Filippo Inzaghi Sebelum Anda Mengenalnya

AC Milan's forward Filippo Inzaghi (C) celebrates scoring against Real Madrid during their Champions League Group G football match on November 3, 2010 at San Siro stadium in Milan. AFP PHOTO / OLIVIER MORIN

Filippo Inzaghi kini tengah merintis jalannya sebagai pelatih. Setelah gagal di AC Milan, Inzaghi mengambil pekerjaan melatih di klub yang berkompetisi di Lega Pro (level ketiga dalam piramida kompetisi sepakbola Italia), Venezia pada tahun 2016.

Pippo, panggilannya, ternyata berhasil membawa klub yang bermarkas di Stadion Pierluigi Penzo ini promosi ke kompetisi Serie B hanya dalam waktu setahun.

Namun ketimbang membicarakan kiprahnya sebagai pelatih, rasanya publik masih lebih senang membahas sepak terjang penyerang berjuluk Super Pippo ini ketika masih bermain. Ya, kita masih saja kerap membandingkan penyerang-penyerang masa kini dengan Inzaghi yang sudah pensiun sejak 2012.

Ketika melihat seorang penyerang sering mencetak gol lewat bola muntah, nama Inzaghi yang teringat. Begitu pula ketika melihat penyerang yang sering terjebak offside atau banyak melakukan diving, nama Inzaghi-lah yang menjadi junjungan.

Reaksi kita juga akan sama jika menyaksikan penyerang yang tidak memiliki teknik mumpuni dan tidak mengindahkan estetika dalam bermain. Ini menunjukkan bahwa Inzaghi, dengan segala atribut yang dimilikinya, adalah sosok ikonik dan sulit dilupakan.

Label sebagai penyerang tak berteknik sudah kenyang diterimanya. Para maestro seperti Johan Cruyff atau Sir Alex Ferguson pernah menyebutnya tidak bisa bermain sepakbola dan terlahir di posisi offside. Akan tetapi, para mantan pemain yang pernah menjadi lawannya mengomentari hal yang berbeda.

Jamie Carragher, eks bek Liverpool menyebut Pippo sebagai penyerang yang paling sulit dijaga, sementara Roberto Carlos, yang kerap menghadapinya ketika berbaju Inter Milan menyebutnya sebagai seorang pemain yang mampu memberi solusi di tengah kebuntuan timnya.

Tetapi dari komentar-komentar itu, memang tidak ada yang memuji kualitas teknik yang dimiliki Pippo sebagai penyerang. Yang ada, Pippo dinilai hanya pemain beruntung. Cruyff pun melanjutkan penilaian kepada Pippo sebagai “pemain yang tidak bisa bermain sepakbola” dengan tambahan atribut “ia hanya berada di posisi yang tepat.”

Saya tidak hendak menjadi orang kesekian yang membela Pippo sekaligus menjelaskan bahwa kita perlu melihat sisi lain untuk lebih menghargai Pippo. Rasanya seluruh penggemar sepakbola sudah paham bahwa sebagai penyerang, satu-satunya kelebihan Pippo yang tak terbantahkan adalah catatan gol.

Inilah yang membawanya terus bertahan di level tertinggi hingga berhasil mencetak lebih dari 300 gol sepanjang karir, juga memenangi berbagai trofi bergengsi di level klub.

Mencoba membahas Pippo dari sudut pandang teknis bermain bola, saya ingin mengatakan bahwa bahwa Pippo bukanlah pemain dengan skill buruk. Justru, Pippo sebetulnya seorang penyerang komplet seperti halnya penyerang lain.

Saya ingin mengajak teman-teman sekalian untuk menonton video kompilasi gol-gol yang dicetak Pippo pada era sebelum ia dikenal luas. Secara spesifik, saya menyarankan untuk melihat cuplikan gol-gol Pippo saat memperkuat Atalanta pada musim 1996/1997.

BACA JUGA:  Andakara Prastawa: Si Anak Ajaib dari Indonesia

Jika sudah selesai melihat 24 gol yang dibuat Inzaghi pada musim itu, semoga saja penilaian teman-teman akan sedikit berubah. Teman-teman tentu melihat sendiri bahwa gol-gol yang menjadikan Pippo sebagai topskor Serie A saat itu amat variatif prosesnya.

Tidak seperti yang kita ingat semasa ia bermain di Juventus atau Milan, ketika gol-gol yang dibuat Pippo tercipta dari jarak dekat melalui proses tap-in, menyambut umpan silang, atau mencocor bola muntah.

Namun kala bermain di Atalanta, Pippo mampu mencetak gol nyaris dengan segala cara. Meski gol-gol dari jarak dekat masih mendominasi, namun Pippo juga kerap mencetak gol melalui tendangan jarak jauh, tendangan first time, bahkan ia pernah membobol gawang lawan lewat eksekusi tendangan bebas!

Pippo juga mampu mengawali golnya lewat akselerasi dan dribel yang cukup sulit dilakukan. Gol-gol semacam ini tentu hampir tidak pernah kita saksikan pada fase karir di mana kita semua mengenal Pippo di Juventus dan Milan.

Ini sebetulnya mengindikasikan bahwa Pippo adalah seorang pesepakbola yang baik. Artinya, setidaknya teknik-teknik dasar yang wajib dimiliki seorang pemain yang berkompetisi di level tertinggi sudah dipunyai.

Tentunya sulit bagi pesepakbola yang buruk untuk dapat mengelabui kiper sekaliber Petr Cech atau Pepe Reina dalam duel satu lawan satu.

Adaptasi cara bermain Pippo

Teknik tinggi yang dimiliki Pippo memang terlihat jelas sewaktu ia memperkuat Atalanta. Pada saat itu, usia Pippo masih 23 tahun. Artinya, energi yang dimiliki kakak dari Simone Inzaghi ini masih melimpah.

Sebagai contoh, ia dapat melakukan akselerasi dari pinggir lapangan lawan lalu membawa bola ke tengah dan melepas tendangan keras tanpa kesulitan. Padahal Pippo yang kita tahu tidak dikenal dengan tendangan kerasnya.

Kedua, faktor Atalanta sendiri yang notabene klub papan tengah. Emiliano Mondonico, yang kala itu menjadi pelatih kesebelasan berjuluk La Dea ini memberi kebebasan pada Pippo untuk menjadi tumpuan utama serangan.

Ketika timnya melakukan serangan, Pippo kerap menjadi bagian di dalamnya, tidak sekadar menunggu di kotak penalti lawan.

Dengan demikian, terbukalah ruang untuk melakukan akselerasi dan memperlihatkan skill. Bersama Gianluigi Lentini dan Domenico Morfeo yang menjadi rekannya saat itu, Pippo betul-betul seorang pemain yang berbeda.

Torehan cemerlang di klub semenjana tentu saja mengundang perhatian dari klub-klub besar. Adalah Juventus yang mengangkutnya semusim kemudian.

Bermain di tim besar tentu saja berbeda. Di Juventus saat itu bercokol Zinedine Zidane, Alessandro Del Piero, Angelo Di Livio, Vladimir Jugovic, dan lainnya. Nama-nama ini adalah jaminan mutu terciptanya kreativitas.

Berada satu tim dengan mereka, Pippo tidak lagi dituntut sebagai kreator, ia kini “tinggal” menyelesaikan kreasi yang telah disusun oleh para jenius tadi.

BACA JUGA:  Torino dan Usaha Mengulang Kejayaan

Bagai gitaris handal yang memainkan pertunjukan bersama bersama gitaris handal lain, Pippo pun rela (dan terpaksa) mengurangi bagian-bagian yang menonjolkan solo gitar yang akan membuatnya menjadi pusat perhatian.

Ia juga rela mengurangi volume di sebagian durasi lagu, tetapi ia akan selalu siap ketika dibutuhkan. Ya, ketika berada di lapangan selama 90 menit, memangnya berapa puluh menit interaksi Pippo dengan bola? Mungkin tidak sampai 10 menit.

Tetapi ia tetap sabar menunggu, terus berlari dan mencari. Mencari posisi yang pas, menunggu lawan lengah, menunggu penjagaan longgar, baru kemudian mencetak gol.

Adapt or die” mungkin menjadi prinsip yang dipegang Pippo sejak saat itu. Sadar bahwa tuntutan kepadanya adalah mencetak gol, ia pun terus mengasah kemampuan mencetak golnya.

Pippo termasuk pemain yang paling rajin menonton video pertandingan lawan untuk mencari kelemahan mereka. Gol telah menjadi obsesinya. Maka tidak mengherankan pula jika ia sering terlihat egois dan jarang membagi bola kepada rekannya.

Ketika masanya di Juventus telah habis seiring kedatangan David Trezeguet yang lebih muda dan meyakinkan, adalah Milan yang melihat kelebihannya. Meski harus membayar 35 juta euro plus Cristian Zenoni (amat tinggi saat itu), dan Pippo telah berusia 28 tahun, namun Milan melalui pelatih Carlo Ancelotti yang baru bergabung, percaya bahwa Pippo adalah tandem yang pas bagi Andriy Shevchenko.

Sisanya adalah sejarah. Di Milan, Pippo bermain selama 11 musim, mencetak 126 gol dan merebut banyak trofi bergengsi hingga pensiun di usia 39 tahun. Hebatnya, hingga menjelang pensiun pun peran Pippo tidaklah kecil dengan rasio gol yang masih terpelihara tinggi.

Sosok Pippo yang terlihat ringkih pun mampu bertahan selama mungkin di level tertinggi. Ketika mencetak dua gol di babak final Liga Champions tahun 2007 ke gawang Liverpool, usianya sudah 34 tahun.

Bahkan ketika terjadi pergeseran dan aneka modifikasi taktik yang menuntut para penyerang untuk berperan lebih banyak dalam proses membangun serangan dan menjadi tembok awal pertahanan, para pelatih Pippo pun masih kerap memasangnya, karena dengan begitu setidaknya ia menghadirkan ancaman gol dengan tingkat kepastian yang tinggi.

Bagaimanapun cara sebuah tim bermain, bukankah terciptanya gol tetap menjadi tujuan utama?

Kebetulan, Pippo pada tanggal 9 Agustus ini berulang tahun ke-44. Jika musim depan kembali cemerlang bersama Venezia, mungkin saja para penggemar sepakbola akan mulai lebih sering membicarakan kiprahnya sebagai pelatih, ketimbang sebagai pemain.

Selamat ulang tahun, Pippo, dan semoga segera kembali ke Serie A!

Komentar
@aditchenko, penggemar sepak bola dan penggiat kanal Casa Milan Podcast