Banyak pihak percaya bahwa kedatangan Jose Mourinho ke Old Trafford sebagai berita buruk yang menyebalkan. Jose, dipercaya akan datang sembari mewartakan cara bermain sepak bolanya yang terkenal reaktif dan pragmatis.
Eks asisten Bobby Robson semasa di Sporting Lisbon dan Barcelona ini ditakutkan akan membawa aura negatif ke dalam tubuh Manchester United yang sedang hangover berat selama dua musim terakhir di bawah komando sang filsuf hebat dari Amsterdam, Louis van Gaal.
Manchester merah terbelah. Sebagian menantikan sang Nabi dari Setubal keluar dari belenggu penganggurannya dan kembali meramaikan Liga Inggris musim depan sambil sesekali menghimpun berbagai data yang menyakinkan banyak orang bahwa Jose adalah orang yang tepat bagi United.
Sebagiannya lagi, berhari-hari mengumpulkan banyak data dan fakta negatif yang ditakutkan akan dibawa sang manajer flamboyan dari Portugal ke dalam iklim sepak bola Manchester United yang terkenal atraktif dan menghibur.
Karena sepak bola adalah ladang opini, semua menjadi sah-sah saja dilakukan dan diperdebatkan. Apalagi, ini menyangkut Jose Mourinho. Raja dari segala raja tentang sarkasme, kontroversi dan provokasi.
Pelatih ini yang mencolok mata Tito Villanova dan tidak merasa bersalah sama sekali setelahnya. Pria yang sama pula yang mengajarkan pemain-pemain Real Madrid aktif menggunakan siku dan lututnya untuk menghajar para liliput-liliput kecil milik raksasa Catalan di atas lapangan.
Begitu pula dengan Manchester United. Klub yang ditinggalkan Sir Alex Ferguson tiga tahun lalu ini adalah salah satu klub tersukses dan terkaya di Inggris bahkan Eropa dan dunia. United besar dengan sejarah dan gelimang gelar. Kejayaan yang membuatnya dipuja dan dibenci.
United bukan si baik hati yang menyenangkan. Ia begitu dominan dan digdaya, menjadikan barisan suporternya bagai sekelompok individu megalomaniak yang berkomplotan dan membentuk satu kelompok besar megalomaniak dalam skala masif.
Ini menjadikan keduanya saling melengkapi satu sama lain. Dua megalomaniak dalam satu entitas. Dari segi apa pun, Manchester United begitu serasi bagi Jose.
Keduanya besar dan hebat. Memiliki citra yang kepalang berkilau dan luar biasa terkenal. Dikenang banyak orang pada era modern sebagai yang terhebat dari yang paling hebat.
Manchester United dipuja dari segala pelosok. Anda akan dengan mudah menemui suporter United setiap berkenalan dengan orang baru di mana pun. Pun begitu dengan Jose Mourinho, yang kilau sinarnya sampai membuat Menpora Republik Indonesia kepincut untuk menjadikannya pelatih kepala di timnas senior.
Dijelaskan dengan pendekatan dan analogi apa pun, Jose dan United adalah dua sosok pria dan wanita yang ditakdirkan menjadi satu di pelaminan. Keduanya melengkapi, mengisi satu sama lain dan akan menjadi pasangan yang serasi.
Kebetulan, Jose diangkat resmi sebagai manajer Setan Merah tepat di hari peringatan kemenangan bersejarah Manchester United di final Liga Champions Eropa di Camp Nou tahun 1999 lalu. Hari yang sama pula ketika Jose Mourinho mengangkat trofi Liga Champions bersama Porto tahun 2004 silam.
Semesta sudah mendukung kedua makhluk arogan ini bertemu dan memadu kasih dalam altar suci Old Trafford mulai musim depan. Sebuah narasi akan cinta yang tepat waktu.
Tapi…
Jose memang orang yang tepat bagi United dan United tim yang tepat bagi Jose, tapi pertanyaannya, apakah United menginginkan The Special One sebagai pelatih untuk dua-tiga musim atau sebagai penguasa otoriter selama belasan tahun seperti Alex Ferguson?
Era sepak bola modern melahirkan pelatih hebat dengan fakta unik akan loyalitas mereka yang tidak begitu baik. Pelatih hebat macam Marcelo Bielsa, Pep Guardiola bahkan Jose Mourinho sekalipun, tidak pernah menangani satu tim lebih lama dari tiga atau empat tahun. Loyalitas bukan sesuatu yang mudah ditemui dewasa ini.
Pelatih berkaliber juara selalu ingin tantangan dan loyalitas bersama satu klub tertentu tidak memenuhi ambisi itu.
Masalahnya, penyakit kronis di tubuh Manchester United adalah mereka kehilangan identitas sebagai sebuah tim sepak bola yang pernah besar dulunya. Mereka seperti anak muda limbung yang bimbang menentukan masa depannya usai berakhirnya rezim si Tangan Besi dari Skotlandia.
Manchester United memasuki masa reformasi usai rezim panjang selama lebih dari 20 tahun tahun. Masalah ini juga yang mungkin akan menghantui Arsenal jikalau Arsene Wenger kelak pensiun.
Ada periode transisi di situ. Ada proses pencarian jati diri yang mengusik performa pemain di lapangan. Dan kalau jati diri klub yang United cari, Jose jelas bukan jawaban yang tepat.
Suami dari Matilde Faria ini adalah pelatih jenius, dengan kemampuan menghadirkan kemenangan dan gelar juara dalam waktu singkat. Ia seperti jin pesugihan di Gunung Kawi yang bisa membuat seorang pedagang miskin di pelosok desa berubah menjadi taipan beras yang kaya raya di kota besar.
Fakta ini cocok dengan United karena semboyan Glory-Glory yang diusung tim tetangga Manchester City ini cocok dengan filosofi permainan Jose yang mengutamakan hasil ketimbang proses.
Tapi begini, bagaimana kalau setelah dua atau tiga tahun, Jose tak mampu mempertahanankan dinastinya dan runtuh seperti yang pernah dialaminya di Chelsea dan Real Madrid?
Rekam jejak Jose menunjukkan itu semua. Bukan suatu kebetulan kenapa Johan Cruyff dan beberapa petinggi Barcelona menolak menunjuk Jose Mourinho, sang juara Eropa bersama Porto dan juara Inggris bersama Chelsea sebagai pelatih Barcelona pada 2007 lalu, hingga akhirnya mereka condong memilih pelatih muda ingusan dari La Masia, Pep Guardiola. Coincidence is logical, isn’t it?
Pengangkatan Jose sebagai manajer United rawan dengan potensi kejayaan yang semu dan fana. Belum lagi mengingat iklim sepak bola di Inggris yang semakin kompetitif belakangan ini.
Antonio Conte akan mengisi kursi di Chelsea, adik seperguruan Jose di Catalan, Pep Guardiola akan menahkodai Manchester City. Masih ditambah dengan Italiano gaek di Leicester, Claudio Ranieri, yang kembali bertaji musim ini. Dan jangan lupakan musuh abadi Jose, sang kakek tua dari Strasbourg, Arsene Wenger.
Semua hal di atas memang masih bersifat prediktif dan belum memberi garansi apa pun tentang karier Jose di Old Trafford ke depannya nanti. Semesta sudah menggoreskan takdirnya untuk mempertemukan pria Setubal dengan cintanya dari kota Manchester.
Sekali lagi, Jose adalah pelatih bermental juara dan seorang pemenang sejati dan United membuat kesepakatan yang bagus sekaligus rawan dengan mengangkat Sang Iblis dari Iberia sebagai manajer musim depan.
Agar perlu diingat bahwa kesepakatan yang dibuat dengan iblis, tidak pernah berjalan mulus. Tapi, kalau kesepakatannya melibatkan dua iblis dalam satu entitas, mungkin, hasilnya bisa berbeda.
Senada dengan tulisan Darmanto Simaepa, saya ikut bergidik ngeri membayangkan pria Setubal ini membangun rezimnya di istana megah Old Trafford untuk jangka waktu yang lama.