Egyptian King adalah gelar yang disematkan kepada Mohamed Salah Hamed Mahrous Ghaly oleh para suporter Liverpool. Pemain yang kondang dengan panggilan Mo Salah itu memang jadi pujaan publik Stadion Anfield beberapa tahun terakhir.
Semenjak bergabung dengan The Reds pada 2017 silam, Mo Salah berhasil menghipnotis suporter Liverpool dengan permainan terbaiknya. Berawal dari gelar pencetak gol terbanyak pada musim 2017/2018 via gelontoran 32 gol, namanya jadi kian melambung usai mempertahankan status serupa semusim berselang.
Selain itu, Mo Salah juga dianugerahi status Pemain Terbaik Afrika tahun 2017, FIFA Puskas Award 2019, FIFA FIFPro World 11 pada tahun 2019 dan masih banyak lagi.
Tak hanya capaian individu, kecintaan fans Liverpool terhadapnya juga diakibatkan prestasi kolektif yang sanggup ia hadiahkan bagi klub yang dilatih Jurgen Klopp tersebut. Dimulai dari raihan Liga Champions 2018/2019, Piala Super Eropa 2019, Piala Dunia Antarklub 2019, dan Liga Primer Inggris 2019/2020.
Khusus untuk gelar Liga Champions dan Liga Primer Inggris, Mo Salah pun sah menjadi lelaki Mesir pertama yang merengkuhnya.
Penampilannya yang selalu ciamik di atas lapangan membuat dirinya begitu dicintai pendukung Liverpool di manapun berada. Sampai-sampai Mo Salah dibuatkan chant khusus oleh mereka dengan bunyi, “Mohamed Salah, a gift from Allah, He’s always scoring, It’s almost boring. So please don’t take, Mohamed away”.
Pembaca yang juga fans sepakbola, entah menyukai kesebelasan apapun, pasti menyadari bahwa tidak banyak chant yang dibuat khusus oleh suporter untuk satu pemain tertentu.
Melesatnya karier Mo Salah di Inggris rupanya ikut mempengaruhi tatanan sosial di sana. Siapapun tahu bahwa Negeri Ratu Elizabeth cukup beken dengan Islamophobia-nya selepas kejadian 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Keadaan itu sendiri sejalan dengan sikap anti terhadap Islam dan imigran di negara Eropa seperti yang diungkapkan Elahi dan Khan dalam buku Islamophobia: Still a challenge for us all.
Hasil survei dari YouGov dalam rentang 2015-2018 memang menemukan bahwa publik Inggris masih beranggapan jika ajaran Islam bertentangan dengan nilai moral masyarakat Inggris.
Dukungan akan hal tersenut bahkan mencapai ekskalasinya pada kurun 2015-2017 ketika kurang lebih 60 persen masyarakat Inggris menganggap orang-orang Islam berbahaya.
Akan tetapi, tingkah laku Mo Salah yang begitu ramah dan bijaksana serta menjadi stereotip ayah yang mencintai keluarganya, termasuk binatang peliharaan, mematahkan persepsi orang-orang Barat tentang masyarakat Muslim.
Pertengahan 2019 lalu, sebuah studi dari Departement of Political Science Stanford University, Immigration Policy Lab Standford University & ETH Zurich, menunjukkan bahwa semenjak Mo Salah bergabung dengan Liverpool tahun 2017, terdapat penurunan Islamophobia sekitar 18,9 persen di kota pelabuhan itu.
Studi tersebut memeriksa data dari departemen kepolisian di seluruh Inggris, termasuk Merseyside, wilayah di mana Liverpool berada. Peneliti menemukan bahwa kejahatan rasial di sana menurun
Penurunan yang diamati lebih besar jumlahnya di Merseyside daripada di wilayah lain menunjukkan bahwa hasilnya bukan hanya karena kebetulan. Seperti itulah keyakinan para peneliti. Mereka juga mencatat bahwa tren tersebut tidak bertepatan dengan penurunan umum dalam kasus kriminal.
“Ada penurunan yang relatif lebih besar dalam kejahatan rasial Islamophobia dibandingkan dalam kategori kejahatan lainnya.”
Para peneliti juga mempelajari 15 juta kicauan Twitter oleh penggemar sepakbola Inggris dan mereka menemukan bahwa pendukung The Reds telah mengurangi setengah dari jumlah cuitan anti-Muslim yang mereka unggah.
Dari studi tersebut juga, Stanford University menjabarkan mengapa kehadiaran Mo Salah di Liverpool bisa mereduksi Islamophobia yang sudah menjadi penyakit menahun di Inggris.
Penyebabnya adalah Mo Salah membiasakaan para pendukungnya dengan hal-hal bernuansa Islam. Melalui kepribadiannya, baik di dalam maupun luar lapangan, selebrasi gol dengan cara bersujud, unggahan di media sosial pribadinya, hingga istrinya yang menggunakan selalu menggunakan hijab saat hadir ke stadion mendukung suaminya kala bertanding.
Tidak berhenti sampai di situ, presensi Mo Salah juga terasa bagi Ben Bird, seorang suporter Nottingham Forest di pengujung tahun 2019 kemarin.
Dirinya menuturkan pada The Guardian bahwa dirinya yang sebelumnya begitu anti terhadap Islam justru memeluk Islam karena Mo Salah.
“Mo Salah menunjukkan kepada saya bahwa kamu bisa menjadi normal dan sebagai seorang Muslim, kamu tetap bisa menjadi dirimu sendiri”.
Dampak yang dihadirkan Mo Salah di dalam dan luar lapangan memang luar biasa. Ada nilai-nilai positif yang ia berikan sehingga menginspirasi banyak orang dan ikut menurunkan persentase Islamophobia di Inggris.
Saya pun teringat ucapan Prof. Dr. AG. H. M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Cahaya, Cinta dan Canda. Ia mengungkapnkan, di era modern seperti sekarang, perilaku elok dari pesepakbola Muslim yang taat beribadah, bisa memberi pengaruh yang lebih hebat dari nasehat seorang kyai.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, pesepakbola berambut keriting ini sudah memperlihatkan hal tersebut kepada kita semua. Lanjutkan dakwah dengan caramu itu, Mo Salah.