Mentalitas Kelas Pekerja dan Kenikmatan Kerja Keras Ala Sir Alex Ferguson

Alex Chapman Ferguson memahami seni untuk menang. Latar belakang kehidupannya begitu pelik, sulit, dan keras. Dari ayahnya yang bekerja di industri kapal, Ferguson kecil belajar membangun kegigihan lewat kerja keras. Mentalitas mulia kelas pekerja ini membantunya bertahan hidup.

Kegigihannya dalam menghadapi kehidupan ini digantu oleh fokus yang boleh Anda bilang luar biasa. Ia tak hanya menetapkan tujuan. Alex Ferguson menjalani proses menunju tujuan dengan segenap kesungguhan yang ditempa di Govan, kota mungil yang langitnya hitam oleh asap pabrik.

Dan 27 tahun perjalanan kariernya yang bergelimang piala di kota Manchester adalah akumulasi dan manifestasi dari itu semua.

Saya percaya dan Anda pasti juga mengamini bahwa tak ada hasil yang mengkhianati sebuah usaha. Namun, tak banyak orang yang mengkhidmati dengan benar bahwa kesuksesan adalah hasil dari kerja keras terus-menerus dan berkesinambungan.

Banyak cerita yang bisa kita ambil dari kehidupan masa muda Sir Alex di Govan. Kendati memiliki pembawaan seorang pemalu, namun ia adalah pemuda aktif yang terus merajut mimpinya sebagai pemain sepak bola.

Ia mencari sendiri tim Goven Robers dan Arsenal Trip meski saat itu ia tidak punya sepatu bola. Tetangganya bernama Tommy Gemmel dengan baik hati memberikan sepatu bekasnya sehingga Alex bisa bermain.

Seperti yang ditulis Jennie S. Bev dalam bukunya yang berjudul Sir Alex Ferguson: The Legends Leadership, usaha keras yang dilakukan Fergie dalam menggapai cita-citanya sebagai pesepak bola profesional sudah nampak ketika ia harus memastikan dirinya tiba tepat waktu di kamp latihan di Perth, pada pukul 19.30.

Masalahnya, jarak antara rumah dan kamp latihannya itu sangat jauh untuk dilalui dalam sekali tempuh.

Ia perlu berangkat pukul 16.00. Dari jalan Remington Rand di Hillington Estate, ia naik bus ke stasiun kereta api menuju Glasgow Central. Dari sana naik taksi ke stasiun Buchanan Street. Di sana tiba pukul 17.00 dan berangkat lagi ke Perth yang memakan waktu perjalanan selama dua jam. Dari Perth, naik taksi satu kali ke Muirton Park.

Fergie juga harus menjadi tulang punggung keluarganya ketika ayahnya mengalami kanker usus dan akhirnya harus berhenti bekerja.

Bisa dibayangkan apa jadinya seorang Alex Ferguson jika tidak pernah ditempa oleh kerasnya kehidupan di Goven. Mungkin saat ini, Manchester United akan terus berada di bawah bayang-bayang kedigdayaan Liverpool sebagai tim tersukses di Liga Primer Inggris.

Nah, Itu pula yang kemudian membedakan Fergie dan para suksesornya di Carrington.

Saya sempat berpikir, jika Manchester United mampu bersabar di bawah kendali Sir Alex Ferguson selama hampir 3 dekade, mengapa manajemen tidak cukup tabah melihat kiprah David Moyes yang notabene adalah pilihan langsung Sir Alex Ferguson atau Louis van Gaal yang berpengalaman?

Perlu diketahui, tahun-tahun pertama kiprah Alex Ferguson di Manchester United adalah masa-masa penuh kepahitan. Ia bahkan baru bisa mempersembahkan trofi pertamanya pada musim ke-4 bersama Setan Merah.

Gelar Liga Primer baru bisa ia persembahkan di musim ke-6. Bahkan, Piala Liga Champions baru bisa ia genggam pada musim ke-12 setelah mengalahkan Bayern Munchen lewat kemenangan dramatis.

Namun, yang membuat manajemen United bersabar pada ayah tiga orang anak ini ialah visi dan mentalitas yang ia tanamkan pada skuat Manchester United.

Kemasyhuran Fergie’s Fledling adalah buah ketajaman visinya melihat bocah-bocah bernama David Beckham, Paul Scholes, Nicky Butt, Gary Neville, dan Ryan Giggs.

Anda masih ingat bukan, ketika Fergie sempat menjadi bahan olok-olok ketika menurunkan pemain-pemain ini saat kalah melawan Aston Villa. Tapi kemudian kita tahu sejarah macam apa yang kemudian ditorehkan bocah-bocah itu.

Ia tahu bagaimana memperlakukan para pemainnya dengan tepat. Ia tegas kepada semua pemain, bahkan kepada para bintang yang dibeli dengan harga mahal. Sir Alex tak sungkan berkonfrontasi dengan pemain kunci United.

Ia mungkin seperti diktaktor. Namun, kebengisan Sir Alex justru mampu membentuk fondasi terbaik dari hampir setiap pemain. Maka, ketika pemain-pemain lawas dan penting pergi, United tak lantas kehilangan identitas.

Kerja keras memang terasa nikmat ketika membuahkan hasil. Tapi jangan salah, hasil manis tak akan diperoleh tanpa kerja keras. Sir Alex Ferguson memberikan contoh yang gamblang.

Saat ini, meski sudah pensiun, Ferguson tak pernah benar-benar meninggalkan Manchester United. Beberapa kali ia tampak di tribun untuk menyaksikan laga-laga Manchester United bertanding. Termasuk ketika warisannya tak segarang dahulu.

SaatUnited kehilangan identitas di tangan sang pengganti yang ironisnya ia tunjuk sendiri. Rasa cinta ini sudah terbangun dengan hakiki. Bahkan, konon, sempat membaiknya performa United pada akhir 2016 tak lepas dari pengaruh Sir Alex yang merekomendasikan kepada Jose Mourinho untuk mempercayakan pos gelandang sentral kepada Michael Carrick.

Sehat selalu, Pak Tua. Ngomong-ngomong, gigimu masih kuat kan mengunyah permen karet?

 

Komentar

This website uses cookies.