Hilangnya Generasi Emas Sepakbola Kamboja

Lolos ke perempatfinal Piala Asia 1972 adalah capaian heroik bagi Kamboja. Siapa yang kala itu menduganya? Pasti tak ada. Di bawah hegemoni kekuatan absolut Thailand di kawasan Asia Tenggara serta label Macan Asia yang melekat pada Indonesia, Kamboja justru melompat tinggi dan memberi kejutan hebat. Semua mata pun mengarah kepada mereka. Seluruh radio di kota Phnom Penh berlomba mengabarkan.

Satu harapan baru bagi Kamboja meletup-letup dengan begitu hebatnya. Namun sayang, segalanya berjalan singkat karena lebih dahulu dihantam badai besar bernama ambisi masyarakat tanpa kelas oleh Partai Khmer Merah.

Sepakbola Kamboja di Tangan Pangeran Sihanouk

Layaknya orang-orang Brasil, Indonesia maupun Inggris, masyarakat Kamboja juga menggilai olahraga, khususnya sepakbola. Di sana, sepakbola berkembang bahkan jauh sebelum negara ini memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada 1953. Dalam catatan sejarah, mereka memulai laga internasionalnya di tahun 1933.

Tak berhenti sampai di situ, Kamboja pun berupaya membangun Phnom Penh Olympic Stadium sebagai persiapan guna menjadi tuan rumah South East Asian (SEA) Games. Namun sial, semuanya gagal diwujudkan sebab Kamboja dinilai belum aman.

Ambisi Kamboja atau lebih tepatnya Pangeran Sihanouk untuk menggelar ajang olahraga akhirnya terwujud setelah mereka ditunjuk sebagai tuan rumah The Games of The New Emering Force (GANEFO) edisi kedua pada tahun 1966. Kendati demikian, kejuaraan kali ini tak semeriah edisi pertama karena diikuti oleh negara-negara Asia saja lantaran wakil Afrika dan Eropa memilih absen.

Kecintaan sang pangeran akan sepakbola merambah hingga sendi-sendi masyarakatnya. Secara rutin pada dekade 1950 hingga 1960 mengadakan pertandingan antara pihak istana dengan angkatan darat. Anak-anak di Phnom Penh menyaksikan itu dengan penuh harap bahwa sepakbola telah mendamaikan negara mereka.

Pangeran Sihanouk bahkan mengundang Crvena Zvezda, kesebelasan top asal Eropa Timur pada masanya serta Josip Skoblar yang merupakan legenda tim nasional Yugoslavia (kini Serbia) guna melakoni partai persahabatan. Tujuan Pangeran Sihanouk melakukan itu adalah mengenalkan Kamboja kepada dunia.

Liga Kamboja pun pertama kali bergulir pada tahun 1965. Diisi oleh tim-tim staf kerajaan dan pemerintahan. Liga ini tidak berjalan ajeg lantaran kondisi keamanan Kamboja yang fluktuatif. Gejolak yang terjadi di negara tetangga, Vietnam, juga menghadirkan dampak signifikan.

Pen Sophat dan Generasi Emas Kamboja

Perjuangan Kamboja di Piala Asia 1972 sungguh tidak terduga. Mereka sanggup mengalahkan Hongkong dan Indonesia di babak kualifikasi. Tatkala putaran final di Thailand dihelat, Kamboja yang saat itu bernama Republik Khmer tampil eksepsional dan mendapat banyak pujian,

Terselip sebuah nama yang begitu dielukan publik Thailand kala Kamboja bermain melawan Iran di babak semifinal sebelum dikandaskan dengan skor 2-1. Stadion Nasional Bangkok Bergemuruh, padahal kala itu timnas andalan mereka belum bermain. Stadiun yang diisi kurang lebih 60 ribu penonton ini meneriakan satu nama, yakni Pen Sophat. Bahkan mereka menjulukinya sebagai Keng Kong Snack atau manusia ular lantaran aksi ciamiknya mengolah si kulit bundar.

Masuk dalam daftar Asian XI pada edisi yang sama, nama Pen sangat harum di Thailand. Bahkan salah satu klub ternama di Thailand pada saat itu, Rajpracha, mengkontraknya. Berbarengan dengan riuh kemajuan sepakbola Thailand dengan datangnya Santos, salah satu klub terhebat asal Brasil, Santos. yang saat itu dihuni oleh pemain-pemain hebat, tulang punggung timnas Selecao, Pelé, salah satunya.

Thailand pun dijadwalkan untuk mentas bersama Santos dalam tajuk persahabatan. Pen diundang, namun menjadi satu tanda tanya besar bahwasannya Pen adalah warga negara Kamboja. Dan baginya, kewarganegaraannya tidak akan dan tidak mungkin berubah. Pihak pelaksana pun menyiasati, Bangkok XI adalah nama yang pas. Hal ini disambut meriah masyarakat Thailand.

Kirby (2017:93) dalam bukunya yang berjudul The Blizzard – The Football Quarterly: Issue Twenty Four mencatat bahwa Pelé, pada salah satu media Thailand, berujar bahwa pemain bernomor punggung 7 adalah pemain terbaik malam itu. Dan nomor itu dalam kubu Bangkok XI, digunakan oleh Pen. Bahkan Pelé membandingkan gaya permainan Pen dengan legenda Brasil, Garrincha.

Pele dalam laga versus Bangkok XI. Sumber foto: Federasi Sepakbola Kamboja

Dongeng tentang ganasnya Pen tidak berakhir di laga tersebut. Bahkan satu generasi keemasan Kamboja dicatat dengan anggunnya dalam lini masa sejarah sepakbola mereka. Generasi emas ini memenangkan Piala Kemerdekaan Vietnam Selatan 1972 dan Piala Presiden 1973 di Korea. Kegemilangan Pen di pentas sepakbola Thailand, terutama bersama klubnya, Rajpracha, pun terus menyeruak.

Puncak karir Pen, lika-liku kegemilangannya dan kakinya yang bak ular sedang bergerak cepat merupakan aset terbesar Kamboja. Jika dunia kontemporer sekarang ini memiliki Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, masyarakat Kamboja saat itu memiliki Pen.

Pada era keemasan Pen, berbarengan dengan politik Kamboja yang sedang bergemuruh atas kudeta Lon Nol yang pro-Amerika atas kekuasaan Pangeran Sihanouk, Partai Khmer Merah akhirnya sukses merebut kekuasaan di tahun 1975 serta mengubah seluruh peradaban masyarakat Kamboja secara masif. Suka cita Pen beriringan dengan duka cita atas kabar tewasnya teman-teman Pen di tangan rezim Pol Pot.

Khmer Merah dan Penghapusan Sepakbola

Masyarakat Phnom Penh berteriak, entah untuk memohon ampun atau tidak percaya bahwa kedamaian yang diidamkan melalui sepakbola hancur dalam sekejap.

Terhitung sejak 17 April 1975, negara republik yang berubah menjadi Demokratik Kampuchea (Kamboja), serta Partai Komunis beraliran Maois bernama Khmer Merah yang berkuasa menghapus sepakbola sebab dianggap tabu. Paling menyayat hati, jika kita mengaku sebagai pemain sepakbola profesional, nyawa adalah taruhan.

Pol Pot sebagai perdana menteri ingin mengubah Kamboja menjadi negeri agraris absolut. Dilansir dari Historia, penduduk kota diharuskan pindah ke desa untuk menjalani kerja paksa. Semua kepercayaan, tradisi, budaya, dan interaksi dengan dunia luar dihapus. Mata uang, harta milik, akses, serta fasilitas perdagangan, pendidikan, dan kesehatan lenyap.

Para akademis seperti guru, ilmuwan, lalu para seniman, musisi, etnis minoritas, juga orang-orang yang berhubungan dengan pemerintahan terdahulu dibantai. Para pesepakbola menyembunyikan identitas mereka sebagai pemain profesional. Hal ini karena sepakbola dapat menarik masa karena kepopulerannya. Sepakbola dikhawatirkan menjadi suatu hal yang merekatkan dan menimbulkan perlawanan.

Neraka ini menyebabkan kelaparan massal di Kamboja. Mereka dipaksa bertani, makan seadanya dan berjuang melawan penyakit seperti malaria. Lolos dari spesifikasi “manusia yang harus dimusnahkan”, belum tentu aman bagi kita lantaran siksaan berikutnya lebih pedih. Bahkan, terdapat ladang genosida di daerah Choeung Ek, kota Phnom Penh, yang diberi nama Killing Field.

Jutaan rakyat Kamboja dihabisi dalam episode paling kelam ini. Tak terkecuali tulang punggung timnas di Piala Asia 1972. Misalnya saja Doeur Sokhom dan Lim Sak. Mereka meninggal dunia di tangan Partai Khmer Merah. Tak ada catatan lebih rinci tentang penyebab tewasnya mereka. Namun jika ditarik garis lurus, maka status mereka sebagai “orang berpengaruh” adalah penyebabnya.

Saat Pangeran Sihanouk masih berkuasa, status sebagai pemain sepakbola profesional adalah berkah tak terkira. Hal ini menjadi angan seluruh pemuda di Kamboja, bahwa ada harapan lain untuk sejahtera selain mengangkat senjata.

Sang pangeran bahkan menyediakan segala yang mereka inginkan sebagai atlet. Fasilitas pelatihan, perumahan, sampai gizi yang ditakar sesuai kebutuhan. Semua runtuh kala Pol Pot datang, mereka dipaksa bertani dan melupakan keahliannya dalam sepakbola.

Selepas era Khmer Merah

Pol Pot tidak hanya berhenti sampai di negaranya sendiri. Ia memerintahkan invasi ke perbatasan Vietnam. Dilansir dari Tirto, Vietnam mengerahkan kekuatan militer penuh dalam rangka penyerbuan ke jantung pertahanan Kamboja, termasuk dalam upaya merebut Phnom Penh.

Vietnam dibantu oleh Front Bersatu Kampuchean untuk Keselamatan Nasional (FUNSK), organisasi militan yang terdiri dari eks anggota Khmer Merah yang tidak sepakat dengan cara rezim Pol Pot mengelola Kamboja.

Khmer Merah dipukul mundur pada tahun 1979. Cukup singkat jika ditengok dari berapa tahun rezim ini berkuasa, namun jika bertanya tentang apa yang mereka tinggalkan, maka jawabannya adalah trauma menahun kepada masyarakat Kamboja.

Semuanya bak diulangi kembali. Segalanya berjalan dari nol, sepakbola tidak terkecuali. Ketimbang bermain bola, pada tahun awal pemulihan, semua masyarakat lebih memilih untuk mencari keluarganya yang masih selamat.

Tidak pernah stabil. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan sepakbola Kamboja. Beberapa masalah selalu ada, melekat begitu saja. Tentu Pol Pot dapat dituding sebagai biang keladi lantaran semua ini terjadi karenanya.

Membangun sesuatu yang hancur butuh proses yang panjang dan sulit, apalagi yang hancur adalah sepakbolanya. Ketimbang memikirkan sepakbola, mungkin fokus utama mereka adalah bertahan hidup, melepaskan trauma kesedihan yang menghinggapi sejak Perang Indocina hingga rezim Khmer Merah.

Mempertahankan napas mereka tetap berhembus, jantung tetap berdegup dan indera-indera mereka berfungsi adalah keutamaan. Masyarakat Kamboja menahan kaki dalam menendang bola selama kurang lebih empat tahun. Dihadirkan bersama siksaan dan ancaman tiap harinya. Keluarga mereka hilang, anak-anak mati di depan mata mereka sendiri, darah-darah adalah hal biasa selama periode kelam itu berlangsung.

Hanya Som Saran, Lors Sarakhan, Slayman Salim dan penjaga gawang cadangan Ouk Sareth dari generasi emas 1972 yang selamat. Tentunya Pen juga selamat, ia pada tahun 1977 pindah ke Prancis guna meneruskan karier sepakbolanya.

Dari beberapa generasi emas yang selamat, mereka kembali ke ranah sepakbola. Ada Som Saran yang berhasil selamat lantaran melarikan diri ke Vietnam dan bermain bersama Tây Ninh FC. Ia kembali ke timnas Kamboja antara 1982 dan 1985.

Ouk Sareth yang berupaya menghidupkan kembali olahraga di seluruh provinsi Siem Reap. Som Saran melatih tim nasional di awal tahun 90-an. Slayman Salim adalah asisten pelatih timnas pada tahun 2000-an serta melatih tim provinsi Koh Kong.

Pen Sophat, dilansir dari Phnom Penh Post, pada tahun 2015 hendak menyelesaikan karier kepelatihannya di Prancis dan akan pulang ke Kamboja untuk mengabdi. Ia bahkan tidak khawatir dengan kondisi finansial walau di Prancis pendapatannya lebih besar.

Liga kembali berjalan pada tahun 1982. Tahun itu seperti titik awal dalam membangun ulang fondasi dari reruntuhan yang tersisa. Mereka mencoba memupuk kembali peradaban sepakbola yang dibinasakan dengan kejinya.

Mereka kembali mentas di SEA Games 1995 di Thailand. Dihajar Indonesia 10-0, Thailand 9-0, Vietnam 4-0 dan Malaysia 9-0. Kamboja seakan kehilangan sentuhan, kehilangan era emasnya dan kehilangan kepercayaan dirinya.

Bayangkan saja jika Khmer Merah tidak pernah melakukan invasi, Kamboja akan bersaing secara serius dengan Thailand, Vietnam dan Malaysia. Liga mereka pun akan terus berjalan, Phnom Penh terus riuh dengan mengadakan kejuaraan besar lainnya.

Berandai-andai adalah sebuah lelucon di balik gejolak bernama penyesalan. Tidak ada kata yang tepat untuk mengubah sepakbola menjadi harapan dan cita-cita masyarakat Kamboja pasca-perang.

Kini, Phnom Penh Olympic Stadium selalu bergemuruh kala timnas Kamboja memainkan laga kandang. Disaksikan oleh puluhan ribu pasang mata, kebanyakan dari mereka adalah pemuda dengan semangat yang baru, didikan yang baik dan terlahir saat Kamboja lebih kondusif. Kebanyakan dari mereka, melihat Piala Asia 1972 bak mimpi yang pernah ada.

Dengan berselancar di mesin pencarian, mereka bisa tahu bahwa Kamboja, pada masa itu, pernah mengayam-ayami negara yang selalu menang besar atas mereka, Indonesia salah satunya.

Komentar

This website uses cookies.