Keadilan bagi Scott Parker

Eks pelatih Bournemouth, Scott Parker. (skysports.com)

Di mana keadilan bagi Scott Parker? Setelah membawa AFC Bournemouth promosi ke Premier League musim ini, Scott Parker tentu tak akan mengira jika ia bakal dipecat karena mengalami kekalahan melawan tiga anggota Big Six (Manchester City, Arsenal, & Liverpool). Ia bahkan mampu mempersembahkan kemenangan meyakinkan dua gol tanpa balas saat laga pembuka melawan Aston Villa di Vitality Stadium. Dirinya kini menjadi pelatih pertama yang didepak di Premier League musim ini. Parker mungkin memang kurang beruntung, tapi apakah ia layak dipecat?

24 jam setelah melakoni laga terakhirnya kontra Liverpool di Anfield yang berakhir dengan pembantaian 9 gol tanpa balas, kekecewaan suporter dilampiaskan kepadanya. Parker juga mengakui bahwa kualitas timnya masih rendah untuk bersaing di Premier League. Eks pelatih Fulham tersebut menyebut skuadnya “underequipped” dengan hanya belanja 22 juta paun untuk mendatangkan lima amunisi tambahan.

Usut punya usut, Parker memang berselisih paham dengan manajemen The Cherries soal kebijakan transfer pemain. Hasil kinerja buruknya saat menelan kekalahan dari Manchester City, Arsenal, dan Liverpool dengan defisit 14 gol mengamplifikasi konflik itu, tapi juga sekaligus membenarkan pernyataan dan sikap Parker yang mengkritik klub. Beda dengan klub promosi lain, Nottingham Forest dan Fulham yang merombak skuad habis-habisan demi bisa menyaingi level para klub incumbent Premier League.

Jurgen Klopp, aktor dibalik pembantaian 9 gol di Anfield juga mengamini pernyataan pria 41 tahun tersebut. Sudah semestinya klub yang promosi dari Championship melakukan banyak hal untuk memperbaiki tim. Sesuatu yang tidak dilakukan Maxim Demin, pemilik The Cherries. Lagi pula, Liverpool dalam mode terbaiknya memang sangat menakutkan. Mereka klinis, bermain efektif, apalagi setelah kalah dari Manchester United dan belum mendulang kemenangan di tiga laga awal.

Dilansir dari The Athletic, expected goals (xG) Liverpool saat melawan Bournemouth mencapai angka 3.32, angka yang menunjukkan kreasi dan kualitas peluang yang cukup besar dalam satu pertandingan. Sementara 9 dari total 12 tembakan tepat sasaran mereka masuk ke jala gawang yang dikawal oleh Mark Travers. Dengan kata lain, Parker masih layak mendapat lebih banyak kesempatan untuk membuktikan hasil kinerjanya di kasta tertinggi sepakbola Inggris.

Pasca laga versus Liverpool, mereka masih punya beberapa pertandingan yang masih memiliki potensi untuk dimenangkan kala melawan Wolves, Nottingham Forest, Brighton, dan Newcastle United. Urutan terakhir justru bisa jadi kesempatan emas baginya untuk langsung berhadapan dengan Eddie Howe, eks juru taktik Bournemouth yang sering membayanginya dan suka dibanding-bandingkan oleh para penggemar The Cherries.

Parker memang selalu dipandang Bournemouth sebagai suksesor Eddie Howe yang menjadi protagonis utama dibalik kesuksesan Bournemouth menembus Premier League untuk pertama kalinya dalam sejarah, yakni pada 2015/2016 lalu. Ia juga mampu membawa The Cherries konsisten selama lima musim dengan rekor terbaiknya membawa klub tersebut finish di urutan ke-9 pada 2016/2017. Sejarah dan statistik yang semakin membuat Parker terkesan inferior.

Namun beda era juga beda tantangan. Pada periode tersebut, terutama saat Leicester City keluar sebagai kampiun pada 2015/2016, klub-klub besar Big 6 sedang dalam performa kurang memuaskan. Saat-saat di mana Manchester United sedang terpuruk, Arsenal, Chelsea, dan Spurs inkonsisten serta pelatih sekaliber Jurgen Klopp baru mendarat ke Inggris. Kini, persaingan jauh berbeda dan semakin ketat seiring dengan kebijakan transfer pemain yang menjadi aspek krusial demi membentuk skuad kompetitif.

Parker juga bukan pelatih yang buruk. Ia juga menjadi sosok dibalik kesuksesan Fulham promosi ke Premier League pada 2020/2021 meski hanya bertahan selama semusim. Ia juga masih muda, 41 tahun dan baru memulai karier manajerial saat menjadi asisten manajer Fulham 2018 silam. Jadi menurutmu, apakah Scott Parker layak didepak?

Komentar

This website uses cookies.