Ada banyak mereka yang terlupakan dalam sejarah. Dan di London, sebagaimana dilansir BBC, ada sebuah makam tanpa nama yang di dalamnya berbaring seorang legenda dengan jasa yang besar.
Keluarga sang legenda berusaha membuat dunia mengingat lagi namanya. Kampanye untuk membuat memorial park untuk mengapresiasi jasanya pun telah dilakukan.
Nama-nama seperti Johan Cruyff (sebelum beliau wafat), Luis Figo, Oliver Kahn, Gareth Bale, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, David Beckham, Franz Beckenbauer, Jamie Carragher, Andrea Pirlo, Paolo Maldini, dan figur-figur idola yang jumlahnya kurang lebih empat puluh pemain, juga turut serta dalam fundraising dengan menyumbangkan kostum bertanda tangan untuk dilelang.
Begitupula dengan Professional Football Association (PFA), yang mencoba memberikan apresiasi kepada anggota PFA generasi pertama. Pula Presiden Barcelona, Josep Maria Bartomeu, yang sempat menyanjung dirinya. Seorang pahlawan dan takkan dilupakan dari klub yang memiliki moto mes que un club – lebih dari sekadar klub.
Bartomeu mengatakan bahwa klub ini dibangun dengan sejarah yang besar dan Barcelona takkan melupakannya, meski “sang legenda” bukan figur yang populer di mata fans masa kini.
Apa yang dikatakan Bartomeu memang berdasar. Patrick O’Connell sudah jelas takkan masuk dalam daftar manajer yang mengubah sejarah Barcelona oleh fans masa kini.
Jika ditanya siapa, tentu nama seperti Johan Cruyff, Frank Rijkaard, Pep Guardiola, hingga Luis Enrique akan masuk. Tidak ada ruang untuk Patrick O’Connell masuk dan akan diidolakan penggemar masa kini.
Ada jarak yang sangat jauh antara masa Patrick O’Connell dan Barcelona modern. Namun, tanpa Patrick O’Connell, takkan ada FC Barcelona di masa kini. Dan atas itu semua, perjuangan untuk melawan lupa ini dilakukan.
***
Patrick O’Connell memulai kariernya sebagai pemain Belfast Celtic. Lalu, ia kemudian dikenal sebagai kapten Manchester United medio 1915 hingga 1917. Beliau menjadi kapten di masa yang tak membanggakan. Masa di mana Liverpool dan Manchester United terlibat dalam sepak bola gajah pada 2 April 1915.
Saat itu, United butuh menang untuk lolos dari zona degradasi, dan Liverpool membiarkan United menang demi taruhan di bandar judi. Ketika United menang dalam laga yang disebut sebagai most controversial derby ever oleh Guardian, Patrick O’Connell termasuk dalam nama yang dicurigai sebagai lakon pengaturan skor.
Hukumannya tak tanggung-tanggung. Patrick O’Connell dihukum seumur hidup tak boleh bermain sepak bola oleh FA. Meski kemudian hukuman ini dicabut, mengingat FA sendiri mempertimbangkan para pemain memang butuh uang di saat-saat sulit menjelang Perang Dunia I.
Seluruh aktivitas sepak bola memang dihentikan akibat Perang Dunia. Patrick O’Connell sempat kesulitan menemukan klub baru. Alasannya, karena politik ras terhadap kaum Irlandia. Oleh sebab itu, ia harus merelakan diri bermain di Dumbarton, Skotlandia, lalu menuju Ashington sebagai seorang player-manager.
Kemudian, ia memilih merantau setelah berpisah dengan istrinya karena urusan ekonomi. Gajinya tak cukup untuk memberi makan empat anak dan satu istri. Setelah bercerai, ia hijrah ke Racing Santander pada 1922 dan mencari peruntungan baru di Spanyol.
Bersama Racing Santander, O’Connell berjaya. Ia mempersembahkan lima piala kejuaraan regional, sebelum turut serta membidani kelahiran La Liga pada tahun 1928. Kariernya berlanjut bersama Real Oviedo sebagai manajer selama dua tahun. Dan kemudian hijrah ke Real Betis, yang saat itu berada di divisi dua.
Di sini, julukan Don Patricio melekat kepadanya. “He changed everything at the club,” kata Julio Jiménez Heras, Public-Relations Officer. Lebih lanjut lagi, ia menjabarkan bagaimana Don Patricio membangun Real Betis menjadi klub yang mampu menyaingi dominasi Real Madrid di La Liga kala itu.
Bagi Julio Jiménez Heras, yang istimewa dari Don Patricio adalah sikap dan sosoknya yang begitu profesional. Taktik dan perencanaan kebugarannya merupakan sesuatu yang baru bagi zaman itu.
Seisi kota juga sangat mencintai Don Patricio atas karakter, kehangatan, dan karisma yang ia pancarkan. Kota Sevilla sudah seperti rumah kedua baginya.
Satu tahun setelah menjabat sebagai manajer, Don Patricio membawa Real Betis promosi ke La Liga pada 1932. Tiga tahun kemudian, tepatnya musim 1934/1935, Real Betis menjadi juara baru La Liga.
Tidak ada pemain bintang di sisi Real Betis kala itu. Dengan tujuh pemain Basque dan sisanya pemain lokal Spanyol, Don Patricio berhasil mengalahkan Real Madrid, yang di masa Jenderal Franco, sangat superior.
Sikap yang rendah hati, pula profesional membuatnya dicintai Real Betis. Ia membangun sebuah harmoni dalam tim dengan etos kerja luar biasa. Jasanya masih sangat dikenang.
Tahun lalu, bertepatan dengan perayaan 80 tahun juara La Liga pertama kali, Real Betis merayakannya bersama para penggemar sekaligus mengingat tahun-tahun yang bergemuruh bersama Don Patricio.
Peringatan tersebut dirayakan dengan sebuah laga, antara Real Betis melawan Racing Santander. Kedua klub merayakan seremoni sederhana untuk mengenang sang legenda.
Kesuksesan Don Patricio memikat Barcelona, yang kemudian mengontraknya. Ia sendiri memang menginginkan Barcelona. Bahkan, ia pernah mencoba menawarkan diri lewat sebuah surat pada tahun 1931. Celakanya, surat itu malah tak pernah sampai karena campur tangan presiden Racing Santander yang saat itu pro-Franco.
Namun, mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan. Sayangnya, Don Patricio menjadi manajer Barcelona di masa-masa sulit. Sebuah masa di mana El Barca hampir “punah” akibat perang saudara di Spanyol.
Masa tersebut adalah masa yang sulit bagi kota Barcelona secara keseluruhan. Juli 1936 adalah tahun yang sulit. Ekonomi mereka dilumpuhkan, yang berarti finansial klub takkan berjalan karena liga yang mati.
Hanya ada liga regional Catalunya, dan itupun diintervensi perang. Beberapa pemain bintang mereka, seperti Enrique Fernandez dari Uruguay, dan Elemer Berkessy dari Hungaria, dimaklumi jika tak kembali ke klub karena situasi politik yang kacau.
Hal ini diperparah dengan Josep Sunyol – Presiden Barcelona kala itu, sekaligus aktivis kemerdekaan Catalunya – dibunuh para simpatisan Franco. Klub juga memaklumi jika Don Patricio tak kembali dari liburannya di Irlandia.
Namun hebatnya, Don Patricio kembali dan tetap profesional. Sayangnya, situasi Barcelona kian sulit ketika tanda-tanda kebangkrutan makin nyata. Beruntung, pada tahun 1937, Manuel Mas Soriano, yang menyaksikan klub idolanya tetap ingin bertahan hidup, menawarkan sesuatu: sebaiknya mereka menggelar pra-musim di Meksiko.
Don Patricio sendiri harus membujuk pemainnya untuk rela pergi jauh dari Barcelona untuk menyelamatkan klub. Ia berhasil. Sebanyak 16 pemain dan staf berlayar ke Meksiko. Enam laga mereka mainkan di Meksiko.
Lalu, Barcelona bergerak ke New York dan memainkan empat laga. Hasil dari laga tersebut cukup untuk membuat klub ini agar tak bangkut kala itu: 12,9 ribu dollar dikantongi Don Patricio.
Di akhir tur, hanya empat pemain yang kembali ke Barcelona. Ada yang menetap di Meksiko, pula di Amerika Serikat. Don Patricio sendiri memilih kembali ke Spanyol, meski tahu situasi politik sangat tak kondusif. El Barca berusaha kembali bermain di liga lokal dan berhasil menjuarai Liga Catalunya pada tahun 1938.
Setelahnya, ia pulang ke Irlandia, dan kembali lagi setelah Perang Dunia II untuk menukangi rival Real Betis, Sevilla. Namun, Don Patricio tak pernah berhasil menggapai kesuksesan serupa. Namanya meredup, dan diperparah dengan keuangannya sendiri yang makin sulit.
Pada tahun 1945, Real Betis yang mencintai Don Patricio, memberikan apresiasi dengan menggelar sebuah laga amal di mana keuntungan akan diberikan kepada sang legenda.
Tak lama, Don Patricio hijrah ke London dan menetap di rumah saudaranya. Ia bekerja sebagai National Assistant. Beberapa tahun kemudian, Don Patricio wafat pada tahun 1959 karena pneumonia. Don Patricio dimakamkan, dalam sebuah makam yang kini diperjuangkan untuk mendapatkan tempat yang lebih layak.
***
Friedrich Nietzsche, dalam buku Beyond Good and Evil pernah menjelaskan bagaimana kita patut jatuh cinta terhadap sosok protagonis.
Kita akan mudah mengagumi seseorang yang tak egois, rela berkorban, dan mampu bersusah payah demi orang lain. Namun, Nietzsche pula menyebutkan, ada sebuah kecenderungan seorang protagonis untuk memiliki akhir kisah yang ironi.
Dan itu yang terjadi pada O’Connell. Itulah risiko seseorang yang memegang prinsipnya sendiri.
Begitulah risiko menjadi protagonis. Kisah ini memang kebalikan dari kisah bahagia. Namun, sebagaimana Barcelona yang memuja keindahan, kisah Don Patricio akan tetap indah. Segendang sepenarian dengan napas Barcelona, Don Patricio juga bernapas dalam tarikan yang sama dengan klub yang bermarkas di Camp Nou ini.
Don Patricio membangun Barcelona dengan jerih payah, dalam jalur sunyi, agar generasi anak-anak Cruyff, Pep, hingga Luis Enrique mampu menghidupi sepak bola indah yang dibangun dari darah dan derita.
Real Betis menghormati Don Patricio dengan sebuah patung di sekitar Estadio Benito Villamarin, kandang mereka. Betis mengemulasikan tahun bahagia yang diberikan Connell itu dengan perasaan suka cita, dan bahagia tentu saja.
Tentu ini oase yang baik dalam ikhtiar melawan lupa bagi keluarga O’Connell. Saat ini, makam yang rata itu telah direstorasi, kendati belum sampai kepada tujuannya untuk membuat memorial park.
Kisah ini menunjukkan bahwa sepak bola sungguh indah. Olahraga ini mengidolakan pahlawan, dan lebih dari itu, Patrick O’Connell telah menunjukkan bahwa ia seorang pahlawan sejati. Seorang pahlawan, yang kini haknya untuk dikenal dunia terus diperjuangkan.