Ketika Eric Cantona dan Zlatan Ibrahimovic sibuk meributkan siapa yang pantas menjadi raja di Manchester, saya hanya terkekeh dan mengulas senyum di dalam hati.
Keduanya jelas pemain hebat di generasi masing-masing. Cantona dengan kerah bajunya yang terangkat dan Zlatan dengan egoismenya yang seluas stadion Maguwoharjo itu.
Tapi kalau raja memiliki teritori mereka sendiri, raja di London jelas Thierry Henry. Chelsea boleh berbangga dengan Didier Drogba, Tottenham boleh menepuk dada dengan Les Ferdinand dan Teddy Sheringham.
Tapi hanya satu (terhitung dua kalau Dennis “The God” Bergkamp dihitung) pemain di era awal 2000-an yang bisa membuat Arsenal bermain rancak dan mewujudkan benar apa makna sepak bola cantik bagi publik Inggris yang barbar dan haus hiburan.
Datang sebagai pemain buangan dari Juventus, pemain berkepala botak lonjong mirip sayur kentang ini menjelma menjadi pencetak gol terbanyak Arsenal sepanjang masa melewati catatan Ian Wright.
Henry adalah prototipe penyerang modern yang kini tampak di sosok Lionel Messi atau Luis Suarez serta David Villa pada puncak kariernya. Apabila mengingat transformasinya yang brilian dari pemain sayap kiri lalu menjadi penyerang tengah, Henry mungkin mirip dengan pesona Cristiano Ronaldo saat ini.
Di masa 2000-an awal, tidak banyak penyerang kelas dunia yang hadir di Inggris selain Thierry Henry dan Dennis Bergkamp, yang kebetulan keduanya berseragam Arsenal. Saya garis bawahi dulu ya, kelas dunia.
Itu artinya, mereka tidak hanya bermain bagus di level klub saja, tapi juga memiliki catatan bagus kala bermain di level internasional. Banyak penyerang bagus memang di Liga Inggris saat itu. Andy Cole dan Dwight Yorke di Manchester United, Gianfranco Zola di Chelsea, atau Michael Owen yang baru mekar di Liverpool.
Tapi Henry istimewa karena ia adalah kombinasi dari kekuatan lari dan gaya menggiring bolanya. Kreatifitas tingkat tinggi di level teknik dan umpan imajinatif, hingga places shot fenomenal, dan kemampuan duel satu lawan satu.
Anda ingat berapa kali gawang Fabien Barthez, kiper Manchester United sekaligus kompatriotnya di timnas Prancis yang acap kali jadi bulan-bulanan gol fenomenal Henry? Atau dua ankle breaker beruntun Henry pada Dietmar Hamann dan Jamie Carragher yang mengantarnya mencetak empat gol ke gawang Liverpool?
Itu belum ditambah dengan gol solo run ciamiknya yang mempecundangi Real Madrid (utamanya Sergio Ramos dan Iker Casillas) dan di akhir mengirim Arsenal ke final perdana di Liga Champions Eropa 2005/2006 sebelum ditekuk Barcelona di final.
**
Saya suka Bergkamp, ia adalah perwujudan bahwa sepak bola tidak hanya soal ketahanan fisik dan kekuatan kaki, tapi juga imajinasi dan fantasi. Tapi Henry, sederhananya, adalah kombinasi semua hal tadi dalam satu paket.
Andai mau menggunakan analisis sederhana kenapa Arsenal masih juga puasa gelar liga usai unbeaten 2003/2004 lalu, kegagalan Arsene Wenger menemukan kembali sosok penyerang sekaliber Henry adalah kepingan yang luput dari pengamatannya.
Henry adalah penyerang Arsenal pertama sepanjang sejarah yang bisa mencetak 30 gol dalam 38 pertandingan liga. Ia juga memegang rekor di Liga Inggris untuk catatan asis sebanyak 20 kali yang hampir dilewati Mesut Ozil musim lalu.
Kombinasi kemampuan mencetak gol dan kesanggupan menggelontorkan puluhan asis membuat patung Thierry Henry sangat layak berdiri megah di stadion Emirates untuk menahbiskannya sebagai raja di Arsenal, juga London, mungkin.
Usai era Henry, hampir tidak ada penyerang kelas dunia sekaliber Henry yang singgah di Arsenal. Emmanuel Adebayor justru menjadi pesakitan dan olok-olok bagi para Gooners. Nicklas Bendtner yang digadang-gadang menjadi penyerang masa depan justru sebaik mungkin berlomba untuk menjadi seperti Mario Balotelli.
Marouane Chamakh kariernya meredup dan terasing di Crystal Palace. Eduardo da Silva tak menemukan lagi ketajamannya usai patah kaki. Dan satu-satunya penyerang tajam yang dihasilkan Arsenal usai era Henry, justru minta pindah dan menjadi juara di Manchester.
Itulah kenapa kaki ajaib Thierry Henry adalah kepingan puzzle yang harusnya dicari setengah mati oleh Wenger untuk menemukan kembali gairah bermain sepak bola yang atraktif dan menarik ala Arsenal.
Kerap kali kita menonton Arsenal yang dominan tapi gagal mencetak gol. Selain sistem yang kuno, Arsenal juga minim penyerang yang bisa menembus barikade lawan dan mencetak gol dengan mudah. Tidak ada daya ledak meriam yang sedahsyat Henry, sebuah fakta miris mengingat Arsenal dipenuhi deret gelandang kelas dunia seperti Mesut Ozil, Santi Cazorla, hingga Alexis Sanchez.
Kritikan pada Olivier Giroud dan ketidakmampuan barisan penyerang Arsenal memaksimalkan peluang adalah hal yang tidak akan terjadi di zaman Henry. Jika Giroud mampu mencetak satu gol dari lima peluang bersih, Henry mungkin bisa mencetak dua sampai tiga gol dengan jumlah peluang bersih yang sama. Spot the difference.
Anda butuh penyerang yang tajam untuk menjadi juara, khususnya di kompetisi panjang yang berformat liga. Barcelona menguasai Spanyol karena mencetak gol adalah rutinitas tiap pekannya.
Hampir sebagian besar tim juara liga, akan menempatkan para penyerang utamanya di barisan teratas daftar pencetak gol terbanyak liga. Musim lalu, Paris Saint-Germain memiliki Zlatan Ibrahimovic, di Juventus bercokol Paulo Dybala, dan Leicester City memiliki sosok Jamie Vardy.
Bandingkan dengan Giroud dan Sanchez yang hanya mencetak 16 dan 13 gol di liga. Jadi wajar bukan kenapa Arsenal musim lalu finis di peringkat kedua? A lack of firepower will cost you title, karena ya itu tadi, sepak bola adalah olahraga kuantitas, siapa mencetak lebih banyak gol dari lawannya, dia yang menang, sesederhana itu.
Sederet fakta itu tadi membuat saya rindu benar kepala lonjong mirip kentang Thierry Henry dan kaki ajaibnya berlarian di rumput Emirates sembari mencetak gol dengan cara yang membuat kita terkekeh-kekeh karena begitu mudahnya Henry melakukan itu.
Satu memori manis yang terekam di benak, adalah ketika Henry kembali ke Arsenal dengan status pinjaman selama dua bulan dari New York Red Bull pada Januari 2012.
Di laga debutnya melawan Leeds United di Piala FA, Henry masuk di babak kedua, menerima umpan terobosan dari Alex Song, dan dengan dua kali sentuhan, places shot khas miliknya melesat mulus ke gawang Leeds.
Ia berlarian bagai anak kecil, memeluk Wenger di touchline untuk kemudian menangis haru di depan barisan suporter Arsenal. Saya ingat betul ucapan komentator pertandingan untuk gol Henry saat itu, “He may be cast in bronze, but he’s still capable of producing truly golden moments”.
Untuk menutup artikel ini, seperti layaknya manusia biasa, King Henry pun tak luput dari dosa. Saya beri dua kata kunci atas dosa besar Thierry Henry: Tangan dan Republik Irlandia.
Dosa yang membuat Henry tak akan pernah dilabeli alien oleh publik sepak bola dunia, karena jelas dan nyata ia adalah manusia, bukan tuhan cebol yang mempecundangi Peter Shilton dengan tangan kirinya lalu menyebutnya sebuah karya agung.
Kembalinya Henry ke Arsenal (vs Leeds United – 2012):