Jangan Berpuas Diri, Jerman!

Tak terasa sudah satu tahun lebih sejak Piala Dunia 2014 di Brasil berlangsung. Tak banyak yang menyangka kiprah Jerman di ajang empat tahunan tersebut bisa berujung manis. Jerman berhasil mematahkan predikat “spesialis semifinalis” yang kerap disematkan oleh penggemar dan pengamat sepak bola. Momen memang seharusnya sudah lama terjadi mengingat lahirnya generasi emas Jerman satu dasawarsa belakangan.

Joachim Löw pandai meramu kepaduan dan kerja sama tim secara menyeluruh. Tak boleh ada satu atau dua pemain yang terlalu menonjol, hanya kebersamaan dan keharmonisan yang menjadi tulang punggung kesuksesan tim. Filosofi inilah yang terus dikembangkan dan diterampkan oleh Löw sejak menangani timnas Jerman pada tahun 2006 hingga saat ini.

Salah satu pemain yang paling konsisten saat itu adalah Philipp Lahm. Ia bukan hanya sosok kapten dan pesepak bola yang andal, tapi juga sosok pria penyabar dan legowo. Lahm yang sejatinya berposisi sebagai bek kanan kerap dipasang sebagai gelandang jangkar. Pep Guardiola telah mempopulerkan hal serupa lebih dulu pada masa awal kepelatihannya di Bayern München. Lahm tidak memberontak, pun tidak memprotes kebijakan kedua pelatih tersebut. Setidaknya Löw butuh empat pertandingan di Piala Dunia hingga ia menyadari bahwa posisi terbaik Lahm adalah bek kanan.

Striker veteran Jerman, Miroslav Klose –yang berperan penting pada tiga edisi Piala Dunia sebelumnya– bahkan harus beberapa kali turun gunung menyelamatkan muka Jerman di depan para pendukungnya. Torehan dua gol menahbiskan dirinya sebagai pencetak gol terbanyak dalam ajang empat tahunan tersebut melewati rekor 15 gol Ronaldo (Brasil, bukan Portugal).

Kenangan manis Jerman di bawah asuhan Joachim Löw terasa begitu cepat berlalu karena kabar mengejutkan datang silih berganti hanya beberapa hari setelah mereka menjuarai Piala Dunia. Awalnya kapten kebanggan mereka, Philipp Lahm, mengumumkan pensiun dari timnas lima hari usai turnamen. Disusul Miroslav Klose empat pekan berikutnya. Selang beberapa hari, Jerman kehilangan salah satu bek terbaik mereka, Per Mertesacker, yang juga mengumumkan gantung sepatu dari timnas.

BACA JUGA:  Mengenal Trofi Henri Delaunay

Keputusan tiga punggawa tersebut dinilai terlalu cepat, bahkan cenderung terburu-buru karena Jerman selalu bergantung kepada mereka dalam kurun waktu 10 tahun belakangan. Jerman jelas tidak siap lantaran pemain-pemain yang ada dalam skuat saat ini belum ada yang berada di level permainan Miroslav Klose, Per Mertesacker, apalagi Philipp Lahm.

Kekhawatiran banyak pihak pun terjadi, timnas Jerman saat ini kembali ke masa-masa suram. Mereka tidak memiliki karakter dan pola permainan yang baik, tidak solid, dan tidak memiliki sosok pemimpin atau penyemangat tim. Mereka lebih menyerupai gabungan antara Barcelona dan Bayern München era Pep Guardiola, tapi dengan mental tim medioker.

Kualifikasi Euro 2016 grup D memperlihatkan bahwa Jerman tak lagi mendominasi dan beringas seperti biasanya. Kalah telak dari Polandia untuk pertama kali dalam sejarah, gagal mengalahkan Republik Irlandia di dua pertemuan kandang dan tandang, serta nyaris kalah di kandang Skotlandia menjadi sinyal darurat Der Panzer.

Pertanyaannya adalah, siapa pemain yang layak menggantikan peran mereka?

Jerman belum memiliki ujung tombak yang mumpuni saat ini. Kevin Volland dan Max Kruse belum menunjukkan tajinya baik di level klub maupun timnas. Beban mencetak gol tentu harus ditanggung oleh Mario Götze yang sejatinya bukan striker murni. Ia lebih cocok jika dipasang sebagai “perfect false nine”, sebuah proyek paksaan hasil racikan Pep Guardiola di Bayern München yang juga diterapkan oleh Joggi.

Jerman masih memiliki Thomas Müller sebagai ujung tombak jadi-jadian. Meski tak memiliki keahlian olah bola yang baik, pemain ini bisa menyelinap dalam barisan pertahanan lawan tanpa kawalan dan mencetak gol saat timnya membutuhkan. Müller sangat versatile sehingga pantas jadi penerus Klose.

BACA JUGA:  Skenario Timnas Basket Indonesia Lolos ke Piala Dunia FIBA 2023

Bek tengah terbaik performanya bagi Jerman adalah Jerome Boateng. Tapi kegigihan Boateng saja tidak cukup. Boateng tentu lebih baik dalam hal kecepatan dan adu fisik, tapi penguasaan bola atas, cegatan, dan pengambilan keputusannya tak sehebat Mertesacker. Sayangnya, Mats Hummels belum bisa menambal kekurangan tersebut. Memasang Matthias Ginter bisa jadi pilihan alternatif bagi Löw mengingat Antonio Rüdiger dan Holger Badstuber belum bisa membela timnas karena cedera.

Barisan tengah pertahanan yang belum padu diperparah dengan tahta bek kanan yang keropos. Löw sudah pernah memasang Shkodran Mustafi, Sebastian Rudy, hingga Emre Can. Tapi ketiga pemain tersebut belum mampu membuat semua orang berpaling dari Lahm. Belum ada bek kanan Jerman yang imbang dalam hal defensif maupun ofensif sehebat dirinya.

Tak ada salahnya Löw memasang Ginter di posisi bek kanan sebagaimana yang Thomas Tuchel lakukan di Borussia Dortmund pada musim ini. Memiliki postur tubuh tinggi sama sekali tidak mengurangi keseimbangan Ginter dalam bertahan maupun menyerang. Hal ini tentu lebih baik ketimbang memaksakan Emre Can menjadi The Next Kevin Großkreutz – pemain yang tidak begitu menonjol meskipun dapat bermain di berbagai posisi.

Sepertinya Joachim Löw harus menemukan komposisi terbaik tim sebelum Euro 2016 dimulai. Jika tidak, bukan mustahil lini belakang dan depan Jerman hanya akan jadi bahan olok-olok tim lawan.

 

Komentar
Penonton sepak bola layar kaca setiap akhir pekan. Kontributor beberapa media (kurang terkenal) dan narablog (yang juga kurang terkenal). Bisa dihubungi melalui akun twitter @yusabdul.