Hitam dan Putih Claudio Marchisio yang Abadi

Sebagai salah satu klub top di Italia dan Eropa, nama Juventus sudah tak asing lagi buat para penggemar sepakbola. Kesebelasan asal Turin ini begitu rajin mencetak pesepakbola jebolan akademi yang di kemudian hari ditahbiskan sebagai legenda. Roberto Bettega, Giampiero Boniperti, dan Giuseppe Furino merupakan contoh nyatanya. Di luar nama-nama lawas tersebut, ada Claudio Marchisio yang pantas diapungkan.

Menyukai sepakbola sedari belia, Marchisio yang merupakan bocah asli Turin masuk ke akademi La Vecchia Signora pada tahun 1993 atau saat usianya baru 7 tahun.

Di sana, ia menempa kemampuannya agar sampai di titik tertinggi dan siap terjun ke dunia profesional. Awalnya, Marchisio berposisi sebagai penyerang. Namun seiring waktu, ia digeser ke pos gelandang dan mampu tampil lebih superior di situ.

Sayangnya, musim penuh perdana Marchisio di skuad Juventus malah terjadi saat klub dengan warna kebesaran hitam-putih itu mentas di ajang Serie B pada musim 2006/2007 usai didegradasi akibat skandal Calciopoli. Namun momen tersebut justru menjadi awal dari sejuta kisah hebatnya di Stadion Allianz Arena.

Di bawah arahan Didier Deschamps serta beraksi bersama Gianluigi Buffon, Alessandro Del Piero, Pavel Nedved, dan David Trezeguet yang memilih bertahan, Marchisio sanggup memperlihatkan performa gemilang. Ia menjadi motor di lini tengah dan membantu La Vecchia Signora kembali ke habitat asalnya usai menggenggam tiket promosi sebagai kampiun Serie B.

Akan tetapi, kebersamaan Marchisio dan Juventus dipaksa berhenti sejenak karena pada musim 2007/2008, manajemen memutuskan buat meminjamkannya ke Empoli bareng penggawa muda lainnya, Sebastian Giovinco. Pelatih Empoli saat itu, Luigi Cagni, menyambut hangat kedatangan dua pemain tersebut. Khusus Marchisio, ia bahkan melontarkan pujian.

“Marchisio adalah gelandang masa depan Italia yang penuh potensi dan mungkin, bisa jadi salah satu yang terbaik sepanjang masa. Ia memiliki segalanya, mulai dari kekuatan fisik, inteligensia, kecepatan hingga tembakan yang akurat”, ujar Cagni seperti dikutip dari calciomercato.

BACA JUGA:  Ribut-Ribut Oriundi

Mengusung misi sintas, pria setinggi 180 sentimeter ini bertransformasi jadi pilar andalan tim. Nahasnya, perjuangannya selama satu musim tak membuahkan hasil signifikan.

Empoli tetap terjerat degradasi karena cuma nangkring di peringkat 18, hanya tertinggal sebiji angka dari Catania yang duduk di posisi 17, spot terakhir bertahan di kasta teratas sepakbola Negeri Pizza.

Berbekal kemampuan yang kian matang, Marchisio ditarik lagi oleh Juventus per musim 2008/2009. Momen ini tak disia-siakannya karena pria kelahiran 19 Januari 1986 tersebut ingin menunjukkan kapasitasnya secara sungguh-sungguh sehingga dapat diandalkan oleh La Vecchia Signora.

Sedari saat itu pula, Marchisio mematenkan satu pos di ruang permainan Juventus kendati tim masih punya masalah di sektor stabilitas. Manakala klub yang ia perkuat cukup sering mengganti pelatih, Marchisio tak pernah tergeser dari tempat utama.

Ketika Antonio Conte masuk sebagai pelatih di musim 2011/2012, Juventus juga mendatangkan Andrea Pirlo serta Arturo Vidal untuk memperkokoh sektor tengah. Dalam formasi 3-5-2 kesukaan sang pelatih, Marchisio dipasangkan dengan Pirlo dan Vidal. Trio ini pun mendapat sebutan MVP, berasal dari huruf pertama nama ketiga pemain itu.

Tanpa tedeng aling-aling, mereka justru sukses menjadi kampiun Serie A untuk pertama kali sejak turun kasta. Capaian itu sendiri berlanjut hingga tujuh musim selanjutnya (termasuk saat ditukangi Max Allegri). Membuat curriculum vitae Marchisio begitu mengagumkan dengan torehan tujuh kali Scudetto, tiga kali jawara Piala Italia, dan empat kali memenangkan Piala Super Italia.

Walau tak semenonjol Pirlo, tetapi presensi Marchisio sangat diakui. Gaya bermainnya elegan tetapi penuh energi sehingga dikagumi banyak orang.

Ada yang membandingkannya dengan bekas gelandang Juventus maupun tim nasional Italia era 1970-an sampai 1980-an, Marco Tardelli. Lebih lanjut, Marchisio juga mengungkapkan bahwa gelandang Liverpool dan timnas Inggris, Steven Gerrard, sebagai salah satu panutannya.

BACA JUGA:  Buffon Bukan Malaikat

Usai mengantar Juventus merajai Italia, nama Marchisio semakin berkibar dan mendapat tawaran dari sejumlah klub mapan. Baik dari sesama kontestan Serie A seperti Inter Milan, maupun raksasa dari liga Eropa lain semisal Paris Saint-Germain (PSG), dan Real Madrid. Namun berulangkali dikait-kaitkan dengan klub lain, sang pemain selalu menampik.

“Ada kontak dengan manajemen Inter saat Jose Mourinho melatih di sana. Saya, selayaknya Francesco Totti atau Paolo Maldini, tumbuh sebagai pesepakbola untuk menggunakan satu seragam saja sedari kecil. Pun dengan tawaran Real Madrid ketika Fabio Capello menjabat sebagai pelatih. Namun saya memilih bertahan di Juventus yang merupakan tim yang amat saya cintai”, ujar Marchisio seperti dikutip dari footballitalia.

Bermandikan kesuksesan bersama La Vecchia Signora tak berarti ada kekecewaan yang Marchisio rasakan. Kegagalan menjuarai Liga Champions meski dua kali masuk final yakni di musim 2014/2015 dan 2016/2017 jadi sebuah penyesalan tersendiri.

Rasa cinta Marchisio yang begitu menjulang untuk Juventus, nahasnya tak selalu berujung mulus. Musim 2017/2018 menjadi periode terakhirnya mengabdi di Turin setelah ia dan pihak klub sepakat untuk menyudahi kerja sama.

Walau datang tawaran dari sejumlah klub di Italia, Marchisio senantiasa menolak. Ia tak mau mengenakan baju selain hitam-putih kepunyaan Juventus. Keputusan itu sendiri lantas membawanya jauh ke timur, tepatnya di Rusia, setelah menerima pinangan Zenit St. Petersburg dengan kontrak berdurasi dua musim. Namun kariernya pun tak berjalan lama karena Marchisio memutuskan pensiun usai membela Zenit selama semusim.

Nama Marchisio barangkali tak sementereng pemain bintang Juventus lain yang melegenda. Namun kesetiaan yang ia perlihatkan bagi La Vecchia Signora merupakan barang langka di kancah sepakbola masa kini. Sampai kapanpun, jiwa dan raga Marchisio bakal tetap hitam dan putih.

Komentar
Pengamat sepakbola amatiran. Penggemar Juventus, Bayern Munchen, Italia, dan Jerman. Bercita-cita menjadi jurnalis sepakbola. Dapat disapa via akun Twitter @hakim_pandaraya