.

Mundurnya klub-klub Inggris disinyalir menjadi penyebab. Walau demikian, European Super League sejatinya tetap menarik untuk diperhatikan.

Ide tentang European Super League sebenarnya sudah muncul sejak 2009. Florentino Perez dan Andrea Agnelli, bos Real Madrid dan Juventus, adalah sosok sentral di balik ajang ini.

Mantan pelatih Arsenal, Arsene Wenger, bahkan pernah berujar bahwa suatu saat, akan ada kompetisi yang bisa menggantikan posisi Liga Champions.

Sebuah ajang yang menurut lelaki Prancis itu lebih bergengsi dan menghasilkan pundi-pundi melimpah.

Deklarasi European Super League memunculkan banyak pro dan kontra, bahkan di kalangan pendukung dari selusin tim di atas.

Ada fans yang mendukung penyelenggaraannya karena menganggap UEFA sudah berlaku tidak adil.

Ada juga fans yang merasa bahwa European Super League merusak sejarah dan tradisi yang ada di kancah sepakbola Benua Biru.

Toh, perputaran uang di ajang ini nantinya cuma didapat klub yang itu-itu saja, sementara tim-tim lainnya tidak mendapat apapun.

Saya sendiri mendukung adanya European Super League. Bagi saya, ajang ini adalah hasil dari ide brilian dan revolusioner. Harusnya, sudah diwujudkan sejak dahulu?

BACA JUGA:  Erling Braut Haaland: Idola di Dua Dunia

Mengapa demikian?

Pertama, sepakbola hari ini tidak lagi sama dengan yang kita kenal pada awal kemunculannya.

Berdasarkan sejarah lampau tentang penemuan sepakbola pun, awalnya olahraga ini cuma dimainkan oleh para bangsawan, barulah pada perkembangannya, rakyat jelata ikut memainkan.

Sebuah klub sepakbola merupakan representasi dari sebuah entitas sosial. Baik kelompok berdasarkan tempat tinggal, agama, maupun pandangan politik. Gengsi besar dipertaruhkan dalam setiap pertandingan.

Namun, semuanya berubah ketika memasuki era 1990-an. Kompetisi-kompetisi sepakbola besar di dunia ramai-ramai melakukan revolusi.

Dimulai dari perubahan First Division menjadi Premier League di Inggris pada tahun 1992.

Ya, asal tahu saja, Premier League itu ada karena keinginan para klub mendapatkan uang lebih banyak. Hadirnya kompetisi ini sendiri adalah wujud protes terhadap FA.

Lalu, ajang European Cup yang kemudian diubah menjadi UEFA Champions League pada tahun 1992.

Berawal dari ajang yang cuma diikuti para kampiun liga, lama-lama jadi kompetisi yang juga diikuti beberapa klub peringkat atas dari liga.

Tujuannya? Katanya, sih, agar kompetisi lebih semarak, tetapi ujungnya, ya, tetap saja perputaran uang yang lebih banyak.

Sejak saat itu, wajah sepakbola berubah. Sepakbola bukan lagi olahraga rakyat. Sepakbola menjadi sebuah industri yang terus menggeliat.

Tujuan utama bermain sepakbola bukan sekadar menyehatkan tubuh, mempertahankan gengsi, atau mengejar gelar semata, melainkan ada hal lain yang lebih penting untuk diincar yakni uang.

Performa yang ditampilkan di atas lapangan serta gelar juara yang didapatkan pada akhirnya hanyalah jalan untuk meraih kejayaan finansial.

Pasalnya, dengan performa menawan dan gelar juara, klub sepakbola akan semakin banyak mendatangkan penggemar serta beroleh eksposur tinggi.

Semakin banyak penggemar yang datang dan eksposur yang didapat, semakin banyak uang yang dapat ditambang.

Menurut saya, European Super League hadir dan menawarkan semua itu. Dengan diisi 12 klub besar Eropa, lengkap dengan pemain-pemain kelas satu, sudah pasti sponsor-sponsor besar akan berdatangan.

Sebab, perhatian seluruh penggemar sepakbola bakal tertuju ke kompetisi baru. Siapa yang mampu menampik eksposur sebesar itu? Saya rasa tidak ada.

Kedua, selain motif keuntungan yang lebih besar, saya rasa ajang ini juga muncul akibat ketidakadilan UEFA.

BACA JUGA:  Liverpool vs Everton: Benci Tapi Cinta

Mereka tidak adil dalam membagi keuntungan kompetisi seperti UEFA Champions League (UCL) dan UEFA Europa League (UEL).

Bahkan, beredar kabar, jatah untuk klub hanya 30 persen dari total keuntungan. Sementara 70 persen sisanya masuk ke kas UEFA.

Bagi klub besar, jumlah tersebut tidak sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan.

Ketiga, UEFA juga dianggap sebagai entitas korup. Penangkapan Michel Platini, bintang tim nasional Prancis era 1980-an yang pernah menjadi Presiden UEFA akibat korupsi, menjadi bukti sahih betapa korupnya organisasi ini. Hal itu sendiri tak bisa dimaklumi lagi.

Setali tiga uang dengan petinggi klub, bagi saya yang merupakan seorang fans sepakbola, UEFA merupakan entitas tamak. UEFA bereaksi keras jika menyangkut profit.

Namun ketika berkaitan dengan rasisme, UEFA hanya melakukan kampanye kosong tanpa aksi.

Dengan semua motif itu, memang sudah selayaknya klub-klub besar Eropa melawan UEFA.

Salah satu cara perlawanan itu adalah memunculkan menggelar European Super League. Ajang ini dapat menampar wajah UEFA dengan keras.

Jika European Super League benar terlaksana pada masa depan, para bos klub elite membuktikan bahwa mereka mampu menyelenggarakan kompetisi megah tanpa campur tangan UEFA.

Bagi saya, semua pihak yang terlibat dalam European Super League pasti diuntungkan.

Klub peserta mendapatkan uang, perusahaan-perusahaan sponsor meraih perhatian penggemar, dan tentu saja, penggemar dapat menikmati hiburan.

Pertandingan antara Barcelona melawan Juventus, Manchester City kontra AC Milan atau Real Madrid melawan Manchester United di European Super League tentu lebih menarik dibanding laga Benevento melawan Cagliari di Serie A atau Eibar versus Granada di La Liga, bukan?

Menurut saya, fans yang kontra terhadap European Super League tak boleh terjebak dalam romantisme sejarah. Mari melangkah untuk melanjutkan kiprah.

Klub favoritmu tidak hidup dengan catatan sejarah di atas kertas. Klub butuh uang yang besar untuk memanjangkan napas, terlebih jeratan pandemi Covid-19 amat menyiksa.

Sejarah bisa ditulis ulang, sementara kesempatan menambang uang tidak bisa diabaikan. Romantisme dan sejarah itu hanya kenangan.

Jadi, European Super League merupakan sebuah ide brilian. Andai tak bisa diimplementasikan sekarang, mungkin lima tahun ke depan kita bisa menyaksikannya.

Komentar
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta, penggemar Arsenal dan AC Milan yang rindu tim favoritnya disebut sebagai tim besar. Bisa disapa melalui akun Twitter @__akhsan.