Johor Darul Ta’zim: Profesionalitas Penguasa Negeri Jiran

Langit malam di atas Stadion Sultan Ibrahim, Jumat (2/10/2020), terlihat indah dan cerah. Kota Johor, membuncah seperti biasanya. Kurniawan Dwi Yulianto hanya bisa tersenyum, matanya menerawang jauh ke langit itu. Tim asuhannya, Sabah, tak kuasa membendung serangan lawan yang sedang berambisi menjadi juara Liga Super Malaysia untuk ketujuh kalinya, Johor Darul Ta’zim (JDT). Saat peluit panjang dibunyikan wasit, papan skor menunjukkan angka 4-1 untuk keunggulan sang tuan rumah.

Berkat kemenangan tersebut, JDT resmi menjadi kampiun Liga Super Malaysia musim 2020. Kompetisi kali ini memang berbeda sebab federasi sepakbola Malaysia (FAM) menghelatnya dalam format satu putaran saja. Alhasil, seluruh kontestan (12 klub) hanya bertanding 11 kali untuk menentukan siapa yang berhak menyandang status jawara dan siapa yang mesti terima nasib turun kasta ke Liga Primer Malaysia.

JDT merengkuh gelar juara ketujuhnya dalam tujuh musim terakhir usai mengemas 26 poin dari 10 laga. The Southern Tigers, julukan JDT, memenangkan delapan laga dan imbang dua kali. Walau masih tersisa satu pertandingan lagi, tapi koleksi angka mereka mustahil dikejar oleh para pesaing semisal Kedah dan Perak.

Keberhasilan JDT merengkuh gelar disambut meriah. Bukan hanya oleh pendukung mereka saja tetapi juga masyarakat Malaysia pada umumnya. Pasalnya, melanjutkan liga di tengah pandemi Corona bukan perkara mudah dan kemampuan melakukan itu adalah anugerah tersendiri.

Kerajaan Johor Darul Ta’zim

Di era sepakbola masa kini, sulit bagi kita untuk menafikkan uang sebagai salah satu fondasi terpenting. Ya, dengan uang yang dimiliki, sebuah entitas dapat mengembangkan dirinya secara maksimal. Namun tak lupa, cara mengelola uang itu pun harus cermat dan tepat karena gagal menerapkannya, semua bakal jadi komedi belaka.

JDT adalah gambaran sebuah klub maju yang sebenarnya. Mengadopsi bahasa Arab, Darul Ta’zim berarti tempat perlindungan yang bermartabat. Hal ini tentu di luar kebiasaan para pemilik klub yang sering menggunakan nama pasaran seperti City atau United buat merepresentasikan kesebelasan baru dari sebuah kota.

Bicara tentang sejarah, maka kita harus mundur sejenak ke tahun 1972. Saat itu, sebuah kesebelasan baru dibentuk dengan nama PKENJ Football Club. Walau di kancah Liga Malaysia mereka tak mampu unjuk gigi, tetapi PKENJ FC sempat meraih dua Piala FAM Malaysia pada tahun 1994 dan 1995.

Akan tetapi, eksistensi nama PKENJ FC terpaksa lenyap di tahun 1996 setelah klub ini diambilalih oleh Johor Corporation (sebuah badan usaha milik negara). Nama mereka pun resmi berubah menjadi Johor FC. Menyusu kepada negara membuat Johor berkemampuan lebih.

Performa mereka pun meningkat dan sanggup memamerkan kapasitasnya kendati di divisi bawah persepakbolaan Malaysia. Satu yang pasti, Johor kenyang asam garam berkompetisi sesuai levelnya. Bukan sebuah tim yang makbedunduk ada di kasta teratas.

Sebuah kemujuran lantas datang di tahun 2006. Ekspansi Liga Super Malaysia menjadi 14 peserta bikin FAM mempromosikan lima tim (berperingkat satu sampai lima di musim sebelumnya) dari Liga Primer Malaysia. Johor, kebetulan finis di peringkat lima sehingga berhak mendapatkan jatah promosi tersebut.

Walau terbentuk sejak 1972, momen sentral klub ini baru menyeruak pada 2012. Pada saat itu, Tunku Ismail Idris ditunjuk sebagai presiden baru Asosiasi Sepakbola Johor atau sekelas Asosiasi Provinsi di Indonesia. Dalam sebuah kongres, ia ingin merombak seluruh kegiatan sepakbola di Johor dengan cara menyatukan dua klub berbeda yaitu Johor FC yang berkompetisi di Liga Super Malaysia dan Johor FA yang main di Liga Primer Malaysia.

Kesebelasan pertama berubah menjadi Johor Darul Ta’zim dan tim yang disebut belakangan menjadi Johor Darul Ta’zim II. Seperti yang kita ketahui, dua tim ini memiliki nama yang sama tetapi lahir dari kandungan yang berbeda. Mereka disatukan atas tujuan yang selaras. Saat itu, performa tim-tim dari Johor memang kurang menggembirakan sehingga Tunku Ismail Idris enggan nama Johor lenyap dari kasta teratas sepakbola Malaysia.

Lewat program yang berjenjang dan jelas, JDT sukses menunjukkan tajinya. Tak hanya di kancah domestik saja karena mereka pun berhasil menahbiskan diri sebagai kesebelasan top di kawasan Asia saat membawa pulang Piala AFC edisi 2015. Dalam partai final, The Southern Tigers menumbangkan wakil Tajikistan, Istiklol, via skor tipis 1-0.

Suntikan dana dari Tunku Ismail Idris dan Royal Football Fund sebagai pemilik klub diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk yang mendukung JDT jadi kesebelasan profesional yang mandiri. Mereka tak cuma memperkuat armada tempur lewat perekrutan pemain bintang demi meraih prestasi, tapi juga membangun sepakbola di Johor secara simultan.

Branding klub dilakukan secara masif guna mendorong perkembangan di sisi komersial. Progresi juga dilakukan ketika JDT membangun sarana latihan yang lengkap dan modern. Lebih jauh, berbekal biaya 200 juta Ringgit, mereka mendirikan Stadion Sultan Ibrahim sebagai kandang baru sekaligus pusat kegiatan klub menggantikan Stadion Tan Sri Dato’ Haji Hassan Yunos.

Maka jangan heran kalau akhirnya JDT melesat di sisi teknis maupun non-teknis. Dilansir oleh New Straits Times pada 2019 silam, The Southern Tigers siap menjadi kesebelasan Malaysia pertama yang nilainya menembus 1 miliar Ringgit.

Apa yang terlihat dari JDT saat ini tidak ada satu pun yang dibangun dalam semalam. Segalanya telah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari dengan niat yang murni yaitu kemajuan sepakbola di Johor dan Malaysia. Bukan ‘sihir’ instan buat mencari dukungan jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Kesebelasan asal Indonesia, sepatutnya mau belajar dari JDT perihal profesionalitas guna berkembang ke arah yang lebih baik. Lewat proses panjang dan sistematis, perubahan yang diimpikan pasti dapat terwujud karena tata kelola yang dilaksanakan sudah cermat dan tepat.

Jangan sampai kita terus-terusan terlena dengan kisah masa lalu yang menyebutkan bahwa negara lain belajar dari kompetisi di Indonesia untuk mengembangkan sepakbolanya. Mirisnya, saat tim-tim di negara tersebut sudah menjadi profesional, klub-klub nasional malah jalan di tempat sebab enggan bergerak maju.

Komentar

This website uses cookies.