Juventus sukses merebut gelar Liga Italia dalam lima musim beruntun. Catatan yang mengesankan, walau sebenarnya, biasa saja.
Juventus, pernah tiga kali juara beruntun bersama Antonio Conte, adalah skuat yang sangat amat kuat dibandingkan dengan banyak tim lain di Serie-A. Dari Andrea Pirlo, sang maestro lapangan tengah, yang dilindungi gelandang berjiwa petarung dalam diri Arturo Vidal, sampai di lini depan yang dihuni penyerang ganas dalam sosok Carlos Tevez.
Sebagai tambahan, era awal Conte adalah mekarnya protagonis baru dalam sosok Paul Pogba, salah satu gelandang terbaik dunia saat ini.
Massimiliano Allegri yang datang awal musim 2014/2015, sempat diragukan, mengingat Conte adalah sosok yang berjasa merestorasi jalan Juventus menuju kejayaan. Allegri jelas bukan pelatih buruk, mengingat ia sempat juara bersama AC Milan. Allegri juga bukan pelatih kemarin sore.
Pada musim perdananya, permutasi posisi apik yang sering ia gunakan dari 3-5-2 hingga 4-3-1-2 atau 4-4-2 begitu membuat Juventus digdaya serta hampir menguasi Italia dan Eropa. Sayang, Lionel Messi dan sahabat-sahabatnya sepakat bahwa narasi itu hanya milik Barcelona seorang.
Musim ini berbeda. Poros Pirlo-Vidal sudah hengkang. Tevez mengalami kerinduan mendalam ke kampung halaman dan memutuskan pulang ke Boca Juniors. Juventus sempat limbung.
Dari sepuluh laga awal, mereka kalah empat kali dan menelan hasil imbang sebanyak tiga kali. Sang juara bertahan hanya meraih 12 poin dari maksimal 30 angka dalam sepuluh pertandingan. Terdampar di posisi 12 dan diragukan menjadi juara untuk kelima kalinya secara beruntun.
Namun, usai melihat Napoli bertekuk lutut di tangan AS Roma (25/4), sekaligus memberi tanda bahwa Juventus meraih Scudetto untuk ke-34 kalinya sepanjang sejarah.
Muncul pertanyaan yang mengusik, apakah Serie A hanya berupaya dimenangkan oleh Juventus seorang diri?
***
Sulit mencari asal mula kata “sang liyan” dalam sejarah literasi. Tapi dalam lingkup filsafat dunia, liyan adalah kata yang digunakan untuk mendeskripsikan para minoritas.
Ia yang berada di luar sebuah spektrum yang besar. Kita bisa menyebutnya the otherness.
Di lingkup humaniora, liyan bisa kita temukan kepada mereka yang berada di poros-poros masyarakat kelas bawah. Para rakyat kecil. Yang tidak memiliki akses sebanyak yang dimiliki para penguasa.
Subaltern, kaum terpinggirkan yang aksesnya ke politik, media, dan kekuasaan tidak sebesar para elit di atas. Dan liyan adalah tentang mereka-mereka yang tidak memiliki kapabilitas merusak hegemoni dari para penguasa.
Ini yang mungkin terjadi di Serie-A, yang memberi akses kepada Juventus untuk melakukan hegemoni panjang yang sedikit merusak kesenangan. Dominasi tidak memberi sesuatu yang menyenangkan bagi penonton. Itu menyenangkan, bagi Juventini.
Tapi coba tanyakan perasaan para Milanisti atau Interisti yang karena begitu superiornya Juventus, target-target mereka hanya lolos ke kompetisi Eropa.
Tanyakan juga pada suporter AS Roma dan Napoli yang sempat memberi kejutan dengan menghantam sang juara bertahan di awal musim, namun kini harus puas tertinggal belasan poin di belakang Juventus dan hanya bisa menyaksikan Si Nyonya Tua berpesta pora merayakan gelar juara saat mereka hanya disisakan persaingan untuk merebut jatah tiket untuk ke Liga Champions musim depan.
Sialnya, itu terjadi dalam lima musim terakhir. Lima tahun adalah rentang waktu yang cukup lama dalam sepak bola dan akhirnya menimbulkan persepsi, setiap Liga Italia dimulai tiap musimnya, apa hanya Juventus yang memang bersiap untuk menjadi juara?
Juventus memang tim terkuat di Serie A secara materi pemain dan kapabilitas finansialnya. Kesuksesan mereka menembus final Liga Champions musim lalu jelas memberi banyak guyuran dana yang signifikan.
Belum lagi, mereka memiliki stadion sendiri. Sesuatu yang menjadi dambaan bagi Inter Milan dan AC Milan tiap musimnya.
Tapi klub seperti Napoli, AS Roma dan Fiorentina jelas bukan tim sembarangan. Inter bahkan sempat memuncaki klasemen ketika mampu menang 1-0 dalam beberapa partai saat Juventus masih terbenam di papan bawah.
Napoli juga bukan tim sembarangan. Maurizio Sarri pelatih cerdas dan inovatif. Ia, dibantu ketajaman Gonzalo Higuain dan kreativitas Marek Hamsik, mampu memberi ancaman konstan untuk Juventus.
AS Roma juga sulit diabaikan. Mereka mendatangkan nama-nama cukup apik di lini depan semisal Stephan El Shaarawy dan Mohamed Salah. Tapi seperti para liyan lainnya, minimnya mentalitas yang bagus membuat akses mereka ke tangga juara begitu sulit. Melawan klub Turin yang pernah tersandung kasus calciopoli ini, Anda tidak bisa setengah-setengah.
Anomali dari kasus Serie A adalah hilangnya semangat revivalis para liyan. Padahal, perlawanan itu sudah menjadi sejarah panjang dalam kasus para liyan.
Kaum minoritas akan memperjuangkan agar suaranya sampai ke penguasa dengan sebuah perlawanan. Ada unsur semangat spartan untuk menggulingkan hegemoni penguasa. Sejarah manusia sudah menunjukkannya.
Di Afrika, beberapa tahun lalu kita akrab dengan pergolakan Arab Spring di Mesir, Suriah, Tunisia hingga Libya. Menentang para penguasa butuh kekuataan yang tidak sedikit.
Butuh mentalitas kuat dan sikap yang tegas. Ini yang tak dimiliki para pesaing Juventus di Italia. Mentalitas mereka amat buruk, semisal Napoli dan Roma. Kedua tim ini sempat di papan atas saat awal musim. Bersama Udinese dan Sassuolo, dua tim ini adalah empat tim yang mampu memberi kekalahan pada Juventus musim ini.
Tanda yang baik bahwa seharusnya mereka punya sumber daya dan kekuatan yang cukup untuk mendongkel La Vecchia Signora dari kursi singgasananya yang nyaman dalam empat tahun terakhir.
Nyatanya, harapan tinggal harapan. Napoli harus kalah dari Roma dan kembali ke kebiasaan lama mereka selama beberapa tahun terakhir. Berkompetisi untuk memperebutkan tiket ke turnamen elit Eropa musim depan.
Ketika Adolf Hitler naik ke tampuk tertinggi Nazi, dengan dalil-dalil Aufklarung-nya ia mempropagandakan kebencian dalam ambisinya di cita-cita pemurnian ras. Arya, menjadi narasi tunggal tentang apa yang seharusnya menjadi yang agung.
Hal buruk kemudian terjadi, Holocaust muncul. Kebencian dan genosida beruntun akan Yahudi, gay, dan kaum Gypsi menjadi hal yang wajar bagi Hitler dan upaya hegemoni Nazi.
Kekejaman itu menjadi sejarah kelam Eropa, juga dunia. Para liyan tak berdaya dengan hegemoni Hitler. Manusia ini terpinggirkan, lebih buruknya lagi, mereka dihilangkan nyawanya dengan paksa. Sampai ketika kemudian Sekutu datang dan memberi cahaya terang bagi Eropa untuk lepas dari hantu fasisme.
Pertanyaannya kemudian, apakah Serie A juga membutuhkan sosok seperti Sekutu untuk datang dan memberi suntikan semangat untuk upaya melawan Juventus musim depan dan seterusnya? Kalau iya, siapa dan dalam bentuk apa bantuan itu akan datang?