Roberto Mancini: Si Anak Emas yang Nakal

Berbakat, berprestasi, dan bengal. Dibenci lawan kadang juga rekan. Itu sekelumit gambaran persona Roberto Mancini ketika masih menjadi pemain. Sekilas mirip dengan Mario Balotelli. Tetapi, Roberto Mancini-lah dewanya. Merayakan gol dengan mencaci maki pers, menghina wasit secara terang-terangan di lapangan, hingga menolak diganti oleh pelatih. Di antara pemain-pemain seangkatannya, tak ada yang lebih “liar” dibandingkan apa yang diperbuat Mancini dalam karier bermain sepak bolanya.

Roberto Mancini merupakan salah satu species paling disegani dari ordo pemain sepak bola yang bengal dan berbakat fantastis di masanya. Kehebohan akibat skill dan kelakuannya di lapangan bisa disejajarkan dengan Eric Cantona. Tak heran pula ia dijuluki il Bambino D’oro yang artinya Si Anak Emas.

Pada masa mudanya, sebelum menjadi pesepak bola pro, Mancini benar-benar memulai karirnya dari bawah. Dia sempat menjadi supir bus tim juniornya, anak gawang, dan tukang bersih-bersih peralatan klub. Ia dikenal sebagai pemuda giat dan ulet. Tetapi setelah masuk ke dunia sepak bola profesional, Mancini bermetamorfosis menjadi pemain yang hebat sekaligus pribadi yang menjengkelkan di lapangan.

Kejengkelan yang diperbuatnya sudah ia tabur sejak menjadi striker utama Bologna pada usia 16 tahun. Saat itu ia merengek minta nomor punggung 10. Bayangkan, usianya baru 16 tahun dan berada di klub profesional pertamanya, ia sudah berani meminta nomor punggung yang dianggap “keramat” bagi sepak bola Italia, bahkan dunia. Namun, ia membuktikan bahwa dia pantas memakai nomor punggung itu dengan mencetak sembilan gol dalam 30 pertandingan.

Sayang, gol-golnya tak dapat menyelamatkan Bologna terdegradasi ke Serie B. Akhirnya setelah hanya setahun di Bologna, Mancini direkrut oleh Sampdoria, klub di mana ia akan meraih banyak prestasi dan diirngi dengan kontroversi yang semakin menjadi-jadi. Pada musim pertamanya, potensi yang ia miliki sempat mampet karena ia ditempatkan di posisi yang tidak sesuai dengan bakatnya, yaitu striker utama. Dan di ruang ganti ia dijauhi para seniornya, mereka menjauhi Mancini karena menganggap Mancini arogan dan tak tahu diri.

Mancini pun pernah berkata, “saya pindah dari Bologna ke Sampdoria saat berusia 17 tahun dan sudah merasa permainanku lebih bagus dari para pemain lainnya,” ujarnya. Pernyataan itu mengundang kedengkian para seniornya.

Lalu masalah berlanjut. Pada umur 18 tahun, Mancini kedatangan rekan baru asal Inggris yaitu Trevor Francis. Francis saat itu berposisi sebagai penyerang dan Mancini mulai merasa posisinya terancam dengan kedatangan Francis, lalu saat sesi latihan ia memulai perkelahian dengan Trevor Francis.

BACA JUGA:  Kapitalisme Semu dan Kegagalan Swastanisasi Sepak Bola Indonesia

Dalam wawancaranya dengan TheGuardian, Mancini berkata, “Saya lupa dengan kejadian itu, yang pasti itu terjadi sekitar empat sampai lima kali, dan perkelahian itu berjalan dengan sangat hebat,” ujarnya. Dia lalu menambahkan, “itu memang terjadi beberapa kali dalam hidup saya, tetapi setelah itu terjadi, ya sudah semua selesai.”

Selain itu, Mancini dikabarkan juga pernah berselisih paham dengan Liam Brady, rekannya di Sampdoria yang juga berasal dari Irlandia, dan perselisihan di lapangan latihan itu merambat hingga ke perkelahian.

Banyaknya masalah dan seretnya keran gol Mancini membuat fans gerah. Meskipun mereka tahu sentuhan Mancini dapat menjadi pembeda tetapi mereka merasa regresi berlebihan yang ditimbulkan Mancini dapat berimbas pada performa tim.

Setelah kontroversi pada musim awalnya, Presiden Sampdoria Paolo Mantovani mendatangkan pelatih asal Yugoslavia, Vujadin Boskov, untuk mengeksplorasi bakat Mancini. Kedatangan Boskov dibarengi dengan kedatangan Gianluca Vialli, yang nantinya bakal menjadi duetnya. Kemudian hari kerja sama keduanya ini dikenal sebagai Gemelli De Goal atau duet gol kembar.

Di bawah asuhan Boskov, Mancini dapat mengeluarkan seluruh kemampuan yang ia miliki karena Boskov menempatkannnya di posisi favoritnya, yaitu penyerang lubang. Di masa-masa ini pula Mancini merengkuh berbagai prestasi antara lain Coppa Italia 1988 dan 1989, Piala Cup Winner 1990, Serie A 1991, dan runner-up Piala Champion –sekarang Liga Champion— 1992.

Pada tahun-tahun terakhirnya di Sampdoria, ia masih sempat menimbulkan masalah lagi yakni ketika ia dikabarkan menyerang juniornya, Juan Sebastian Veron. Gelandang asal Argentina itu dihardiknya dan dikata-katainya di ruang ganti karena dianggap tidak becus mengoper bola kepadanya. Perdebatan sengit yang hampir menimbulkan perkelahian itu dilerai oleh Sven Goran Eriksson, penerus Vujadin Boskov.

Kabarnya insiden itu sampai membuat Veron pernah berkata kepada Eriksson bahwa dirinya tak akan bermain sepak bola apabila ia masih akan bertemu masalah seperti itu lagi.

Masalahnya tak hanya di level klub saja tapi juga di level internasional. Di timnas, Mancini melanggar jam malam yang ditetapkan oleh Enzo Bearzot ketika timnas Italia tur ke Amerika, yang mengakibatkan dirinya dicoret dari skuat Piala Dunia 1982. Di Piala Eropa 1988, ia merayakan gol ke gawang Belanda dengan berlari ke arah tribun media, dan melancarkan makiannya terhadap jurnalis-jurnalis yang dinilainya selalu memberitakan hal buruk tentang dirinya.

BACA JUGA:  Simone Inzaghi Out!

Tetapi, dari semua masalah yang ia perbuat yang paling menggemparkan adalah momen saat Sampdoria berhadapan dengan Inter Milan pada November 1995. Ketika itu, ia dianggap diving oleh wasit ketika terjatuh saat dilanggar pemain belakang lawan. Wasit seketika itu juga memberinya kartu kuning, Mancini tak terima dan mulai marah. Akan tetapi ia malah berselisih paham dengan Paul Ince. Selesai berseteru dengan Ince, ia kembali ke arah wasit dan memaki-makinya. Tidak berhenti di situ, Si Anak Emas lantas mencopot ban kapten sekaligus minta diganti oleh Sven Goran Eriksson. Masalahyang terhitung banyak hanya dalam satu momen singkat.

Selama 15 tahun membela panji Sampdoria, Mancini telah menorehkan momen-momen berkelas yang terkenang di memori para penggemarnya. Seperti tendangan Voli yang ia cetak melawan Ancona, tendangan gunting memesona melawan Napoli, dan masih banyak lagi gol dan assist indah Mancini untuk Sampdoria. Coba saja tengok kanal YouTube yang berisi gol-gol Mancini, pasti anda mafhum mengapa ia menjadi anak kesayangan Paolo Mantovani –Presiden Sampdoria– meskipun kadang mengundang preseden buruk bagi klubnya.

Selama berseragam Sampdoria, Mancini total mencetak 173 gol dalam 563 pertandingan untuk Sampdoria. Lalu pada tahun 1997 ia pindah ke klub ibukota Italia, Lazio. Di Lazio, Mancini berhasil menorehkan scudetto pertama untuk klubnya, selain itu ia juga membawa Biancoceleste meraih trofi Piala Winners dan Piala Super Eropa, tak ketinggalan Coppa Italia .

Setelah empat musim menjadi prajurit Si Biru Langit, ia memutuskan bermigrasi ke Inggris, tepatnya di Leicester City. Leicester menjadi destinasi terakhir Mancio sebagai pemain, karirnya pun terbilang singkat di sana. Pria yang kini menjadi pelatih Inter Milan ini hanya mengecap empat pertandingan hingga akhirnya ditawari menjadi pelatih Fiorentina oleh Vittorio Cecchi Gori, Presiden Fiorentina ketika itu.

Roberto Mancini memiliki kemampuan olah bola di atas rata-rata, dan insting serta visi bermainnya pun bintang lima, akan tetapi perilakunya yang mudah marah, labil, dan arogan menjadikannya lebih pantas disebut sebagai Fantasista yang bermasalah.

Komentar
Jurnalis sekaligus penggemar Serie A yang tinggal di Solo. Dapat disapa dan diajak berdiskusi via akun Twitter @taufiknandito